Setelah beberapa tahun aku merantau ke kota, aku sudah meraih kesuksesan hidup. Semuanya karena bantuan prewangan yang aku pelihara, gendruwo.
Berkat bantuannya semua simbol kesuksesan sebagai seorang laki-laki, harta-tahta-wanita, sudah dalam genggamanku. Sekarang orang-orang tidak lagi bisa menghinaku.
Hartaku tersebar di mana-mana. Aku memiliki rumah besar dengan pekarangan yang luas yang ditinggali oleh istriku dan sebuah villa mewah. Sehari-harinya aku lebih sering tinggal di apartemen premium yang berada di tengah-tengah kota.
Kedudukanku saat ini adalah direktur utama benerapa perusahaan nasional. Bahkan aku juga menjabat sebagai komisaris utama sebuah perusahaan multinasional.
Kebahagian hidupku serasa lengkap karena aku tinggal bersama istri mudaku di apartemen yang super mewah. Penampilannya yang seksi dapat membuat hidupku selalu bergairah. Dia sebenernya seorang selebritas yang hanya muncul beberapa episode sinetron selebihnya ya menemani aku.
Dulu aku memang miskin dan jelek. Begitu datang ke kota semua orang memandangku sebelah mata. Aku selalu mendapatkan hinaan dan cacian. Bagi mereka aku adalah sesuatu yang menjijikkan.
Sekarang orang-orang, terutama yang dulu menganggapku tak berguna, memuja-mujaku. Bahkan saat ini mereka selalu menjilat dan mencari muka kepadaku.
Aku tahu trik mereka. Aku tidak akan terlena oleh pujian mereka. Aku takkan tertipu dengan wajah memelas mereka. Bahkan aku dengan suka cita memanfaatkan kedunguan mereka.
                  **
Waktu merantau dari kampung ke kota aku hanya bermodalkan nekad. Terus terang aku memang tidak mempunyai bekal apa-apa. Ijazah SD pun aku tidak punya. Ketrampilan apalagi. Aku terlahir sebagai anak yatim yang miskin.
Bapakku meninggal ketika aku masih dalam kandungan. Menurut cerita ibu, bapak meninggal karena sakit paru-paru dan tidak mampu berobat ke dokter.
Aku dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja sebagai buruh tani. Setelah membantu kerja pada juragan, ibu mendapatkan upah sedikit hasil panenan. Upah yang tidak seberapa itu yang menghidupi kami.
Setelah dewasa dan merasa cukup kuat untuk bekerja aku meminta ijin kepada ibu untuk merantau ke kota. Awalnya ibu tidak mengijinkan tetapi aku bisa meyakinkan ibu sehingga akhirnya ibu mengijinkan aku pergi ke kota.
"Aku ingin mengubah nasib keluarga kita bu".
"Terus kamu mau tinggal sama siapa le?", tanya ibu mengawatirkan keselamatanku.
"Aku laki-laki bu. Bisa tinggal di mana saja", jawabku mantab.
Dengan menumpang truk yang membawa hasil panenan dari kampung aku meninggalkan kampung halaman. Aku bertekad untuk meraih impian dapat membahagiakan ibu yang sudah demgan susah payah membesarkan aku.
Sesampainya di kota aku harus menerima kenyataan pahit. Kota besar ternyata tidak ramah terhadap orang miskin dan tidak bermodalkan apapun seperti diriku.Â
Beberapa malam aku terpaksa tidur di emperan toko. Malam berikutnya aku tidur di los pasar tradisional. Sampai akhirnya tidur di rumah kardus.
Pekerjaan apa saja aku lakukan demi mendapatkan sebungkus nasi warteg. Malam hari bongkar muat barang-barang di pasar. Pagi-pagi jadi kuli angkut. Pada siang harus menjadi pemulung kardus-kardus bekas.
Sampai beberapa waktu kemudian aku tersadar dengan cita-citaku datang ke kota.
"Kalo begini terus kapan bisa nyenengin ibu", kataku dalam hati.
                  **
"Mas takuut", kata istri mudaku.
"Taku kenapa. Ada apaan ?", tanyaku.
Sudah beberapa hari ini sepertinya ada bayangan yang selalu berkelebat di dalam apartemen. Kadang-kadang muncul bayangan sesosok laki-laki yang wajahnya mirip aku, begitu istriku menjelaskan.
"Ah itu karena kamu pengin aku di rumah berduaan aja kali", candaku.
"Bener mas. Aku nggak bohong", katanya meyakinkan aku.
Aku mengabaikan laporannya tentang sesosok bayangan hitam yang sering muncul di apartemen kami. Paling itu akal-akalan dia supaya aku selalu menemaninya setiap saat, pikirku.
"Lho kok balik lagi mas. Ada yang ketinggalan ?", tanyanya ketika aku sengaja pulang siang untuk mengajaknya makan siang.
Mas kan baru saja berangkat. Dari pagi kan kita berduaan di tempat tidur bahkan sampai melakukan hubungan surgawi.
"Ini aku baru habis keramas", katanya yang membuatku terbengong-bengong di depan pintu.
Jangan-jangan ini alasan istriku saja. Apakah dia mempunyai teman selingkuh ? Aku mulai menduga-duga istriku mulai bermain api.
Sehabis makan siang yang tidak terasa nikmat karena hilang selera makanku, aku sengaja tidak balik ke kantor. Aku tiduran di kamar sambil mengamati gerak-gerik istriku.
Menjelang maghrib aku merasakan kantuk yang berat. Akhirnya akupun terlelap dalam tidur pulas.
Tetiba muncul bayangan hitam makin lama makin mendekat. Bayangannya semakin jelas semakin menjadi sesosok manusia yang hitam legam. Aku merasa wajahnya mirip denga wajahku.
"Kamu melupakan janjimu", katanya.
"Janji apaan ?", tanyaku.
"Dasar manusia kalau sudah hidup enak lupa pada janjinya !".
Badannya membesar memenuhi ruangan kamar tidurku. Wajahnya menunjukkan kemarahan. Matanya merah menyala. Gigi-gigi putihnya memanjang menjadi taring yang tajam. Jari-jari panjangnya terbuka seakan siap mencengkeram leherku.
"Kamu tidak ingat janjimu ketika akan menjadikan aku sebagai prewanganmu ?", tanyanya geram.
"Bukankah kau akan mempersembahkan istrimu untukku ?".
"Jadi jangan salahkan kalau aku menagih janjimu !", tegasnya.
Aku terbangun. Aku tersadar dan mencoba bangkit dari ranjang. Aku ingin membasuh muka, biar segar pikirku.
Di depan pintu kulihat dia sedang berusaha mencumbu istriku. Menyadari aku melihatnya dia semakin beringas.
Aku pingsan!
Jkt, 031010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H