Klowor, begitu namaku. Aku serdadu KNIL yang berjuang demi kejayaan Ratu Belanda. Aku sudah bertugas dibanyak front pertempuran melawan pemberontak yang membangkang pada tahta Sri Ratu Wilhelmina.
Aku tergolong kaum sial di KNIL. Orang Jawa tidak sebaik sebaik orang Ambon, apalagi orang Belanda yang jadi serdadu di tangsi. Kami tidak dapat roti. Dulu kami adalah serdadu yang tidak bersepatu. Di zaman perang Aceh, pendahulu kami yang orang Jawa mengejar gerilyawan tanpa alas kaki. seperti gerilyawan pemberani yang mereka kejar itu.
Perang Aceh sudah lama berlalu. Tetap saja tempat itu begitu menakutkan bagi banyak orang Belanda. Aku pernah setahun disana. Kerjaku cuma mengejar orang Aceh yang tak kenal takut itu. Banyak orang Belanda mati disana.
Yang dilakukan serdadu KNIL jika tidak sedang patroli adalah mangkal di kedai minum. Bagi yang sudah minum, biasanya akan masuk rumah bordil yang tidak jauh dari kedai minum dan tangsi. Sebagai kopral KNIL aku juga rajin kesana. Bercinta dengan wanita pribumi yang hanya ingin mengisi perutnya saja pada awalnya. Di tangsi sebenarnya ada juga istri-istri serdadu lain yang bisa ditiduri dengan maupun tanpa sepengetahuan suaminya. Bagiku itu konyol. Aku tidak ingin cari ribut di tangsi. Bukan karena aku takut. Aku adalah serdadu yang hanya ingin mati untuk Sri Ratu, bukan mati untuk alat kelamin wanita.
Dalam buku anggota kompi tercatat aku lahir tahun 1907. Dan aku tekken Soldij tahun 1925. Karena aku bisa baca tulis aku dimasukan ke sekolah kader selesai latihan di Gombong. Selesai sekolah kader militer di Magelang, aku lalu dikirim ke Aceh, Padang, Flores, Makassar, Halmahera dan terakhir aku ditembatkan di Batalyon X, Batavia.
****
Sore ini aku plesir. Dengan seragam kopral KNIL ku tentunya. Bukan karena tidak ada baju lain, ini karena aku bangga membela Ratu Wilhelmina. Aku duduk di bangku taman cukup lama. Aku pun duduk disebelah wanita Belanda yang murung. Dia hanya membaca koran. Mata sayu itu hanya mengarah ke tulisan yang tercetak di kertas lebar ini. Dia tidak marah dan sinis ketika aku duduk disebelahnya. Wanita Belanda yang aneh.
Dia tidak cantik untuk ukuran orang Belanda. Tapi, laki-laki Belanda di Hindia ini tentu bisa ribut untuk memperebutkannya. Tapi aku suka matanya. Wanita-wanita yang ada di rumah bordil tidak ada yang punya mata seperti dia.
Sepulang ke tangsi, aku membayangkan matanya. Sebelum tidur, sebangun tidur, ketika apel di tangsi, selalu ada mata itu di kepalaku. Karena aku selalu bebas di sore hari, aku pun ke taman lagi. Juga duduk di bangku yang sama. Lalu mata itu datang lagi. Dia tidak membawa koran kali ini.
Dia termenung lama sekali. Aku hanya nikmati ketermenungannya. Dia lalu meneteskan air matanya pelan-pelan. Aku tidak berani berkata padanya, karena aku adalah orang pribumi, sedang dia warga kelas satu. Dia akhirnya bicara padaku juga, dan aku terkejut.
“kau pernah alami kehilangan seseorang?”