Rumahmu menyenangkan Maria” kataku. “Oh ya, aku kira rumahku cukup buruk” balas Maria merendah. Bagiku rumah maria enyenangkan. Dia tinggal di daerah yang jauh dari rumah kumuh pribumi. Pohon mangga besar didepan rumahnya membuat rumahnya teduh.
“Ini rumah, pinjaman dari keluarga van Rossen yang dinas di Banjarmasin.” katanya. “Entah kapan mereka akan kembali tempati rumah mungil ini.”
Selesai mengupas mangga. Kami pun makan. Maria berdoa ala Katolik. Aku tidak berdoa. Aku tidak punya agama, jadi tidak perlu berdoa dan hanya menunggunya selesai berdoa.
Kami makan pelan-pelan. Aku tidak makan tergesa-gesa seperti di tangsi. Aku makan sambil menatap mata Maria yang indah tiada. Sengaja aku tidak cepat-cepat habiskan makananku, agar bisa lebih lama melihat matanya. Matanya membuatku jatuh cinta.
“Bagaimana?” tanya Maria.
“Enak, jauh lebih enak daripada di tangsi. Disana semua makanan rasanya sama saja, hambar” jawabku dan Maria tersenyum mendengarnya.
Kami meneruskan makan. Tentu saja aku aku curi-curi untuk melihat matanya. Melihat tingkahku, Maria hanya tertawa.
“Ada yang aneh?” tanya Maria.
“Matamu indah Maria. Tuhan Yang Agung menciptakannya untukmu. Kau beruntung.” balasku. Sekali lagi Maria tersenyum padaku dan berkata, “kau berlebihan kopral.”
Makan-makan berakhir. Makanan Maria jelas enak. Misi makan enak yang terngiang sejak di tangsi sukses. Misi lain adalah menatap mata Maria, masih berlangsung. Aku dapatkan dua hal hari ini. Aku laki-laki beruntung hari ini.
Hanya sepiring mangga potongan Maria masih tersisa. Kami habiskan pelan-pelan. Aku tidak banyak bicara. Aku hanya menatap matanya lagi. Tidak pernah bosan.