Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Problematika Belajar Daring di Indonesia dan Efektivitas Jangka Panjang

21 Oktober 2020   12:38 Diperbarui: 22 Oktober 2020   17:52 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingin membuka tulisan ini dengan sebuah pribahasa yang berbunyi :

Dari telaga yang jernih tak akan mengalir air yang keruh 

Mungkin pribahasa di atas tidak lagi terdengar saat ini, namun kondisi saat ini cocok dengan bunyi pribahasa tersebut. Tahukah teman-teman apa arti pribahasa diatas. Orang-orang yang baik akan melahirkan keturunan yang baik pula. Lebih kurang begitulah makna dari penggalan pribahasa yang sudah banyak terlupakan oleh kita.

Tulisan ini saya buat untuk melihat dan merefleksi proses pembelajaran secara daring saat ini. Perlu diketahui bahwa belajar daring (online) bukan hal baru yang muncul saat pandemik COVID-19 baru-baru ini, di dunia kampus di berbagai negara belajar secara daring sudah lama terkenal dengan nama distance learning atau lebih familiar disebut belajar jarak jauh dan ini menjadi sebuah proses transfer ilmu secara daring tanpa terbatasi oleh jarak, tempat dan waktu.

Saat dunia terjangkiti COVID-19, hampir semua aspek kehidupan terhenti, dari ekonomi sampai interaksi sosial dibatasi secara masif. Tentu ini bukan hal mudah, terlebih bagi negara yang ekonominya bergantung pada interaksi sosial yang terfokus pada masyarakat dengan penghasilan menengah kebawah, dimana perputaran uang sangat tidak mungkin terjadi jika interaksi sosial dibatasi atah bahkan terhenti. Apalagi jika merujuk pada nilai-nilai budaya, tanpa interaksi secara otomatis transfer komunikasi akan terputus.

Lantas, bagaimana kaitan ekonomi dengan pendidikan secara daring yang saat ini terjadi di negara ini? jujur, saya melihat proses belajar daring saat ini justru menghilangkan sisi produktifitas para pelajar, walaupun disisi lain pemerintah tidak mau mengambil resiko untuk menambah jatuhnya korban keganasan virus Covid-19 dengan terus melanjutkan belajar secara tatap muka. Tapi, perlu diingat, kebijakan pemerintah perlu dikaji ulang dengan menilai aspek efektifitas, produktifitas, dan kualitas.

MARI KITA BAHAS!

1. Efektifitas

Dengan berbagai latar belakang keberagaman suku dan budaya yang mewakili Indonesia dari perkotaan sampai pedesaan,proses transfer ilmu memiliki sisi efektivitas yang berbeda. Mungkin,area perkotaan dengan fasilitas yang bisa dikatakan cukup, belajar secara daring bisa efektif karena konektifitas yang lebih terjamin.

Namun, di banyak area, terlebih area pedesaan yang terisolir melewati pegunungan dan pepulauan dengan jarak tempuh puluhan kilometer, belajar daring bukan sesuatu yang mudah karena sinyal internet tidak mudah dijumpai dan sangat terbatas. 

Di sisi lain, efektivitas juga harus diukur dari sejauh mana manfaat yang diperoleh atau output yang dicapai dari proses belajar daring. Lagi-lagi jika merujuk ke perkotaan, belajar secara daring bisa 'mungkin' dikatakan efektif karena adanya support keluarga kepada peserta didik di rumah.

Artinya, anak masih bisa terbantu dengan orangtua yang terlibat membimbing anak dalam proses belajar daring, walaupun masih banyak orangtua yang sebenarnya merasa 'kewalahan' karena harus mendampingi anak di rumah dengan keterbatasan ilmu.

Berbeda dengan mereka yang tinggal di area perkampungan yang terpisah oleh gunung atau bahkan danau, banyak orangtua yang harus bekerja di persawahan bercocok tanam untuk menghidupi keluarga, belajar daring bukan sebuah solusi bagi mereka karena selain faktor koneksi yang terbatasi, juga faktor ekonomi yang tidak mungkin terhenti.

Jadi, bagi mereka nilai efektivitas pembelajaran tidak bisa disamakan dengan anak-anak yang hidup di dengan kemudahan akses dan support finansial yang baik.

Intinya, harus ada dua sisi kebijakan untuk menentukan nilai efektifitas proses belajar daring ditinjau dari sudut kemampuan dan latar belakang anak didik.

Sangat tidak wajar jika pemerintah membuat satu kebijakan kepada dua grup dengan latar belakang masyarakat yang berbeda, sementara keduanya adalah aset aktif yang menyokong tegaknya bangsa ini secara ekonomi sampai saat ini.

Padahal, tanpa mereka di pedesaan dengan hasil pertanian yang masuk ke perkotaan, tentu hidup di perkotaan tidak akan berjalan normal. Bukankah seharusnya pemerintah memiliki kebijakan yang lebih baik kepada mereka di pedesaan?

2. Produktivitas

Poin kedua yang juga harus dipikirkan apakah output yang dihasilkan bisa produktif atau malah sebaliknya. Belajar secara daring mengharuskan peserta didik untuk lebih mandiri dalam hal fokus dan konsentrasi. Berbeda saat belajar secara tatap muka, belajar daring mengharuskan peserta didik untuk berada di tempat yang tidak bisik (nyaman) agar proses transfer ilmu bisa efektif dan ada hasil yang didapat.

Hal ini seringkali menjadi keluhan peserta didik dimana mayoritas mereka sangat sulit untuk belajar dari rumah tanpa adanya gangguan. Sehingga selama proses pembelajaran daring bisa dipastikan produktifitas bisa menurun secara drastis jika dibandingkan dengan proses tatap muka di dalam ruangan di sekolah atau kampus. 

Faktor kesiapan belajar secara daring harus juga dijadikan sebuah indikator oleh pemerintah. Tidak fair jika pemerintah dalam hal ini menyamakan dengan negara-negara maju dimana kultur distance learning berjalan seirama dengan nilai-nilai budaya setempat.

Sangat berbeda dengan kultur di Indonesia, dimana nilai pendidikan melekat erat pada sekolah atau institusi pendidikan. Secara mudah dipahamai, perpindahan anak dari rumah ke sekolah dengan sendirinya adalah sebuah kultur terjadinya transfer ilmu.

Saat anak menetap di rumah untuk belajar, ini menjadi sebuah beban mental bagi kebanyakan orangtua karena faktor kesiapan untuk menjadi support atau guru kedua bagi anak tidak seperti mereka yang hidup di negara maju.

Hal ini sangat wajar karena nilai-nilai kehidupan sangat dipengaruhi dari nilai kultur kebudayaan area setempat. Jadi, jangan sampai kita merubah kultur untuk membuat perubahan yang sebenarnya bertolak belakang dari nilai-nilai yang kita pegang selama ini.

Oleh sebab itu, akan lebih bijak jika pemerintah menganalisa kebutuhan belajar daring dari sudut pandang orangtua sebagai support bagi peserta didik. Perlu diingat! proses transfer ilmu juga sangat ditentukan oleh adanya parental engagement (keterlibatan orangtua). Bahkan, di barat ini menjadi tolak ukur berhasilnya sebuah kurikulum.

Sebagai contoh, Finlandia sebagai negara dengan kualitas terbaik di dunia bahkan mengharuskan orangtua untuk mendampingi anak sampai umur 7 tahun sebelum anak bisa belajar di sekolah.

Ini bukan karena tanpa alasan, melainkan faktor kesiapan otak untuk menyerap ilmu sangat ditentukan dari kesiapan anak secara psikologi. Orangtua perlu mendapatkan support dari pemerintah secara mental selain finansial. Kementrian pendidikan perlu mengkaji, menganalisa dan mempersiapkan kurikulum yang mengedepankan produktifitas pembelajaran dengan memberi support yang terstruktur kepada para orangtua.

Hal ini tidak mudah, namun secara jangka panjang ini sangat membantu orangtua untuk menghasilkan generasi yang cermerlang secara intelektual dan emosional.

3. Kualitas

Berbicara kualitas, kita juga bergantung pada proses. Kualitas pendidikan sangat-sangat dipengaruhi oleh kesiapan guru dan peserta didik. Proses belajar offline dan online mengharuskan persiapan yang berbeda dari kedua belah pihak agar transfer ilmu lebih efektif dan produktif. Kita tidak bisa menafikan bahwa kesiapan mental terkadang memiliki efek lebih besar daripada kesiapan intelektual.

Banyak guru yang efektif secara offline tapi kalangkabut saat harus bertransformasi ke online. Begitu juga disisi anak didik, banyak yang tidak siap saat duduk didepan layar karena berbagai macam alasan, dari sulit koneksi sampai sulit menyerap informasi. Ini semua berakar dari faktor kesiapan yang belum maksimal.

Pengalihan kelas tatap muka ke kelas tatap layar membutuhkan persiapan yang berbeda. Jika secara tatap muka seorang guru bisa lebih mudah karena persiapan buku dan bahan ajar yang ada dikedua belah pihak, namun secara virtual atau daring ini tidak bisa disamakan. Tanpa pemahaman penggunaan teknologi yang mumpuni, proses transfer ilmu tidak akan berkualitas.

Nah, ini adalah permasalahan mendasar yang menjadi bahan analisa pembuat kebijakan untuk menghadirkan aplikasi yang bisa mempermudah proses transfer ilmu saat ini.

Saya rasa saat ini pemerintah perlu mendesain aplikasi belajar yang relevan dengan kultur belajar ditempat kita, tanpa harus bergantung kepada Zoom, Google Classroom, atau lainnya yang secara kualitas mungkin tidak menjamin kualitas output yang sesuai kebutuhan dilapangan.

Saya sangat optimis dengan hasil karya anak bangsa yang sangat mampu mendesain berbagai aplikasi yang relevan dengan kebutuhan ilmu di Indonesia. Pemerintah perlu membuat sayembara desain aplikasi belajar dengan fitur nilai-nilai kebudayaan didalamnya yang juga harus mengedepankan kebutuhan ilmu diberbagai tempat dari sudut pandang ekonomi, kultur sosial dan agama.

Kita tidak perlu terus mengikuti negara maju dengan prinsip atau pola belajar yang tidak semuanya relevan dengan kebutuhan kita. Ambil sisi positif, modifikasi, dan sesuaikan dengan apa yang dibutuhkan oleh peserta didik diberbagai daerah. Dan yang perlu dipahami, ini butuh Need analysis atau analisa kebutuhan di lapangan dengan detail tanpa faktor kepentingan politik tertentu.

Singkatnya, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan kembali kepada pribahasa diawal tulisan ini "Dari telaga yang jernih tak akan mengalir air yang keruh".

Sudah saatnya kita memperbaiki diri agar generasi ini lebih baik dimulai dari pendidikan yang baik pula. JIka keturunan yang baik hadir dari orang-orang yang baik, Maka pendidikan yang baik tentu melahirkan generasi cemerlang. Penddidikan yang baik bukan tanggung jawab personal namun tanggung jawab bersama. Karena kita yakin jika bukan kita hari ini memperbaiki pendidikan kita maka kedepan tidak mustahil air yang jernih berubah menjadi keruh.

Satu pribahasa lain dibawah ini juga mengajarkan kita banyak hal.

Berguru kepalang ajar bagai bunga kembang tak jadi

Arti pribahasa diatas adalah mempelajari ilmu setengah-setengah tidak akan membawa manfaat. Sekali lagi saya hanya ingin merefleksi output pendidikan kita yang selama ini kelihatannya seperti trials and errors. Hari ini mungkin kita lupa bahwa prioritas kita sudah keluar dari rel manfaat dan beralih kepada asas Kualitas.

Bisa jadi karena ini kita tidak lagi mendapatkan manfaat ilmu dari orang-orang pandai karena niat yang sudah berubah. Jangan sampai kita kedepan hanya akan melihat gedung institusi pendidikan yang mewah dengan fasilitas lengkap layknya air yang jernih, namun pada hakikatnya manfaat yang didapat oleh orang sekitar layaknya menghilangkan dahaga dari air yang keruh. 

Pada akhirnya kita berharap  jangan sampa berada persis seperti sebuah pribahasa lama yang berbunyi Bergantung pada akar lapuk
(Mengharapkan bantuan pada orang yang tak mungkin memberikan bantuan)

***

Note:

Tulisan ini adalah hasil refleksi dari apa yang dilihat, dirasakan, dan diamati disekitar selama ini. Mohon masukannya dengan memberikan komentar dibawah ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun