Tapi entah malaikat dari mana yang membawaku datang ke rumah ini. Hanya karena menjalankan titipan amanat dari almarhum Kamituwo-lah yang menguatkanku untuk datang. Beliau telah menitipkan amplop terakhir kepadaku. Ini menjadi wasiat yang harus aku sampaikan kepada Mbah Modin. Â Seorang tokoh agama di desa ini.Â
Harum bunga kenanga menyeruak membelah langit-langit musholla. Jenazah sudah siap untuk diberangkatkan. Empat puluh lebih pelayat ikut menshalatkan. Saking banyaknya pelayat, shalat jenazah harus dilaksanakan beberapa gelombang. Usai dishalatkan, aku memberanikan diri untuk menyampaikan amplop putih itu kepada Mbah Modin.
Aku sendiri tidak tau apa isi amplop putih itu. Aku hanya bisa menduga amplop putih itu berisi uang sebagaimana amplop-amplop yang biasa aku terima sebelumnya. Amplop berisi uang untuk membangun musholla di kampung hitam. Tapi amplop yang terakhir, entahlah, aku tidak tau. Kamituwo hanya berpesan untuk disampaikan kepada Mbah Modin. Amplop terakhir yang diberikan kepadaku saat berkunjung ke rumah sakit beberapa hari sebelum Kamituwo meninggal.
"Bapak, Ibu, sebelum jenazah ini kita berangkatkan, ada titipan yang harus saya sampaikan kepada bapak ibu semuanya". Suara Mbah Modin memecah keheningan.
Dengan pelan Mbah Modin mengeluarkan secarik kertas dari amplop putih. Membacanya dengan hati-hati. Surat yang cukup singkat dengan salam pembuka penuh ta'dzim. Jarum jam seakan berhenti dalam keheningan. Gurat kesedihan menyelimuti mereka. Tidak sedikit dari mereka menitikkan air mata.
"Saudaraku,Â
Aku tidak pernah tahu, amal mana yang akan menjadikan aku selamat kelak di akhirat. Jabatanku hanya sampai disini.Â
Dan aku hanya bisa berpesan, jaga dan hidupkan mushola wakaf yang diberikan Ibu Desi. Insya Allah, tanah dan musholla itu dari uang yang halal"
Salam hormat.Â
Kasturi.
Â