Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Klowor Sang Kopral

15 September 2010   09:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Terimakasih menemaniku” katanya padaku.

“Aku tidak bisa menangis di tempat lain. Cuma disini aku bisa menangis.” lanjutnya.

“Kamu serdadu?”tanyanya. “Ya untuk sang Ratu,”jawabku bangga. “Aku perawat di CBZ, aku Marianne, panggil saja aku Maria.” dia perkenalkan dirinya dengan senyum kecil yang ingin pamer bahwa penderitaannya telah berakhir. “Saya Klowor.”

Selanjutnya kami mengobrol banyak hal. Dia bercerita tentang dirinya yang malang. Berlayar berminggu-minggu diatas kapal demi suaminya yang countroleur di Aceh. Mereka menikah di Nijmegen. Ketika sampai di Batavia dan sedang tinggal di rumah kenalannya di daerah Menteng, dia diberitahu bahwa kekasihnya tewas ditangan orang Aceh yang nekat itu. Dia begitu sendiri di dunia ini. Jauh dari rumah. Rindu dia pada rumah juga membuatnya menderita. Dia atasi kesedihannya dengan menjadi perawat selama lebih dari sepeluh tahun lalu. Dia tujuh tahun lebih tua dariku.

Kami pun makin akrab, meski aku berusaha jaga sikap karena merasa lebih rendah. Namun dia tidak pernah merendahkanku. Aku mulai merasa nyaman dengannya. Tapi aku tidak menaruh cinta padanya. Itu tidak mungkin aku Inlander dia wanita Belanda totok. Jika pun aku cinta padanya, tentu dia tidak akan mau menerimanya dan buruknya dia tidak akan mau bertemu denganku. Aku hanya suka matanya. Aku takut tidak bisa melihat matanya lagi. Jadi, aku telah lakukan hal benar.

*****

Minggu siang ini, Maria mengajakku makan di rumahnya. Aku tidak sedang piket minggu ini. Jadi aku bebas. Tentu saja aku mau. Makan enak, dan tentu saja melihat matanya.

Setelah berpakaian rapi, aku keluar tangsi dengan gagahnya. Masih dengan seragam KNIL dan sepatu mengkilap. Kali ini aku tidak memakainya untuk sang Ratu, tapi untuk mata indah Maria. Aku berjalan kaki dengan gagahnya ke rumah Maria di Gunung Sahari.

Aku pun mengetuk pintu rumahnya. Dia menyambutku dengan senyuman yang hangat. Dan ia persilahkan aku masuk ke dalam rumahnya yang mungil. Hanya ada ruang tamu dengan meja makannya, kamar tidur tidak berpintu, kamar mandi dan dapur. Maria tampak nyaman tinggal disitu.

Mari kopral! Duduklah!Tunggu sebentar!

Aku terduduk, akhirnya aku menatapi rumahnya yang mungil itu. Dia lalu keluar dari dapur mungilnya dan membawa sepiring sambel goreng. Piring itu diletakan di meja makan dan dia kembali ke dapur lagi. Aku mencium bau masakan enak. Selanjutnya dia keluar lagi, dengan semangkuk besar nasi. Setelah ditaruh nasi itu, dia ke dapur lagi. Tangannya kali ini memegang piring dengan ayam goreng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun