Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dampak yang Terjadi pada Otak jika Terlalu Sering Menggunakan Media Sosial

6 April 2021   12:53 Diperbarui: 7 April 2021   22:51 2176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dampak negatif media sosial (Sumber: pexels.com/Cristian Dina)

Perubahan pola hidup yang semakin meninggi menjadikan orang kehilangan arah hidup. Jika dulu kebahagian hidup terjadi secara normal dan natural, kini seiring canggihnya teknologi, orang tidak lagi mendapatkan fitrah kebahagiaan secara alami.

Tidak dipungkiri fitur teknologi menjadikan segala sesuatu semakin mudah dan tentunya nilai kenyamanan lebih terasa. 

Why makes it harder? 

Ungkapan tersebut terdengar dan terkesan benar. Saat sesuatu sudah bisa dimudahkan, kenapa harus dipersulit? 

Nyatanya kompleksitas kehidupan kita tidak bisa dilihat dari sisi kemudahan yang terlihat, ada hal yang tersembunyi dan tidak terjangkau mata manusia. Tidak semua orang mampu melihatnya, kecuali dengan feelings.

Dalam otak manusia terdapat bagian yang memiliki peran penting untuk menggerakkan anggota tubuh. 

Bagian itu punya andil untuk menghadirkan semangat, rasa senang, motivasi dan hal positif lainnya sehingga manusia bisa berkreasi dan berinovasi.

Selain itu, bagian otak lain juga memiliki rasa kecewa, sedih, penyesalan dan kekecewaan bisa muncul. Semua dihasilkan dari reaksi kimia yang dipicu oleh cara berinteraksi dan berkomunikasi. 

Pola interaksi dan komunikasi manusia menjadi sebuah objek penelitian pakar otak (neurology), di mana banyak hasil penelitian yang kemudian dipakai untuk mempermudah segala hal dengan modifikasi tertentu. 

Sebagai contoh, munculnya smatphone dengan fitur aplikasi yang menghadirkan kemudahan, seperti fungsi kamera dengan pixel tinggi dan media sosial dengan fitur terkini merupakan wujud nyata dari hasil penelitian otak manusia. 

Saat para ilmuan mulai memahami pola kerja otak manusia, mereka mencoba untuk menciptakan segala sesuatu yang awalnya bertujuan untuk mempermudah pekerjaan.

Sayangnya, karena otak memiliki peran yang sangat kompleks, banyak hal yang belum mampu terjawab oleh ilmuan. Bahkan, jumlah koneksi di dalam otak dan kapasitas penyimpanan memori di dalam otak masih menjadi tanda tanya besar bagi ilmuan top dunia. 

Hal ini sangat wajar karena penelitian di bidang neurology tidak bisa dilakukan tanpa melibatkan manusia sebagai objek penelitian. Bahkan, di barat saja, tikus dan beberapa hewan laut menjadi dua jenis hewan favorit yang bisa dipakai untuk penelitian karena sistem sel otak yang katanya sangat identik dengan sistem sel otak manusia. 

Hal serupa juga terjadi di dunia psikologi, di mana teori-teori psikologi sebagian besar datang dari penelitian yang objeknya adalah hewan dengan tingkat kesamaan sistem organ dengan manusia. 

Penelitian seperti ini masih berlanjut di sebagian besar laboratorium tercanggih di dunia dengan melibatkan pakar di bidangnya. 

Salah satu alasan objek penelitian fisik tidak boleh melibatkan manusia adalah karena adanya kode etik penelitian yang melarang maupun membatasi penelitian yang melibatkan manusia secara langsung.

Tentu saja tidak semua kode etik ini dipatuhi, di beberapa laboratorium sangat mungkin objek manusia bisa digunakan dengan tujuan mendapatkan jawaban lebih akurat. 

Hasilnya bisa digunakan untuk sebuah inovasi teknologi atau bahkan rekayasa teori yang sebenarnya tidak diperbolehkan secara kode etik penelitian.

Mudah belum tentu bermanfaat

Jika banyak yang berkata teknologi membuat hal menjadi mudah, anggapan ini tentu benar. Tapi, perlu diingat kebenaran ini tidak mutlak membawa perubahan ke arah positif. 

Dalam penelitian otak, segala sesuatu yang dilakukan berulang akan menghasilkan memori jangka panjang dan membuat hal itu menjadi aset di bagian otak. 

Saat teknologi menghadirkan fitur kemudahan, manusia tidak lagi butuh usaha ekstra. Kemudahan ini membuat sistem informasi di otak berjalan secara tidak normal. Akibatnya, jika sering dan terbiasa menggunakan fitur yang menghadirkan kemudahan, maka dengan sendirinya fungsi otak kita akan berkurang seiring berkurangnya arus koneksi antar neuron di dalam otak. 

Sebagai contoh, saat kita menulis ada saraf di jari kita yang mengirimkan sinyal ke bagian otak sehingga koneksi di dalam otak muncul. 

Hal itu menyebabkan otak mentransfer informasi ke bagian otak lainnya. Sehingga semakin sering kita menuli, maka intensitas transfer antar neuron akan semakin maksimal yang akhirnya membentuk sebuah memori jangka panjang. 

Berbeda saat kita menulis sebuah note di HP, apalagi dengan fitur kata yang bisa dideteksi otomatis atau dengan hanya berbicara lalu aplikasi akan menerjemahkan. Proses transfer informasi pada bagian otak tidak terjadi secara normal, sehingga mengakibatkan otak melemah dan kemampuan mengingat akan menurun. 

Jika terbiasa menggunakan HP, regenerasi sel di dalam otak juga akan bermasalah. Nah, ini juga kenapa penyakit pikun akan berbeda antar orang. 

Perbedaannya akan sangat siknifikan jika dilihat dari seberapa aktif anggota tubuh digunakan. Seorang yang sering berjalan dan beraktivitas akan menyebabkan sirkulasi oksigen ke otak lebih aktif dan membuat otak lebih sehat.

Media sosial membuat otak berfungsi lambat

Banyak penulis barat yang memaparkan fakta bahwa fitur media sosial dihadirkan dengan memanipulasi fungsi otak. 

Dalam otak manusia ada bagian yang menghasilkan rasa bahagia dan kecewa atau sedih dari hormon yang berbeda. 

Secara normal rasa bahagia maupun sedih terjadi karena interaksi antar individu. Cara kerja otak yang secara alamiah membuat koneksi antar neuron terjadi dengan efektif dan tentunya sehat.

Saat berhadapan dengan media sosial, otak manusia tidak berjalan secara normal. Misalnya, saat seseorang berinteraksi melalui chat atau status, penggunaan emoticon atau picture adalah media komunikasi yang diterjemahkan secara berbeda oleh otak. 

Mudahnya saat seseorang berinteraksi langsung, sebuah senyuman atau muka yang cemberut menjadi sebuah database bagi otak untuk diterjemahkan sebagai sebuah kebahagian atau kemurungan. 

Sedangkan media sosial memakai emoticon atau picture sebagai media ekspresi. Secara jangka panjang otak akan terbiasa menginterpretasi pesan yang tidak normal dari gambar yang dilihat. Ini mengakibatkan otak bekerja secara tidak alamiah. 

Kecenderungan memakai media sosial jika tidak diimbangi dengan interaksi sosial dalam dunia nyata akan membuat fungsi otak menurun scera drastis. 

Sebuah artikel terbaru tahun 2019 dengan judul "The "Online Brain": How The Internet May be Changing Our Cognition" memaparkan fakta bahwa pemakaian internet mampu merubah struktur otak yang berakibat pada menurunnya fokus dan berubahnya sistem penyimpanan memori di dalam otak (baca di sini). 

Dalam artikel lainnya "Social Media is Rotting Your Brain" menyebutkan kemampuan otak berkonsentrasi akan berkurang secara drastis saat seseorang terbiasa menggunakan media sosial.

Saat otak terbiasa untuk membuka new tab atau beralih dari satu media sosial ke media sosial lainnya, ini menyebabkan otak membentuk sebuah pola multi-tasking, secara jangka panjang kemampuan otak untuk fokus akan menurun karena sistem koneksi antar neuron yang tidak terjadi secara acak yang membuat pola tak beraturan. (baca di sini)

Just like a gambling or substance addiction, social media addiction involves broken reward pathways in our brains.

Kalimat di atas merupakan sebuah kutipan dari sebuah penelitian yang berjudul "This is Your Brain on Instagram: Effects of Social Media on the Brain". 

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa menggunakan media sosial ibarat berjudi karena menghasilkan sebuah reward dalam bentuk rasa puas yang semu. 

Reaksi yang sama hadir jika seseorang bermain judi, atau permainan yang mendapatkan reward berbentuk poin dan lainnya. Ini menyebabkan rusaknya sistem reward di dalam otak. Artinya, otak akan kehilangan kemampuan untuk menerjemahkan rasa bahagia secara normal. 

Bijaklah dalam menggunakan media sosial dan internet. JIka tak ingin otak bermasalah, kembalilah bersosialisasi secara normal. 

Simpan Hp anda dan perbanyak berinteraksi dengan sesama. Kemudahan ternyata merusak pola kerja otak. Berhati-hatilah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun