Sangat berbeda dengan kultur di Indonesia, dimana nilai pendidikan melekat erat pada sekolah atau institusi pendidikan. Secara mudah dipahamai, perpindahan anak dari rumah ke sekolah dengan sendirinya adalah sebuah kultur terjadinya transfer ilmu.
Saat anak menetap di rumah untuk belajar, ini menjadi sebuah beban mental bagi kebanyakan orangtua karena faktor kesiapan untuk menjadi support atau guru kedua bagi anak tidak seperti mereka yang hidup di negara maju.
Hal ini sangat wajar karena nilai-nilai kehidupan sangat dipengaruhi dari nilai kultur kebudayaan area setempat. Jadi, jangan sampai kita merubah kultur untuk membuat perubahan yang sebenarnya bertolak belakang dari nilai-nilai yang kita pegang selama ini.
Oleh sebab itu, akan lebih bijak jika pemerintah menganalisa kebutuhan belajar daring dari sudut pandang orangtua sebagai support bagi peserta didik. Perlu diingat! proses transfer ilmu juga sangat ditentukan oleh adanya parental engagement (keterlibatan orangtua). Bahkan, di barat ini menjadi tolak ukur berhasilnya sebuah kurikulum.
Sebagai contoh, Finlandia sebagai negara dengan kualitas terbaik di dunia bahkan mengharuskan orangtua untuk mendampingi anak sampai umur 7 tahun sebelum anak bisa belajar di sekolah.
Ini bukan karena tanpa alasan, melainkan faktor kesiapan otak untuk menyerap ilmu sangat ditentukan dari kesiapan anak secara psikologi. Orangtua perlu mendapatkan support dari pemerintah secara mental selain finansial. Kementrian pendidikan perlu mengkaji, menganalisa dan mempersiapkan kurikulum yang mengedepankan produktifitas pembelajaran dengan memberi support yang terstruktur kepada para orangtua.
Hal ini tidak mudah, namun secara jangka panjang ini sangat membantu orangtua untuk menghasilkan generasi yang cermerlang secara intelektual dan emosional.
3. Kualitas
Berbicara kualitas, kita juga bergantung pada proses. Kualitas pendidikan sangat-sangat dipengaruhi oleh kesiapan guru dan peserta didik. Proses belajar offline dan online mengharuskan persiapan yang berbeda dari kedua belah pihak agar transfer ilmu lebih efektif dan produktif. Kita tidak bisa menafikan bahwa kesiapan mental terkadang memiliki efek lebih besar daripada kesiapan intelektual.
Banyak guru yang efektif secara offline tapi kalangkabut saat harus bertransformasi ke online. Begitu juga disisi anak didik, banyak yang tidak siap saat duduk didepan layar karena berbagai macam alasan, dari sulit koneksi sampai sulit menyerap informasi. Ini semua berakar dari faktor kesiapan yang belum maksimal.
Pengalihan kelas tatap muka ke kelas tatap layar membutuhkan persiapan yang berbeda. Jika secara tatap muka seorang guru bisa lebih mudah karena persiapan buku dan bahan ajar yang ada dikedua belah pihak, namun secara virtual atau daring ini tidak bisa disamakan. Tanpa pemahaman penggunaan teknologi yang mumpuni, proses transfer ilmu tidak akan berkualitas.