Dalam beberapa bulan terakhir, nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, terutama terhadap Dollar AS, menjadi perhatian banyak pihak. Kursnya yang sempat menyentuh kisaran Rp. 14.000 - 15.000,- per US $ 1,0 membuat khawatir banyak pihak. Dari para birokrat sampai rakyat, dari pelaku bisnis sampai jurnalis, dari para politisi sampai musisi, dari pengusaha muda sampai mahasiswa.
Pihak pemerintah mengklaim bahwa penyebab turunnya nilai tukar Rupiah disebabkan oleh faktor eksternal yang sulit dibendung. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa bukan Rupiah saja yang turun kursnya. Mata uang negara lain juga mengalami hal yang sama. Namun dekimian pemerintah tetap berusaha semaksimal mungkin untuk membendung merosotnya nilai tukar Rupiah.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak oposisi untuk menggoyang pemerintah. Pihak oposisi dengan lantang menyuarakan bahwa pemerintah tidak becus mengelola keuangan negara. Rakyat pun dihantui dengan bayangan-bayangan yang menyeramkan tentang masa depan negara ini jika 'terjunnya' kurs Rupiah tetap tak terbendung. Harga-harga barang akan semakin mahal, hutang negara membengkak dan hal-hal lain yang menyeramkan.
Sebenarnya, apa yang menyebabkan nilai tukar Rupiah begitu rendah bahkan seperti tidak ada harganya terhadap mata uang asing, terutama terhadap Dollar AS dan Poundsterling Inggris. Betulkah faktor eksternal, seperti apa yang disampaikan pemerintah? Atau ada faktor lain?
Ternyata, inilah beberapa penyebab mata uang kita begitu rendah nilainya.
Uang kita sering dicoret-coret/ditulisi
Sering sekali saya mendapati uang kertas kita penuh dengan coretan/tulisan. Yang paling sering adalah tulisan; no. HP, no. togel, puisi, quato lucu-lucu sampai curhat masalah pribadi. Entah apa yang ada di benak orang yang bikin coretan tersebut.
Aksi ini paling sering dilakukan oleh para pedagang di pasar tradisional. Mereka tidak (jarang) menyimpan uang hasil jualannya ke dalam dompet yang pipih, tapi ke dalam tas yang biasanya cukup lebar, seperti tas pinggang. Atau ke dalam laci meja dagangannya. Akibat dari kebiasaan ini, uang kertas kita jadi kelihatan kumel dan lusuh.
Meski sudah (makin) jarang ditemui, tetapi kadang masih juga mendapati uang yang distaples dalam jumlah tertentu. Biasanya 10 lembar uang pecahan Rp. 1.000,- Rp. 2.000,- Rp. 5.000,- atau Rp. 10.000,- Hal ini untuk memudahkan dalam menjumlah uang dalam jumlah besar. Biasanya dilakukan oleh bendahara atau kasir.
Akibat perilaku no.2 dan 3, uang kertas kita jadi mudah robek bahkan terbelah jadi dua atau lebih. Solusinya pun sangat simple, direkat pakai selotip.
Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan oleh penemuan uang kertas yang distempel dengan tulisan yang berkaitan dengan kubu salah satu capres. Menurut saya ini sudah kelewatan, karena memakai uang resmi sebagai media kampanye, terlepas apakah betul mereka yang melakukan atau bukan.
Nasib uang logam nominal Rp. 50,- Rp. 100,- dan Rp. 200,- sudah kalah pamor dengan permen. Sudah banyak masyarakat kita yang tidak menyediakan uang logam nominal di atas. Sementara yang nominal Rp. 500,- dan Rp. 1.000,- tukang parkir dan pengemis pun sudah enggan menerimanya. Bahkan salah seorang tetangga saya memakai uang logam kita untuk cetakan pembuatan kerajinan tangan (bros dari kain).
Jadi pantaslah kalau nilai Rupiah begitu rendahnya. Penggunanya sendiri saja tidak mau menghargai, apalagi orang asing. Padahal, menurut BI, untuk memusnahkan uang-uang yang sudah tidak layak seperti di atas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk mencetak uang baru sebagai pengganti yang rusak juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit pula.Â
Bahkan saya menduga biaya cetak uang logam ini lebih mahal dari nilai nominal uang logam itu sendiri. Rasanya tidak masuk akal biaya cetak uang logam pecahan Rp. 1.000,- kurang dari Rp. 1.000,-. Pasti lebih. Hal ini juga harus dipahami oleh masyarakat Indonesia sebelum 'melukai/menyakiti' uangnya sendiri.
UU no.7 tahun 2011
UU no.7 tahun 2011 tentang Mata Uang pada pasal 35 mengatur sanksi terhadap tindakan yang 'melukai/menyakiti' uang seperti di atas. Tindakan-tindakan seperti di atas masuk dalam kategori tindakan pidana bukan perdata. Jadi meskipun tidak ada yang mengadukan tetapi jika tertangkap melakukan tindakan-tindakan di atas bisa diseret ke pengadilan.
UU no.7 tahun 2011 pasal 35 ayat (1),
Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan dan atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Selanjutnya pada pasal 41 ayat (2),
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 35, pasal 36 dan pasal 37 adalah kejahatan.
Sampai saat ini memang belum ada kasus seseorang dipidanakan karena 'melukai/menyakiti' uang. Pihak BI masih menganggap perlakuan seperti di atas karena masyarakat belum paham dan mengerti. Mungkin pihak yang berwenang perlu memberi contoh pemberlakuan tindakan pidana ini, supaya masyarakat kita tahu bahwa 'melukai/menyakiti' uang bisa dipidanakan.
Terakhir, pertanyaan saya kepada Anda yang menyimpan uang asing, Dollar, Pound atau apa saja. Beranikah Anda 'melukai/menyakiti' uang asing simpanan Anda seperti di atas? Saya yakin jawabannya, TIDAK BERANI!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H