Bukannya ingin menjelekkan, tetapi nyatanya rekam jejak Kementerian Agama memang seburuk itu selama ini padahal menangani hal-hal keagamaan yang dipandang suci.
Dalam label halal yang baru alangkah baiknya dicantumkan dengan jelas tulisan Halal dan institusi yang menjamin kehalalan produk tersebut yaitu, MUI dan BPJPH.
Dengan harapan, nama dan reputasi yang selama ini telah dibangun MUI dapat membantu membangun kepercayaan yang lebih baik terhadap logo halal yang baru.
Apalagi setelah berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tersebut, proses pengajuan sertifikasi justru jauh lebih panjang, khas Pemerintah banget.
Sehingga berpotensi dipandang buruk karena rawan dijadikan lahan segar untuk korupsi jika melihat rekam jejak Pemerintah selama ini walaupun nanti prosesnya bekerja sama dengan MUI.
Sertifikasi Halal Sebagai Pemasukan yang Menjanjikan
Karena produk berlabel halal mulai dianggap penting untuk memasuki pasar muslim, khususnya produk-produk yang diproduksi dari negara-negara non-muslim.
Proses sertifikasi produk halal pun mulai dilirik sebagai bisnis menggiurkan yang mampu memberikan pendapatan pasif secara reguler, ini harus diakui.
Pemerintah tahu itu dan mereka memanfaatkannya dengan baik dimulai mengambil alih proses sertifikasi yang selama ini dilakukan oleh MUI. Singkatnya, ini soal bisnis.
Ketentuannya pun diubah, jika sebelumnya di bawah MUI sertifikasi halal bersifat 'sukarela' kini berdasarkan Undang-Undang di bawah Kemenag sertifikasi Halal bersifat 'keharusan'.
Sebenarnya tidak masalah uang sertifikasi itu lari ke mana, entah MUI atau Kemenag yang penting dapat memberikan jaminan pada konsumen.
Okelah, tidak masalah jika perbaikan label halal yang baru tidak menyantumkan nama MUI karena satu dan lain hal. Kan SEBAIKNYA, tetapi yaudahlah yang penting tulisannya jelas saja sudah cukup.