Kang Pardi, lelaki setengah baya ini duduk di bangku panjang yang telah lapuk. Beberapa bagian telah lepas pakunya. Bunyi berderit terdengar saat ada orang duduk atau berdiri di bangku ini.
Beberapa tahun yang lalu sebelum semua yang dilakoninya terendus penciuman istrinya, bangku ini selalu penuh oleh para pelanggan warungnya. Es teh, kopi, makanan kecil, terkadang indomie rebus dinikmati di bangku ini.
Istri dan anaknya telah meninggalkannya, kembali ke rumah orang tuanya karena melihat Kang Pardi terbukti telah berkhianat.
Dengan mata kepala sendiri istrinya melihatnya menggandeng perempuan lain secara tak terduga. Perjalanan ke Gunung Kemukus yang kesekian kalinya itu malah berakhir tragis tak dinyana.
Di dalam bis yang sama ia bertemu dengan istrinya yang kebetulan sedang melakukan perjalanan dengan rute yang berbeda.
Istrinya hendak ke kota lain yang rutenya melalui lereng Gunung Kemukus yang juga dilewati oleh Kang Pardi bersama pasangannya.
Kebetulan memang, tapi apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur. Hati istri kang Pardi terlanjur terluka, dan ia lebih memilih kembali ke rumah orang tuanya daripada terus terluka.
Kang Pardi memandang langit, sambil terus mengingat setiap sessi kejadian yang ia alami.
Awalnya rumah tangga kang Pardi terlihat bahagia. Pekerjaannya sebagai tukang juga sudah cukup mapan. Ia berhasil membangun rumah lengkap dengan warung kecil di depannya setelah menikah.
Seorang gadis asal Boyolali yang bekerja pada majikan tempat ia menggarap renovasi rumah telah menarik perhatiannya. Mereka menikah lalu punya seorang anak yang kini hampir masuk sekolah TK.
Jaman sudah maju. Hp jadul dengan nada dering poliponic telah ditinggalkan menjadi android yang tampilannya lebih keren dan bisa melihat dunia hanya dengan menyentuh tombol layar.
"Njajal kang, golek informasi Gunung Kemukus, jare enak nek iso nglakoni ritual neng kono".
Begitu kata kang Arifin tetangganya yang memang suka iseng melihat berita di internet.
Spontan tangan Kang Pardi mengetikkan kata kunci di layar hp, lalu terpampang informasi dalam berbagai versi. Video, berita, maupun gambar-gambar yang menarik perhatiannya.
Sepeninggal kang Arifin, pikiran Kang Pardi sedikit terganggu. Semalaman ia berfikir tentang warungnya yang kini mulai sepi pembeli.
Penjual kopi sudah marak di kampungnya. Pendapatannya mulai turun dalam beberapa bulan terakhir ini. Bahkan beberapa puluh gorengan yang dibuat istrinya kadang tak tersentuh pembeli. Akhirnya dimakan sendiri atau untuk hadiah ayam kelaparan di belakang rumah.
Suatu hari, ia pamit kepada istrinya untuk perjalanan ziarah ke makam wali. Rombongan dari kalungnya berangkat ke makam walisongo, tapi ia berangkat ke Gunung Kemukus seorang diri.
Melewati Salatiga Boyolali sampailah ia di area makam Kemukus. Malam Jum'at pon memang waktu yang ditunggu-tunggu oleh peziarah untuk melakukan ritual.
Lokasi makam penuh sesak. Ia kebingungan harus berbuat apa, mengingat tak ada panduan yang menuntun bagaimana caranya agar niatnya bisa terlaksana.
Menunggu di warung kopi hampir tengah malam, lalu seorang wanita berkerudung biru menghampirinya,
"Piyambakan mas?", Kata perempuan ini ramah
"Nggih mbak", jawab jawab kang Pardi pelan.
Rupanya mereka sudah mendapatkan kata kunci. "Piyambakan" atau sendiri itu merupakan keyword untuk mendapatkan pasangan di Kemukus.
Lalu mereka saling berinteraksi. Bercerita tentang latar belakang masing-masing mengapa bisa sampai ke tempat ini.
Mereka berdua pun segera mencari informasi. Lalu bertemu juru kunci dan mendapatkan tuntunan untuk melakukan ritual.
Juru kunci membakar kemenyan dalam sebuah ruangan dan menabur bunga. Lalu memberikan sarung kaepada kedua orang ini. Â
"Bapak sama ibu mandi dulu di danau Trowulan", kata juru kunci. Nanti kalau sudah selesai ke sini lagi.
Kang Pardi dan pasangannya dan puluhan pasangan lain secara tertib mandi di danau Trowulan. Rasa dingin dan gigitan nyamuk nyaris tak mereka rasakan karena tujuan hidup berkecukupan.
Setelah melakukan ritual mandi, mereka datang lagi pada juru kunci. Mereka menerima selembar sarung lagi.
"Monggo cari tempat yang nyaman, nanti sarungnya ditinggal saja kalau sudah selesai. Sudah ada yang mengurusi".
Ragu, dan jantungnya berdegup keras saat kang Pardi mulai mencaru tempat sepi. Dalam kegelapan malam mereka terus berjalan mencari celah. Ia sebenarnya berkeinginan menggandeng tangan pasangannya. Tapi keraguan hatinya menolaknya. Beberapa kali mereka menyandung gerumbul dikira semak dan berteriak "aduh", Â yang ternyata adalah pasangan mesum seperti dirinya yang sedang melakukan ritual seks bebas.
Akhirnya di bawah sebatang pohon yang cukup besar, mereka berniat melakukan ritual. Plastik lebar 1X1 meter sebanyak dua lembar pun mereka gelar. Diantara degup jantung yang terus membahana, kang Pardi bertanya, "kata juru kunci kita harus melakukannya dengan melepas semua pakaian, bagaimana mbak?"
"Manut saja", jawab pasangannya dengan enteng.
Kang Pardi merasa malu melakukan ini. Seumur hidup ia tidak pernah melakukan hubungan badan kecuali dengan istrinya.
Erangan dan desahan pasangan ini terdengar lirih, lalu beberapa puluh gerakan menuntaskan permainan ini. Keduanya terkulai lemas. Dan segera memakai pakaian mereka kembali.
Esok paginya ia kembali bersama rombongan ziarah kampung yang juga telah kembali. Lalu keadaan menjadi seperti biasa saja. Kang Pardi tetap bekerja sebagai tukang dan istrinya menjaga warung.
Sudah 6X kang Pardi mengikuti ritual di gunung Kemukus. Konon menurut kabar yang beredar, seorang yang melakukan ritual di gunung Kemukus harus bisa melakukan 7X secara berturut-turut bersama pasangan yang sama.
Kang Pardi pamit mancing kali ini. Ia berencana akan membeli ikan sepulang dari Kemukus sebagai bukti bahwa ia memang pergi memancing.
Istrinya tak curiga sama sekali, bahkan pamit akan menengok orang tuanya selama kang Pardi pergi.
Tak disangka bus yang mereka tumpangi mempertemukan pasangan suami istri ini dalam situasi yang tak diinginkan.
Kang Pardi harus rela kehilangan anak istri. Padahal ritual hanya tinggal sekali lagi.
Kisah ini hanya fiktif semata, kesamaan nama, tempat, dan kejadian hanya kebetulan belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H