Mumpung sekarang sedang dalam nuansa bulan suci Ramadhan bagi umat muslim di Indonesia, mari mengingat kembali persoalan label Halal baru dari Pemerintah.
Persoalan yang pernah ramai disorot oleh masyarakat dan banyak media massa belum lama ini. Walaupun banyak dikritik, sampai sekarang sepertinya Pemerintah tidak peduli.
Lagipula itu sudah ditetapkan dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal. Jika Kementerian Agama tidak peduli, kita tidak bisa apa-apa.
Menandakan peralihan institusi yang berwenang menerbitkan sertifikat halal mengikuti yang telah tercantum dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Tulisan ini hanya opini dari penulis mengenai apa yang salah dari label itu sambil berharap semoga suatu hari ada inisiatif dari Kemenag untuk mengevaluasi kembali.
Mengingat label halal merupakan kebutuhan penting bagi umat muslim. Seharusnya Kemenag paham kalau mereka tidak seharusnya main-main.
Nilai Ekonomis Produk Berlabel Halal
Ketika (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika)/LPPOM MUI baru hadir pada 6 Januari 1989, label halal hanya dipandang untuk melindungi konsumen muslim.
Namun beberapa tahun terakhir, label halal rupanya tidak hanya dipandang sebagai tempelan di kemasan untuk umat muslim tetapi juga jaminan nilai ekonomis yang besar.
Menurut World Population View, ada lebih dari dua miliar muslim di seluruh dunia dengan Indonesia sebagai negara berpopulasi muslim terbesar di dunia saat ini.
Jumlah yang sangat mustahil untuk diabaikan. Mendapatkan sertifikasi halal bisa menjadi modal awal yang bagus untuk menembus pasar muslim.
Selain umat muslim, sebenarnya produk Halal juga diterima oleh mereka yang non-muslim. Produk Halal itu bagus dan tidak ada yang mempermasalahkannya.
Jadi alangkah baiknya Pemerintah bisa memaksimalkan fungsionalitas karena dirasa lebih penting dibandingkan estetika dalam label Halal yang baru.
Terlalu jauh bentuknya dari logo label yang lama dapat menimbulkan kebingungan bagi yang tidak paham. Kelihatan sekali Kemenag ingin membuat kontroversi.
Menggoyahkan Reputasi Halal Indonesia
Label Halal bukan hanya soal tempelan tetapi ada reputasi dan jaminan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, mengubah label sama artinya mengubah reputasinya.
Pemerintah khususnya Kemenag sendiri tidak punya reputasi dan kompetensi yang dapat dipercaya oleh masyarakat untuk menentukan Halal tidaknya produk.
Karena MUI lah yang selama ini memberikan sertifikasi halal bukan negara. Menghilangkan nama MUI di label Halal sama artinya menghilangkan reputasi MUI di sana.
Padahal jika membaca Undang-Undangnya dan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 tertulis dengan jelas masih ada peran MUI dalam proses sertifikasi halal.
Apalagi semua diperparah dengan tampilan logo yang bahkan tidak bisa dikenal sama sekali karena pemilihan bentuknya yang jauh dari huruf arab standar.
Lucunya, logo label baru itu bahkan diprotes oleh MUI sendiri yang notabene mitra Pemerintah dalam proses sertifikasi produk halal yang baru ditetapkan itu.
Jangan sampai produk yang menggunakan label itu justru dipertanyakan kehalalannya ketika sampai di pasaran hanya karena tidak ada nama MUI tertulis di sana dan tulisannya tidak jelas.
Meragukan Profesionalisme Kementerian Agama
Kementerian Agama adalah salah satu institusi di negara ini yang sering tersangkut kasus korupsi. Saking seringnya, bahkan sampai disentil oleh KPK. Berikut diantaranya,
- Kasus Penyalahgunaan Biaya Haji dan Dana Abadi Umat (2003-2005)
- Kasus Korupsi Pengadaan Alquran dan Laboratorium Madrasah (2011-2012)
- Kasus Penyalahgunaan Dana Haji dan Biaya Operasional Menteri (2010-2013)
- Kasus Jual Beli Jabatan (2019)
- Kasus korupsi pengadaan peralatan laboratorium komputer Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag tahun 2011.
Bukannya ingin menjelekkan, tetapi nyatanya rekam jejak Kementerian Agama memang seburuk itu selama ini padahal menangani hal-hal keagamaan yang dipandang suci.
Dalam label halal yang baru alangkah baiknya dicantumkan dengan jelas tulisan Halal dan institusi yang menjamin kehalalan produk tersebut yaitu, MUI dan BPJPH.
Dengan harapan, nama dan reputasi yang selama ini telah dibangun MUI dapat membantu membangun kepercayaan yang lebih baik terhadap logo halal yang baru.
Apalagi setelah berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tersebut, proses pengajuan sertifikasi justru jauh lebih panjang, khas Pemerintah banget.
Sehingga berpotensi dipandang buruk karena rawan dijadikan lahan segar untuk korupsi jika melihat rekam jejak Pemerintah selama ini walaupun nanti prosesnya bekerja sama dengan MUI.
Sertifikasi Halal Sebagai Pemasukan yang Menjanjikan
Karena produk berlabel halal mulai dianggap penting untuk memasuki pasar muslim, khususnya produk-produk yang diproduksi dari negara-negara non-muslim.
Proses sertifikasi produk halal pun mulai dilirik sebagai bisnis menggiurkan yang mampu memberikan pendapatan pasif secara reguler, ini harus diakui.
Pemerintah tahu itu dan mereka memanfaatkannya dengan baik dimulai mengambil alih proses sertifikasi yang selama ini dilakukan oleh MUI. Singkatnya, ini soal bisnis.
Ketentuannya pun diubah, jika sebelumnya di bawah MUI sertifikasi halal bersifat 'sukarela' kini berdasarkan Undang-Undang di bawah Kemenag sertifikasi Halal bersifat 'keharusan'.
Sebenarnya tidak masalah uang sertifikasi itu lari ke mana, entah MUI atau Kemenag yang penting dapat memberikan jaminan pada konsumen.
Okelah, tidak masalah jika perbaikan label halal yang baru tidak menyantumkan nama MUI karena satu dan lain hal. Kan SEBAIKNYA, tetapi yaudahlah yang penting tulisannya jelas saja sudah cukup.
Halal itu bukan soal cinta budaya tetapi soal jaminan yang diberikan kepada konsumen muslim.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI