Mohon tunggu...
Tedd Shadynnov
Tedd Shadynnov Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menyukai Menulis Sejak Masih SMP Dan Lebih Banyak Tulisan Non Fiksi. Tapi Sekarang Mulai Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Istana Pasir

23 Agustus 2024   15:34 Diperbarui: 23 Agustus 2024   15:35 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara debur ombak memecah keheningan pagi. Matahari baru saja mengintip dari ufuk timur, menyinari sepasang jejak kaki di pasir pantai. Rani berjalan perlahan, membiarkan air laut membelai kakinya. Dia berhenti sejenak, memandang cincin pernikahan yang masih melingkar di jarinya.

Setahun yang lalu, di pantai ini juga, Rani dan Reza mengucapkan janji suci mereka. Saat itu, mereka berdua penuh harapan dan cinta. Siapa sangka, setahun kemudian, mereka akan berada di titik ini - di ambang perceraian.

Rani menghela napas panjang. Air matanya jatuh, bercampur dengan air laut yang asin.

"Ran?" sebuah suara mengejutkannya.

Rani berbalik. Reza berdiri tak jauh darinya, masih mengenakan setelan kerja. Wajahnya terlihat lelah.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Rani dingin.

Reza melangkah mendekat. "Aku... aku nyariin kamu. Kamu nggak pulang semalam."

Rani tersenyum getir. "Baru sadar ya kalau aku nggak ada?"

Reza terdiam. Rasa bersalah terpancar di wajahnya.

"Ran, aku minta maaf," ujarnya lirih. "Aku tahu aku salah. Aku terlalu sibuk dengan kerjaan..."

"Terlalu sibuk?" potong Rani. Emosinya mulai meluap. "Reza, kamu bahkan nggak ingat ulang tahun pernikahan kita minggu lalu!"

Reza tersentak. Dia benar-benar lupa.

"Ran, aku... aku minta maaf. Aku bakal perbaiki semuanya. Aku janji."

Rani menggeleng. Air matanya mengalir deras. "Udah terlambat, Za. Kamu udah janji berkali-kali. Tapi tetap aja..."

Pikiran Rani melayang ke bulan-bulan terakhir. Reza yang selalu pulang larut malam. Makan malam yang dia siapkan dengan penuh cinta, berakhir dingin di meja. Ranjang yang terasa begitu luas dan dingin karena Reza lebih sering tidur di kantor.

"Kamu inget nggak, Za? Dulu kita sering banget ke pantai ini," Rani berkata pelan. "Kita bikin istana pasir, terus kamu bilang suatu hari nanti kamu bakal bikin istana beneran buat aku."

Reza mengangguk. Matanya mulai berkaca-kaca. "Aku inget, Ran."

"Dan sekarang?" Rani tertawa pahit. "Kamu udah punya istana beneran. Apartemen mewah, mobil sport... tapi aku? Aku cuma sendirian di istana itu."

Reza mencoba meraih tangan Rani, tapi Rani menepisnya.

"Ran, please... kita bisa perbaiki ini," Reza memohon. "Aku sayang sama kamu."

Rani menatap Reza. Ada kerinduan di matanya, tapi juga ada luka yang begitu dalam.

"Sayang?" Rani berbisik. "Za, kapan terakhir kali kamu bilang itu ke aku? Kapan terakhir kali kita ngobrol? Bener-bener ngobrol, bukan cuma tentang jadwal meeting atau urusan bisnis?"

Reza terdiam. Dia tidak ingat.

"Kita udah jadi orang asing, Za," lanjut Rani. "Kamu sibuk sama dunia kamu, aku kesepian di duniaku. Kita... kita udah nggak cocok lagi."

"Nggak, Ran!" Reza berseru. "Aku masih cinta sama kamu. Aku... aku bakal berubah. Aku janji."

Rani menggeleng sedih. "Kamu udah terlalu sering janji, Za. Aku... aku udah nggak bisa percaya lagi."

Rani melepas cincin pernikahannya. Dengan tangan gemetar, dia menyerahkannya pada Reza.

"Maafin aku, Za. Tapi aku rasa... kita udah nggak bisa balik lagi."

Reza menerima cincin itu dengan tangan gemetar. Air matanya akhirnya jatuh.

"Ran... please..."

Tapi Rani sudah berbalik. Dia mulai berjalan menjauh, meninggalkan jejak kaki di pasir yang perlahan terhapus oleh ombak.

Reza jatuh berlutut. Tangannya menggenggam erat cincin Rani. Dia terisak, menyesali semua waktu yang telah dia sia-siakan.

Matahari semakin tinggi. Rani terus berjalan, air matanya mengalir tanpa henti. Reza masih berlutut jauh dibelakang Rani. Dia cuma bisa meratap jika istana pasir cinta yang mereka buat sekarang tersapu ombak kehidupan.

Dua hati yang dulu dipenuhi cinta, kini terpisah oleh jurang kedewasaan dalam berkomunikasi antara pasangan suami istri. Dihadapan pantai berlaut biru, yang dulu pernah jadi saksi cinta mereka, sekarang berganti peran sebagai saksi perpisahan yang menyakitkan.

Rani berhenti sejenak, menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya. Reza masih di sana, sosoknya kecil di kejauhan. Untuk sesaat, Rani ragu. Haruskah dia kembali? Tapi kemudian dia menggeleng pelan. Kadang, cinta saja tidak cukup.

Dengan langkah berat, Rani melanjutkan jalannya. Meninggalkan masa lalu, menuju masa depan yang tidak pasti. Di belakangnya, ombak kecil beriak buih putih landai terus bergulung lembut, menghapus jejak-jejak cinta yang pernah ada. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun