Mohon tunggu...
Mas Teddy
Mas Teddy Mohon Tunggu... Buruh - Be Who You Are

- semakin banyak kamu belajar akan semakin sadarlah betapa sedikitnya yang kamu ketahui. - melatih kesabaran dengan main game jigsaw puzzle. - admin blog https://umarkayam.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kala Cinta Menggoda di Waktu Senja v.2

21 Februari 2017   12:52 Diperbarui: 8 Desember 2017   20:14 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari interkini.com

Tahun ini Teguh berkesempatan mudik lebaran ke kampung halaman bersama keluarganya. Sudah lima tahun Teguh tidak mudik lebaran. Tahun ini keluarga orang tua Teguh didaulat jadi tuan rumah halal bihalal keluarga besar nenek Teguh dari garis ibunya. Acara halal bihalal pun berjalan lancar.

Malam harinya, ketika sedang belanja oleh-oleh khas kampungnya untuk tetangga di perantauan, sebuah suara lembut menyapanya,

“E.T., ya?”

Teguh pun segera menoleh ke arah suara lembut tersebut. Hanya beberapa orang saja yang memanggilnya dengan panggilan E.T. Seorang perempuan berjilbab tersenyum ramah padanya, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan lesung pipit di pipinya.

“Ehh …. sapa, yah? Sik, sik, sik ……. êêê … Tyas, ya?!

Iyo. Dak kira lali.”

Yoo …. gak mungkin aku lupa sama teman sekelas yang paling ramah dan paling murah senyum.”

“Lagi mborong oleh-oleh, ya? Sama sapa?”

“Itu, sama anak istriku. Lha, kamu sendiri sama sapa?”

Podho. Itu, sama suami karo anak-anakku.”

Mereka pun memanggil keluarga masing-masing, untuk berkenalan.

“Nyah, kenalin. Ini teman bapak waktu SMP-SMA dulu. Ayo, anak-anak. Salim sama tante Tyas sama om Edie.”

“Pah, kenalin. Ini Teguh, teman mama waktu SMP-SMA. Anak-anak, ayo salim sama om Teguh dan tante Erna.”

Kedua keluarga itu pun saling berkenalan.

“Kok gak pernah aktif lagi di Facebook, Guh?”

“Aah …. males! Udah gak asyik lagi. Habis, sekarang semuanya nawarin jualan, mau temenan apa bisnis?. Biar anak-anak aja yang main wajah buku.”

Oalaahh …. gitu aja kok dipikirin, Guh. Temen-temen pikir kamu sakit atau apa. Kok ngilang begitu aja, gak ada kabarnya.”

“Kalo pingin tahu kabar ‘kan gak hanya lewat wajah buku. Bisa telpon atau sms.”

“Nomermu masih sama dengan yang di profil facebookmu, to?”

“Oh, iya sorry, aku dah ganti nomer. Ini nomer baruku.”

Teguh dan Tyas pun saling bertukar nomer telepon. Setelah basa-basi ngobrol sebentar, kedua keluarga itu pun berpisah.

Sepuluh tahun telah berlalu sejak pertemuan di toko oleh-oleh tersebut, ketika,

“Pak, Buk, Alif dah siap dan pingin nikah.”

Teguh dan Erna kaget mendengar laporan sekaligus permintaan Alif, anak pertamanya.

Elho, gak pernah kelihatan pacaran kok ujug-ujug minta nikah. Emangnya kamu mau nikah sama sapa, Le?

“Mana calonmu, Le? Kok gak dikenalin sama ibu?”

“Calonnya anak temen Bapak, Bu.”

“Anak temen Bapak yang mana?”

“Yang pernah ketemu waktu beli oleh-oleh di kampung nenek dulu.”

“Anaknya tante Tyas, maksudmu?”

“Iya.”

“Oalahh … sapa namanya, ibu lupa.”

“Ningsih, Bu.”

“O .. iya, si Ningsih. Emang manis anak itu, mirip ibunya.”

“Kamu dah mantap, Le? Yakin?”

“Mantap dan yakin, Pak!”

“Kamu dah kenal Ningsih luar dalam, belum?”

“Yaa … udahlah, Pak. Dah hampir empat tahun Alif pacaran sama Ningsih.”

“Empat tahun? Kapan kamu pacarannya, kok Bapak-Ibu gak pernah lihat?”

“Pacaran online, Pak. Pake chatting. Lewat FB sama WA.”

Hadhuuhh…. ono-ono ae bocah jaman saiki!”

“Tapi, kamu dah betul-betul yakin to, Le?

“Yyyakin, Bu!”

“Dah siap lahir batin?”

“Uudaahhh, Paaakk!”

“Tapi, Ningsihnya mau gak sama kamu?”

“Ya … maulah, Pak. Kalo gak mau, mosok saya ngomong sama Bapak-Ibu kalo pingin nikah.”

“Yo wis, kalo gitu. Gimana, Bu?”

“Kok gimana? Ya udah, lamarkan anakmu sana ke orang tua Ningsih!”

Begitulah, Teguh pun menghubungi orang tua Ningsih, membicarakan tentang perjodohan anak mereka. Kedua orang tua pun telah sepakat menentukan hari dan tanggal lamaran.

Hari dan tanggal acara lamaran pun tiba. Alif berpesan pada bapaknya.

“Pak, nanti kalo nentukan tanggal pernikahan …..”

“Kamu itu, lho. Wong lamaran aja belum tentu diterima, kok sudah ngomongin tanggal pernikahan.”

“Pasti diterima, Pak.”

“Gayamu! Kalo ditolak, gimana?”

“Kalo ditolak, kami kawin lari!”

Hahh, … edan kowe!”

“Makanya harus diterima, Pak.”

“Anak jaman sekarang, kalo gak keturutan maunya kok mesti pake ngancam. Heran!”

Alif hanya senyum-senyum aja.

“Tadi kamu mau ngomong apa? Soal tanggal pernikahan.”

“Gini, Pak. Ntar kalo pas nentukan tanggal pernikahan jangan sampe pas Ningsih datang bulan ya, Pak.”

“Emang kenapa?”

“Yah … Bapak ini. Mosok mau malam pertama istri saya pas datang bulan. Ngenes saya, Pak!”

“He…he…he…. pinter kamu, Le. Tapi, yang tahu kapan waktunya Ningsih datang bulan, ya cuman dia sendiri, to?”

“Iya, … makanya nanti Bapak bilang sama tante Tyas supaya dia nanya ke Ningsih, kapan dia datang bulannya.”

“Iya, iya, iya … nanti Bapak bilangin ke tante Tyas.”

Akhirnya acara lamaran pun berjalan lancar. Tanggal pernikahan juga sudah ditetapkan. Teguh pun akhirnya berbesanan dengan temannya semasa SMP-SMA, Tyas. Acara pernikahan berlangsung meriah. Kedua keluarga tampak bahagia. Apalagi sang pengantin tampak begitu sumringah.

Tiga bulan kemudian, Alif mengabarkan kepada orang tua dan mertuanya bahwa Ningsih sedang hamil dua bulan. Kebahagiaan pun menyelimuti kedua keluarga tersebut. Seolah saling berebut, kedua pasang calon kakek-nenek itu pun tampak memperlakukan Ningsih dengan istimewa. Segala nasihat dan kebutuhan ibu hamil, silih ganti berdatangan.

Namun kebahagiaan kedua keluarga itu tidak berlangsung lama. Di bulan ke lima usia kehamilan Ningsih, datang berita duka. Teguh dan Erna terlibat kecelakaan. Teguh berhasil selamat sedangkan Erna tidak tertolong jiwanya. Erna meninggal dunia di rumah sakit akibat luka parah yang dideritanya. Keluarga itu pun berduka.

Meski berhasil selamat dari kecelakaan, kondisi fisik Teguh sudah tidak sempurna lagi. Teguh harus menjalani sisa hidupnya dengan bantuan tongkat untuk membantunya berdiri dan berjalan.

Belum hilang rasa duka cita yang dideritanya, Alif dan Ningsih kembali harus berduka. Di bulan ke delapan usia kehamilannya, Ningsih harus kehilangan Bapaknya. Edie meninggal dunia karena serangan jantung. Tyas yang sehari-hari terlihat selalu ceria dan murah senyum seperti kehilangan tenaga untuk sekedar mengangkat sudut bibirnya. Lesung pipitnya hilang seketika. Kembali keluarga itu pun berduka.

Untuk mengurangi beban pikiran ibunya, Ningsih pun - dengan seijin Alif - mengajak ibunya untuk tinggal bersama mereka. Sekalian untuk mendampinginya dalam menghadapi persalinan nanti. Suasana kembali berubah ketika Ningsih melahirkan anak pertamanya. Alif dan Ningsih memberi nama putrinya, Asih. Kehadiran Asih membuat suasana jadi ceria kembali. Kehadiran cucu pertama selalu membuat kakek dan nenek bahagia, tak terkecuali Teguh dan Tyas yang kini berstatus duda dan janda.

Asih pun menjadi idola baru keluarga. Jadi pusat perhatian baru. Kehadiran Asih mampu menghapus rasa duka yang sebelumnya menyelimuti keluarga Alif dan Ningsih. Terutama bagi Teguh dan Tyas yang telah ditinggal pergi pasangan masing-masing, kini seolah mendapat ‘mainan baru’, seorang cucu. Kondisi fisik yang sudah tidak bugar lagi tak menghalangi Teguh untuk bertemu dengan cucunya. Dengan diantar Nuning, adiknya Alif, hampir tiap dua hari sekali Teguh berkunjung ke rumah Alif-Ningsih untuk sekedar menimang cucunya.

Seringnya Teguh dan Tyas bertemu di rumah anak dan menantu mereka, membuat mereka seperti reuni kembali. Selain membahas tentang cucu kesayangan mereka, tak jarang mereka membicarakan kejadian-kejadian masa SMP-SMA yang masih mereka ingat. Keduanya tampak sering tertawa jika mengingat kembali masa-masa SMP-SMA dulu, masa nostalgia bagi mereka.

Hari-hari selanjutnya kembali berjalan normal. Teguh tinggal bersama Nuning, anak keduanya sedangkan Tyas masih tinggal di rumah Alif-Ningsih. Kesibukan momong cucu telah membangkitkan kembali gairah kehidupan Tyas yang sempat jatuh semenjak ditinggal pergi Edie, suaminya.

Kurang lebih satu tahun lamanya kehidupan keluarga Alif-Ningsih berjalan seperti biasa. Hingga suatu hari Alif dipanggil bapaknya untuk datang ke rumah.

“Ada apa, Pak?”

“Duduklah. Ada yang ingin Bapak sampaikan kepada kalian berdua.”

“Wahh … kayaknya serius banget.”

“Bapak ingin minta pendapat atau lebih tepatnya persetujuan kalian berdua.”

“Masalah apa, Pak?”

Teguh pun menghela nafas sebentar, kemudian,

“Gimanaa … menurut kalian, kalo Bapak … nikah lagi?”

Alif dan Nuning, adiknya, langsung tampak bengong bin bingung. Bermacam pikiran bermunculan di kepala mereka. Nuning pun buka suara.

“Maksud Bapak, apa?”

“Yaa … Bapak mau nikah lagi. Kok apa!”

“Emang Bapak mau nikah lagi sama sapa?”

“Ini bukan masalah mau nikah sama sapa, mas Alif. Tapi, kenapa Bapak mau nikah lagi! Bapak mau melupakan ibu, ya?! Atau Bapak udah gak tahan menduda, iya?!”

Nuning pun terus memberondong Bapaknya.

“Bapak ‘kan pernah bilang kalo Ibu itu cinta terakhir Bapak. Kok sekarang mau nikah lagi?! Bapak mau mengkhianati Ibu, ya?!”

“Sabar dikit, Ning!”

“Pokoknya Nuning gak setuju!”

“Wadhuhhh …. Kalo udah keluar kata ‘pokoknya’, repot ini.”

“Dengar dulu penjelasan Bapak, kenapa sih!”

Mendengar bentakan kakaknya, Nuning pun diam. Wajahnya terlihat masam.

Nduk, Bapak memahami kemarahanmu. Tapi, tolong kamu pahami juga maksud Bapak.”

Setelah menghela nafas sebentar, Teguh pun melanjutkan,

Nduk, cepat atau lambat kamu juga akan menikah. Punya keluarga sendiri. Dan sebagai istri tentu waktumu lebih banyak untuk suami dan anak-anakmu. Dan jika saat itu tiba, Bapak akan sendirian, untuk itulah Bapak butuh pendamping.”

“Bapak ‘kan bisa ikut Nuning atau mas Alif.”

“Nggak bisa, Nduk. Lagi pula Bapak juga nggak mau.”

“Kenapa Bapak gak mau tinggal sama kami?”

“Begini. Alif, sekarang kamu dah punya anak. Tugas dan tanggung jawabmu sebagai suami dan bapak semakin berat. Kamu harus bisa menafkahi, mengurus, mendidik, membimbing anak istrimu. Fokuskan pada tugas dan tanggung jawabmu. Dan untuk kamu, Ning. Jika kamu sudah menikah nanti, waktumu akan tersita oleh kesibukanmu sebagai istri dan ibu. Kamu lihat sendiri Ibumu. Dari bangun pagi sampai mau tidur lagi, waktunya habis untuk ngurus kalian dan Bapakmu. Apalagi sebagai istri kamu harus nurut apa kata suamimu, gak bisa seenakmu sendiri.”

Teguh pun diam sebentar. Alif dan Nuning juga diam membisu.

“Kalian juga harus paham, jika udah berkeluarga, sekecil apa pun masalah yang kalian hadapi di keluarga kalian jangan sampai orang tua dan mertuamu tahu, apalagi dilibatkan. Selesaikan sendiri masalah keluarga kalian. Kalian memutuskan menikah berarti udah dewasa. Karena itulah Bapak gak mau tinggal di rumah kalian, Bapak gak mau dengar masalah keluarga kalian.”

Setelah meneguk teh daun sirsak yang ada di depannya, Teguh pun melanjutkan petuahnya.

“Karena Bapak gak mau tinggal di rumah kalian itulah makanya Bapak butuh pendamping. Pendamping yang bisa diajak ngobrol, guyon, jalan-jalan bareng. Pendamping yang mau ngurus Bapak, yang mau buatkan teh buat Bapak, yang mau ngingatkan Bapak. Dan perlu kalian ingat, Bapakmu ini dah tua, cacat lagi. Jadi niat Bapak ini gak ada hubungannya dengan urusan biologis karena calon pendamping Bapak juga gak sempurna.”

Alif dan Nuning tampak termenung mendengar penjelasan Bapaknya, terutama Nuning yang sudah mereda emosinya. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya mereka pun menyetujui niat Bapaknya untuk menikah lagi.

“Pak, Alif dan Nuning dah sepakat untuk mengijinkan Bapak nikah lagi. Untuk membulatkan keputusan kami ini, siapa yang akan jadi ibu tiri kami nanti?”

Teguh tidak langsung menjawab pertanyaan Alif. Dia menyandarkan badanya di kursi, diam.

“Seperti yang pernah Bapak bilang, Ibumu tetaplah cinta terakhir Bapak, karena calon pendamping Bapak ini adalah cinta pertama Bapak.”

Alif dan Nuning saling berpandangan, bingung dengan maksud Bapaknya.

“Cinta pertama Bapak? Maksud Bapak apa?”

“Ya, … karena yang jadi calon ibumu nanti pacar pertama Bapak.”

“Siapa, Pak?”

“Kalian jangan kaget, ya.”

Alif dan Nuning diam. Menunggu. Setelah menghela nafas sebentar, Teguh pun melanjutkan,

“Tante Tyas.”

“Hahhhh …. Ibu?”

“Sudah dibilangin jangan kaget, masih kaget juga.”

“Ibu, Pak?!”

“Ya, yang jadi pendamping Bapak nanti ibu mertuamu, Le.”

“Yang bener aja, Pak?!”

“Kalo kamu masih nggak percaya, coba kamu telpon Ningsih sekarang!”

Sementara Alif mencoba telpon istrinya, Nuning tampak tersenyum sambil geleng-geleng kepala, seolah gak percaya kalau tante Tyas itu ternyata cinta pertama Bapaknya.

Rupanya Teguh dan Tyas udah mengatur skenario soal rencana pernikahan mereka. Pada waktu yang bersamaan Tyas juga meminta persetujuan kepada Ningsih terkait rencana pernikahannya dengan Teguh, bapak mertuanya.

Perasaan Ningsih masih campur aduk ketika Alif menelponnya.

“Iya, Mas. Barusan ibu juga ngomongin itu. Aku juga kaget, Mas.”

“Kalo aku, sih, setuju aja. Malah seneng.

“Iya, aku juga nggak ngira kalo Ibu itu cinta pertamanya Bapak.”

“Ya udah, Mas. Mau gimana lagi. Mungkin itu juga udah takdir mereka, ketemu lagi di masa tuanya. Semoga Bapak dan Ibu bahagia sampe akhir hayat mereka nanti.”

Di rumah Teguh. Setelah bisa mengendalikan emosinya, Nuning bertanya,

“Bapak tadi bilang tante Tyas juga udah gak sempurna lagi. Emangnya tante Tyas juga cacat?”

“Bisa dibilang begitu, tante Tyas itu seorang breast cancer survivor.”

“Hahh … kok gak kelihatan kalo sakit?”

“Itulah salah satu kelebihan dia. Orang banyak yang gak tahu kalo dibalik keceriaan penampilannya, dia pernah mengidap penyakit yang mematikan. Tapi, justru itu yang membuatnya bertahan hidup.”

“Luar biasa! OK, deh Pak. Nuning sangat setuju kalo gitu.”

Akhir kata, sebuah resepsi yang sangat sederhana digelar untuk merayakan cinta lama yang bersemi kembali. Tidak ada malam pertama dan bulan madu bagi Teguh dan Tyas. Malam itu mereka habiskan dengan bercengkerama bersama anak, mantan menantu dan cucu.

“Pak, boleh nanya, nggak?”

“Tanya apa, Le?”

“Dulu, waktu Bapak naksir Ibu itu kelas berapa?”

“Kelas 3 SMP.”

“Wah, … masih kecil udah cinta-cintaan!”

“Kamu sendiri, kelas berapa waktu mulai jatuh cinta?”

Alif nggak menjawab pertanyaan Bapaknya. Hanya senyum-senyum aja.

“Terus, apa yang membuat Bapak naksir Ibu?”

“Senyum dan lesung pipitnya. Tuh, lihat. Masih manis, ‘kan!”

Tyas hanya senyum-senyum aja mendengar omongan Teguh.

“Kalo Ibu, apa yang membuat Ibu naksir Bapak?”

“Gak ada.”

“Hahahahaha ……. Hahahaha ……..!”

Seluruh keluarga itu pun tertawa mendengar jawaban Tyas.

“Kami punya hobi yang sama. Suka dengerin musik. Saling tukar-pinjam kaset dan sama-sama bergabung dalam kelompok paduan suara sekolah.”

“Kalo gitu sekarang Bapak dan Ibu nyanyi, dong!”

Awalnya Teguh dan Tyas menolak permintaan anak-anak mereka, karena merasa suara mereka sudah tidak seperti dulu lagi. Tapi, karena anak-anak mereka terus mendesak, akhirnya Teguh dan Tyas pun menuruti permintaan mereka. Dan mengalunlah sebuah lagu wajib bagi pasangan yang sedang dilanda asmara, “Kemesraan”.

Sambil menikmati suara orang tuanya, Alif memandangi Ningsih, istrinya. Ningsih pun tersenyum. Senyum itu pulalah yang membuat Alif tak bisa melupakan Ningsih. Orang tua dan anak sama saja. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Tulisan terkait :

- Kala Cinta Menggoda di Waktu Senja v.1

- Selingkuh Mimpi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun