Akibat perilaku no.2 dan 3, uang kertas kita jadi mudah robek bahkan terbelah jadi dua atau lebih. Solusinya pun sangat simple, direkat pakai selotip.
Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan oleh penemuan uang kertas yang distempel dengan tulisan yang berkaitan dengan kubu salah satu capres. Menurut saya ini sudah kelewatan, karena memakai uang resmi sebagai media kampanye, terlepas apakah betul mereka yang melakukan atau bukan.
Nasib uang logam nominal Rp. 50,- Rp. 100,- dan Rp. 200,- sudah kalah pamor dengan permen. Sudah banyak masyarakat kita yang tidak menyediakan uang logam nominal di atas. Sementara yang nominal Rp. 500,- dan Rp. 1.000,- tukang parkir dan pengemis pun sudah enggan menerimanya. Bahkan salah seorang tetangga saya memakai uang logam kita untuk cetakan pembuatan kerajinan tangan (bros dari kain).
Jadi pantaslah kalau nilai Rupiah begitu rendahnya. Penggunanya sendiri saja tidak mau menghargai, apalagi orang asing. Padahal, menurut BI, untuk memusnahkan uang-uang yang sudah tidak layak seperti di atas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk mencetak uang baru sebagai pengganti yang rusak juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit pula.Â
Bahkan saya menduga biaya cetak uang logam ini lebih mahal dari nilai nominal uang logam itu sendiri. Rasanya tidak masuk akal biaya cetak uang logam pecahan Rp. 1.000,- kurang dari Rp. 1.000,-. Pasti lebih. Hal ini juga harus dipahami oleh masyarakat Indonesia sebelum 'melukai/menyakiti' uangnya sendiri.
UU no.7 tahun 2011
UU no.7 tahun 2011 tentang Mata Uang pada pasal 35 mengatur sanksi terhadap tindakan yang 'melukai/menyakiti' uang seperti di atas. Tindakan-tindakan seperti di atas masuk dalam kategori tindakan pidana bukan perdata. Jadi meskipun tidak ada yang mengadukan tetapi jika tertangkap melakukan tindakan-tindakan di atas bisa diseret ke pengadilan.
UU no.7 tahun 2011 pasal 35 ayat (1),