Desa Seger Arum yang biasa menawarkan kesejukan dan ketentraman berubah menjadi panas. Orang-orang desa merasa gerah. Mereka kasak kusuk membicarakan prilaku orang yang menurutnya tidak pantas dilakukan. Seseorang yang seharusnya menjadi panutan rakyat. Orang yang seharusnya bisa menjaga keamanan dan ketentraman desa, tapi justeru merusak keharuman desa. Tidak pantas seorang pamong sering keluar masuk komplek pelacuran. Dan ini merupakan aib bagi Desa Seger Arum. Seseorang yang mereka sebut itu adalah aku. Seorang pamong desa yang biasa dipanggil Kamituwo.
Seperti pagi ini, kembali aku akan menemui Ibu Desi. Aku lebih suka memanggilnya Ibu Desi, meskipun orang biasa memanggilnya Mami Desi. Wanita penjaga warung kopi di kampung sebelah yang dijuluki kampung hitam ini.
"Gitu kok nggak mau dibilang main perempuan!" suara ketus seorang ibu yang berada di ujung perempatan jalan. Jalan yang biasa aku lewati untuk menuju kampung yang dikenal banyak menjajakan perempuan-perempuan nakal. Aku menghiraukannya. Aku memilih diam, meskipun bisa saja aku menampar mulut lamis-nya. Aku sudah biasa dengan senyum sinis mereka, aku tak peduli.
"Bapak nggak malu tho sering berkunjung kesini?," tanya Bu Desi sambil menuangkan kopi panas.
"Untuk apa malu, toh aku hanya minum kopi dan membahas rencana kita," tukasku sambil menuangkan kopi panas di atas lepek.
Memang, sudah yang ke sekian kali aku mengunjungi warung Ibu Desi. Dan kesekian kali pula orang-orang melihatku terlibat pembicaraan serius dengan Ibu Desi. Hingga akhirnya tersiar kabar aku memiliki demenan di komplek lokalisasi itu.
Terserah orang mau bilang apa. Aku hanya ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat. Selama menjadi pamong aku merasa belum melakukan apa-apa. Aku ingin mewariskan kebaikan, ber-amal jariyah sebagaimana para kiyai nasihatkan. Aku tidak tau hidup ini sampai kapan. Aku tidak mau mati sebelum berarti. Lebih-lebih saat ini aku mulai mudah lelah. Jika seharian saja aku bekerja maka dipastikan esoknya aku akan ngedrop.Â
***
Sudah hampir satu minggu aku terbaring di rumah sakit. Jarum infus menancap di tanganku. Terasa nyeri jika sedikit saja aku menggerakkan tangan. Dokter belum mengatakan penyakit apa yang aku derita. Aku hanya merasakan sedikit demam dan terasa berat untuk berdiri bahkan hanya sekedar mengangkat kepala. Aku seperti tidak memiliki kekuatan sama sekali. Lemas. Aku hanya bisa menggerakkan tanganku, sekedar untuk makan, minum atau menulis.
"Bu, tolong sampaikan amplop ini ke Ibu Desi ya!"
"Apalagi Pak, Bapak nggak usah ngurusi itu lagi, bapak istirahat saja!" tukas istriku.
Istriku sebenarnya enggan mengiyakan permintaanku, tetapi ia cukup memahami keinginanku. Ia menerima amplop putih itu, sebagaimana amplop-amplop yang pernah aku titipkan padanya jika aku tidak bisa mengantarnya.
"Bapak harus segera sembuh dan bisa menjelaskan semua ini ke warga. Semua orang membicarakan Bapak. Mereka bilang, sakitnya Bapak karena sering berkunjung ke komplek itu!"
"Sabar Bu, mereka seperti itu karena mereka nggak tau" jawabku pelan.
Istriku hanya bisa diam sambil sesekali memijit kakiku. Aku sudah menceritakan semua padanya. Termasuk membantu mewujudkan niat baik Bu Desi yang ingin mentas dari kubangan hitam. Ia ingin menjadi orang baik-baik.
Selama di rumah sakit, akupun mendengar kabar bahwa jabatanku sebagai pamong desa akan dilengserkan. Semua warga sudah bersepakat merencanakan mencoret namaku dari daftar pamong desa. Mereka menganggap aku sebagai pamong desa yang tidak bisa menjadi teladan. Sering keluar masuk komplek pelacuran. Sebagian warga desa bahkan sudah menyiarkan, kalau aku sudah terkena penyakit kelamin. Penyakit yang menjadi aib bahkan orang lain enggan menjenguk.
Jika mendengar hal itu, istriku hanya bisa menangis. Ia tidak mampu menahan kerasnya omongan orang di luar sana. Ia tidak mampu menatap setiap wajah yang ia temui. Terlalu berat baginya menahan badai sedangkan baginya hanyalah sebuah perahu kecil. Ia sangat percaya padaku. Aku sering menghiburnya dengan mengatakan padanya bahwa suatu hari nanti mereka akan tau jawabanya. Mereka hanya bisa menduga-duga, tidak pernah tau sebenarnya. Bahkan mereka tidak pernah bertanya langsung, apa yang aku lakukan di komplek sana. Mereka hanya melihat yang tampak, tidak pernah mau melihat apa yang tersembunyi.
***
Awan hitam menggantung di langit Desa Seger Arum. Bulir-bulir embun pagi menetes dari ujung daun kamboja. Di ujung speaker musholla, terdengar kabar duka. Telah berpulang ke rahmatullah dengan tenang Bapak Kasturi, pada hari ini Jum'at, jam 05.00 pagi. Suasana duka menyelimuti rumah Kamituwo Kasturi. Keluarga Kamituwo Kasturi dirundung duka.
Satu persatu pelayat mulai berdatangan. Tumpah ruah hingga ke jalan-jalan. Aku tidak membayangkan akan sebanyak ini pelayatnya, melebihi seorang kyai yang meninggal. Bahkan sebagian pelayat ini, aku tidak mengenalnya. Entah dari mana.
Sebenarnya aku tidak ingin datang ke rumah duka ini. Aku sudah terlanjur malu dengan sebutan Mami Desi. Mereka masih menganggapku sebagai germo. Seorang mami-mami yang menampung para perempuan malam. Seorang wanita yang dianggap memiliki hubungan gelap dengan Kamituwo Kasturi. Walaupun kini aku sudah meninggalkan pekerjaan itu.
Tapi entah malaikat dari mana yang membawaku datang ke rumah ini. Hanya karena menjalankan titipan amanat dari almarhum Kamituwo-lah yang menguatkanku untuk datang. Beliau telah menitipkan amplop terakhir kepadaku. Ini menjadi wasiat yang harus aku sampaikan kepada Mbah Modin. Â Seorang tokoh agama di desa ini.Â
Harum bunga kenanga menyeruak membelah langit-langit musholla. Jenazah sudah siap untuk diberangkatkan. Empat puluh lebih pelayat ikut menshalatkan. Saking banyaknya pelayat, shalat jenazah harus dilaksanakan beberapa gelombang. Usai dishalatkan, aku memberanikan diri untuk menyampaikan amplop putih itu kepada Mbah Modin.
Aku sendiri tidak tau apa isi amplop putih itu. Aku hanya bisa menduga amplop putih itu berisi uang sebagaimana amplop-amplop yang biasa aku terima sebelumnya. Amplop berisi uang untuk membangun musholla di kampung hitam. Tapi amplop yang terakhir, entahlah, aku tidak tau. Kamituwo hanya berpesan untuk disampaikan kepada Mbah Modin. Amplop terakhir yang diberikan kepadaku saat berkunjung ke rumah sakit beberapa hari sebelum Kamituwo meninggal.
"Bapak, Ibu, sebelum jenazah ini kita berangkatkan, ada titipan yang harus saya sampaikan kepada bapak ibu semuanya". Suara Mbah Modin memecah keheningan.
Dengan pelan Mbah Modin mengeluarkan secarik kertas dari amplop putih. Membacanya dengan hati-hati. Surat yang cukup singkat dengan salam pembuka penuh ta'dzim. Jarum jam seakan berhenti dalam keheningan. Gurat kesedihan menyelimuti mereka. Tidak sedikit dari mereka menitikkan air mata.
"Saudaraku,Â
Aku tidak pernah tahu, amal mana yang akan menjadikan aku selamat kelak di akhirat. Jabatanku hanya sampai disini.Â
Dan aku hanya bisa berpesan, jaga dan hidupkan mushola wakaf yang diberikan Ibu Desi. Insya Allah, tanah dan musholla itu dari uang yang halal"
Salam hormat.Â
Kasturi.
Â
Selesai membacakan surat, derai air mata pelayat mengharu biru. Wajah-wajah pelayat tertunduk menahan kelu. Aku hampir menjerit menahan pedih, tak mampu membendung air mata. Tumpah ruah air mata ini, hanyut dalam do'a, semoga Kamituwo Kasturi diterima di sisi-Nya. Dan semoga Allah menerima amal ibadahnya.Â
Langit mendung berarak memayungi derap langkah para pelayat membawa keranda. Angin berhembus pelan bersama harum kenanga. Berguguran bunga kamboja. Meruap harum di pemakaman Desa Seger Arum. Sekar mewangi, sewangi kesturi.*
Kamituwo : kepala dusun
Penulis : Masruhin Bagus (penjaga jejakruang.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H