"Apalagi Pak, Bapak nggak usah ngurusi itu lagi, bapak istirahat saja!" tukas istriku.
Istriku sebenarnya enggan mengiyakan permintaanku, tetapi ia cukup memahami keinginanku. Ia menerima amplop putih itu, sebagaimana amplop-amplop yang pernah aku titipkan padanya jika aku tidak bisa mengantarnya.
"Bapak harus segera sembuh dan bisa menjelaskan semua ini ke warga. Semua orang membicarakan Bapak. Mereka bilang, sakitnya Bapak karena sering berkunjung ke komplek itu!"
"Sabar Bu, mereka seperti itu karena mereka nggak tau" jawabku pelan.
Istriku hanya bisa diam sambil sesekali memijit kakiku. Aku sudah menceritakan semua padanya. Termasuk membantu mewujudkan niat baik Bu Desi yang ingin mentas dari kubangan hitam. Ia ingin menjadi orang baik-baik.
Selama di rumah sakit, akupun mendengar kabar bahwa jabatanku sebagai pamong desa akan dilengserkan. Semua warga sudah bersepakat merencanakan mencoret namaku dari daftar pamong desa. Mereka menganggap aku sebagai pamong desa yang tidak bisa menjadi teladan. Sering keluar masuk komplek pelacuran. Sebagian warga desa bahkan sudah menyiarkan, kalau aku sudah terkena penyakit kelamin. Penyakit yang menjadi aib bahkan orang lain enggan menjenguk.
Jika mendengar hal itu, istriku hanya bisa menangis. Ia tidak mampu menahan kerasnya omongan orang di luar sana. Ia tidak mampu menatap setiap wajah yang ia temui. Terlalu berat baginya menahan badai sedangkan baginya hanyalah sebuah perahu kecil. Ia sangat percaya padaku. Aku sering menghiburnya dengan mengatakan padanya bahwa suatu hari nanti mereka akan tau jawabanya. Mereka hanya bisa menduga-duga, tidak pernah tau sebenarnya. Bahkan mereka tidak pernah bertanya langsung, apa yang aku lakukan di komplek sana. Mereka hanya melihat yang tampak, tidak pernah mau melihat apa yang tersembunyi.
***
Awan hitam menggantung di langit Desa Seger Arum. Bulir-bulir embun pagi menetes dari ujung daun kamboja. Di ujung speaker musholla, terdengar kabar duka. Telah berpulang ke rahmatullah dengan tenang Bapak Kasturi, pada hari ini Jum'at, jam 05.00 pagi. Suasana duka menyelimuti rumah Kamituwo Kasturi. Keluarga Kamituwo Kasturi dirundung duka.
Satu persatu pelayat mulai berdatangan. Tumpah ruah hingga ke jalan-jalan. Aku tidak membayangkan akan sebanyak ini pelayatnya, melebihi seorang kyai yang meninggal. Bahkan sebagian pelayat ini, aku tidak mengenalnya. Entah dari mana.
Sebenarnya aku tidak ingin datang ke rumah duka ini. Aku sudah terlanjur malu dengan sebutan Mami Desi. Mereka masih menganggapku sebagai germo. Seorang mami-mami yang menampung para perempuan malam. Seorang wanita yang dianggap memiliki hubungan gelap dengan Kamituwo Kasturi. Walaupun kini aku sudah meninggalkan pekerjaan itu.