Apa yang dilihat anak, baik itu tontonan anak atau permainan, pada dasarnya bertolak belakang dari proses input informasi secara alamiah.
Proses motorik yang seharusnya bermanfaat untuk melatih sel saraf otak tidak sepenuhnya terlibat. Bahkan, pada banyak kasus, anak malah duduk dan berdiam lama di kursi dan kasur.
Lama kelamaan, sistem kerja saraf bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Kemampuan dasar untuk berhitung sampai bernalar sangat mungkin melemah seiring waktu.
Sesuatu yang mudah didapat akan mudah dilupakan. Cara instan memang menggiurkan di awal dan terlihat meyakinkan. Padahal, konsep belajar yang baik sesuai kerja otak adalah adanya pengulangan yang cukup.
Ya, perpindahan informasi dari bawah sadar ke otak sadar tidak semudah yang dibayangkan orang dewasa. Sesuatu yang sudah melekat tajam di otak bawah sadar akan selamanya seperti itu, sangat sulit dirubah.
Anak-anak yang bermasalah di umur 1-7 tahun, baik karena faktor kebiasaan buruk orang tua atau pembiaran menonton HP berlebihan, akan menyimpan banyak informasi di otak bawah sadar.
Ketika menuju fase remaja, filter informasi mulai terbentuk. Akan tetapi, pada tahap ini tanpa bimbingan orang tua, informasi yang sudah tersusun di otak anak bisa berantakan.
Tidak heran, fase remaja membuat anak mulai tidak begitu dekat dengan orang tua. Apalagi jika sedari kecil orang tua tidak membersamai anak dengan kasih sayang.
Menuju fase kedewasaan, informasi yang dulunya tersimpan di otak bawah sadar perlahan menjadi dasar berpikir anak.
Nilai dan kepercayaan banyak yang berasal dari tontonan masa kecil. Bahkan, ada yang memahami konsep hidup dari apa yang sering dilihatnya dari HP. terlebih, bagi mereka yang Jarang berbaur dan hidup terkekang dalam rumah.
Akhirnya, orang tua malah kewalahan ketika anak dewasa. Ada yang menyalahkan anak karena pilihan hidup yang tidak sejalan dengan prinsip keluarga.