Mari kita sambut pemilu 2019 dengan penuh rasa suka cita. Jadikan pemilu 2019 sebagai ajang pesta demokrasi yang menggembirakan rakyat, bukan ajang untuk menimbulkan kegaduhan apalagi perpecahan.
Mari kita kendorkan sejenak urat syaraf, pikiran dan emosi dengan membahas hal yang ringan-ringan, remeh temeh, sekadar intermezzo atau sendau gurau tentang pemilu kita. Tinggalkan sejenak analisa politik tingkat tinggi yang membuat kepala jadi pening. Lupakan sejenak perseteruan antara cebby dan pretty.
Dialog #1
Dia      : "2019 ganti presiden!"
Saya    : "Kenapa, sih, kalian ngebet banget mau ganti presiden?"
Dia      : "Lhoh ... khan emang udah waktunya. Udah lima tahun 'khan? Waktunya pilpres lagi! Iya, toh?"
Saya    : "Ooh ... iya, ya."
Dia      : "Masalah nanti dia terpilih lagi, itu urusan no.2"
Saya    : "Gitu, yah? Yo wis-lah ...."
Dialog #2
Dia      : "Saya dukung no.2. Sampeyan no berapa?"
Saya    : "Maksudnya no.2, Prabowo Sandi?"
Dia      : "Yap! Betul sekali! Pas!"
Saya    : "Ooh ... kalo Prabowo saya juga dukung jadi capres."
Dia      : "Siiiiplah .... Salaman!"
Saya    : "Saya dukung dia jadi capres lho, masbro. Kalo untuk milih dia, nanti dulu."
Dia      : "Lho? Katanya dukung Prabowo?"
Saya    : "Iya, saya harus dukung dia. Kalo nggak saya dukung dia jadi capres, ntar capresnya cuman ada satu pasang. Nggak seru, dong!"
Dialog #3
Dia      : "Coblos yang mana, masbro? 01 apa 02?"
Saya    : "Pokoknya saya nggak akan coblos pasangan yang ada ulamanya, takut kuwalat."
Dia      : "Berarti 02, dong? Siiip .... salaman."
Saya    : "Lhoh? Bukannya 02 juga ada ulamanya?"
Dia      : "Sampeyan jangan bercanda! Siapa ulama di 02?"
Saya    : "Lhah, bukannya kemarin HNW bilang kalo Sandiaga Uno itu ulama! Lupa, ya? Jadi saya juga nggak akan coblos dia, takut kuwalat."
Dialog #4
Dia      : "Utang luar negeri jaman Jokowi ini gila-gilaan, luar biasa gedhe-nya. Itu baru pokoknya, belum bunganya."
Saya    : "Emang besar, tapi nggaklah kalo sampe gila-gilaan."
Dia      : "Pusing saya. Yang saya pikir itu, kapan lunasnya?"
Saya    : "Sudahlah, itu urusan pemerintah. Ngapain kamu pikirin?"
Dia      : "Pemerintah yang mana?"
Saya    : "Ya, pemerintah sekarang dan yang selanjutnya. Siapapun presidennya, baik yang sekarang maupun penggantinya, wajib bayar utang pemerintah itu."
Dia      : "Lhah, enak di Jokowi, pening di penggantinya."
Saya    : "Emang iya, begitu! Yakin, masih ngotot mau gantiin Jokowi? Pusing, lho, jadi presiden! Ini baru satu urusan, utang pemerintah doang. Belum urusan yang lain."
Dia      : "Nggak bisa! Prabowo harus jadi presiden supaya utang kita nggak nambah lagi."
Saya    : "Baguslah kalo gitu. Lebih bagus lagi kalo nggak nambah utang sekaligus nyicil bayar utang Jokowi. Karena saat ini Jokowi juga sambilan nyicil utang SBY."
Dia      : "Utang Jokowi itu urusan Jokowi sendiri."
Saya    : "@#$%^&*(.)(.)+ .....???"
Dialog #5
Dia      : "Jokowi ini apa-apa kok import. Dari bahan pokok sampe kuli kok import. Presiden macam apa itu!"
Saya    : "Yaa, ... kalo ada yang kurang, biar bisa mencukupi kebutuhan, ya ... import. Gitu aja kok repot."
Dia      : "Kita ini negara besar, mas. Segalanya ada di sini. Sumber daya alam kita melimpah. Kita nggak butuh barang import. Kalo Pak Prabowo jadi presiden, pasti akan stop semua import."
Saya    : "Serius, nih, semua bisa kita penuhi sendiri?"
Dia      : "Serius, mas! Kalo Prabowo jadi presiden, kita pasti bisa stop import! Mandiri. Swasembada!"
Saya    : "Termasuk gandum?"
Dia      : "Termasuk gandum. Apa susahnya tanam gandum? Tanah kita subur, semua pasti bisa tumbuh."
Saya    : "Tapi, iklimnya nggak cocok, masbro. Kalo dipaksakan nggak maksimal hasilnya. Gimana?"
Dia      : "Kan bisa diganti dengan bahan lain. Emangnya siapa yang makan gandum? Gandum kan bukan makanan pokok orang Indonesia?"
Saya    : "Kita emang nggak makan gandum, masbro. Tapi, industri roti dan mie instan yang butuh. Kalo nggak ada gandum, mau pabrik roti dan mie instan tutup dan terjadi PHK massal?"
Dia      : "Lho ... lho .... Lho ... Jangan, dong!"
Dialog #6
Saya    : "Serius amat, masbro. Lagi ngapain?"
Dia      : "Lagi konsolidasi. Mantapin persiapan demo."
Saya    : "Waahh ... demo apaan? Di mana?"
Dia      : "Demo anti asing. Anti Amerika. Di Kedubes Amerika."
Saya    : "He ... eh ... he ... eh ... he ... eh ...."
Dia      : "Kayaknya sinis banget ketawanya, mas? Kenapa?"
Saya    : "Geli ... lucu, aja."
Dia      : "Lucunya di mana?"
Saya    : "Itu hape, apa merknya?"
Dia      : "iPhone."
Saya    : "Amerika. Tadi, konsolidasinya pake medsos, ya? Apa?"
Dia      : "Iya. Semua medsos; facebook, twitter, WA dan IG."
Saya    : "Amerika juga. Itu kotak nasi KFC, untuk ransum demo?"
Dia      : "Iya."
Saya    : "Amerika lagi. Terus nanti berangkat ke lokasi demo pake mobil Ford atau Chevrolet. Selesai demo, pulangnya mampir bioskop 21 nonton film Avengers. Jangan-jangan di rumah ada laptop HP, OS-nya Windows bajakan lagi. Betul atau betul?"
Dia      : "He ... he ... he ...." (sambil cengar-cengir).
Dialog #7
Saya    : "Pak'e pilih KoMar. Mak'e pilih siapa?"
Istri     : "Pilih BoSan, dong."
Saya    : "Kenapa pilih BoSan? Apa alasannya?"
Istri     : "Yang satu tegas, satunya lagi masih muda, pinter, cakep, kaya lagi. Pak'e sendiri, kenapa pilih KoMar?"
Saya    : "Halaaahh ... BoSan itu yang satu pemarah, suka menghina. Yang satu jadi wagub aja belum satu tahun dan belum kelihatan hasil kerjanya, kok udah mau jadi wapres. Bisa apa dia?"
Istri     : "Lhah, daripada KoMar! Yang satu kurus, plonga-plongo, nggak ada wibawanya. Satunya lagi udah aki-aki, pikun, klemar-klemer!"
Saya    : "Kurus emang iya, tapi dia jujur, pekerja keras dan sabar. Kalo yang tua dipilih karena bijaksana, ilmu agamanya luas."
Istri     : "Pokoknya Mak'e tetep pilih BoSan!"
Saya    : "Kalo Mak'e nekad milih BoSan, Pak'e akan stop uang belanja bulanan!"
Istri     : "Ooo ... gitu, ya? Berani stop uang belanja, nggak ada acara pijit malam-malam! OK?!"
Saya    : "Lhoh ... kok gitu?!"
Istri     : "Iya, dong!"
Saya    : "Pokoknya, KoMar!"
Istri     : "Nggak bisa. Pokoknya BoSan!"
Saya    : "KoMar!"
Istri     : "BoSan!"
Saya    : "KoMar!"
Istri     : "BoSan!"
Tiba-tiba,
Anak    : "Bapak sama Ibu ini ngributin apa, sih? Dari tadi kok bosan, komar, bosan, komar."
Saya    : "Eh ... eh .... adik. Bapak sama Ibu lagi diskusi soal masa depan, dik."
Anak    : "Masa depan siapa, si Komar? Nggak usah dibahas dah, si Komar mah anaknya emang bosenin, nyebelin, nggak bisa diajak berteman!"
Dialog #8
Dia      : "Masbro, gimana tuh jagoan sampeyan. Mosok ngucap Al-Fatehah aja nggak becus? Al- Fateka."
Saya    : "Masalah, yah?"
Dia      : "Ya, masalahlah! Al-Fatehah itu surat utama dalam Al-Qur'an. Dibaca 17 kali dalam sehari, kok masih salah! Apa dia kalo sholat nggak baca Al-Fatehah?"
Saya    : "Waah....serius sekali ini rupanya."
Dia      : "Dua rius, malahan."
Saya    : "Begini. Pertama. Saya merasa nggak pantas untuk menilai bacaan beliau benar atau salah. Karena saya sendiri masih sering nggak pas mengucapkan antara "dal" () dan "dhod" (), antara "kha"() dan "ha"(), antara "sin"() dan "sho" (), antara "syin"() dan "tsa'"()."
Dia      : "Ya ... ya ... ya ... terus yang kedua?"
Saya    : "Yang kedua. Nggak ada dalam Al-Quran kata 'Al-Fatehah', karena dalam bahasa Arab nggak ada vokal 'e', adana vokal 'i', jadi ang benar 'Al-Fatihah'. Surat Al-Fatihah emang dibaca 17 kali dalam sholat, tapi kata 'Al-Fatihah' sendiri nggak pernah diucapkan. Coba baca baik-baik, ada nggak kata 'Al-Fatihah' dalam surat Al-Fatihah? Nggak ada, kan? Sama halnya dengan surat 'Al-Ikhlas', di dalamnya nggak ada satu pun kata 'Al-Ikhlas'. Beliau hanya kurang pas mengucapkan sebuah nama atau judul surat, jadi menurut saya hal itu nggak perlu dipermasalahkan."
Dia      : "Hmm .... tapi, mosok ngucap Al-Fatihah juga masih salah-salah."
Saya    : "Sampeyan pernah ke Jepang?"
Dia      : "Belum. Emang apa hubunganna dengan Jepang?"
Saa     : "Saya juga belum pernah, tapi sedikit tahu tentang Jepang. Untuk sampeyan ketahui, dalam bahasa Jepang nggak ada huruf 'L'(el). Ada sebuah kisah yang patut sampeyan renungkan. Ada seorang warga negara Jepang hendak masuk Islam. Ketika akan mengucapkan dua kalimat syahadat, dia mengalami kesulitan karena harus mengucapkan kalimat yang banyak huruf 'el'-nya. Dengan susah payah dia berusaha mengucapkan dua kalimat syahadat, namum selalu terucap "ash hadu anra irraha irarrah wa ash hadu anra muhammadan rasururrah". Setelah berulang kali dicoba tetap saja nggak bisa mengucapkan dua kalimat syahadat dengan sempurna, akhirnya sang imam masjid yang membimbingnya bersyahadat meluluskan ikrar syahadatnya. Mengapa? Sang imam menganggap dan berkeyakinan bahwa sang muallaf nggak bermaksud merendahkan ataupun melecehkan kalimat syahadat. Selain itu dia udah berusaha untuk mengucapkan kalimat syahadat dengan baik, meskipun tetap saja belum sempurna. Biar Allah SWT saja yang akan mencatat niat baik muallaf tersebut. Sampeyan bayangkan, ini kalimat syahadat lho, bukan kalimat sembarangan."
Saa hentikan sejenak 'khotbah' saya.
Saya    : "Masih ada lagi. Bagi sebagian orang Eropa dan Amerika mengucapkan huruf 'a' seperi yang kita ucapkan sehari-hari, cukup menyulitkan. Mereka akan mengucapkannya dengan suara 'e'. Contoh, bagi kita menyebut nama 'Bambang' pasti biasa, tapi bagi sebagian orang Eropa dan Amerika mereka akan menyebutnya dengan 'Bembeng'. Nama 'Anggun' diucapkan 'Enggun'. Kalo sampeyan paksa mereka harus mengucap 'Bambang' atau 'Anggun', bahkan sampe marah-marah karena salah menyebut nama, mereka akan heran dan bingung dengan sikap sampeyan. Sampeyan dianggap kurang gaul, nggak punya wawasan."
Dia diam saja.
Saya    : "Emang sih, kebanyakan dari kita sukanya "much a do about nothing", terlalu berlebihan menyikapi hal-hal yang sebenarnya sepele. Suka ribut untuk soal hal yang nggak penting."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H