Problematika dan Analisis
Dalam tuntutan desain pemilihan global yang semakin meningkat saat ini, bentuk ideal semakin diimpikan oleh setiap negara yang bermazhab demokrasi. Bukan hanya berorientasi bagaimana mengenjot angka partisipasi dan proses seleksi yang akuntabel namun jauh dari itu adalah bagaimana alam demokrasi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat tumbuh dan berkembang berlandaskan konsep free and fair.
Menjamurnya Paslon Tunggal pada Pilkada 2020 dapat dianalisis dari beberapa sisi. Pertama, electoral laws, Kedua, partai politik, Ketiga, pemilih.
Pertama, electoral laws. UU Nomor 10 Tahun 2016 merupakan dasar hukum pelaksanaan Pilkada saat ini. Produk hukum ini merupakan perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti atas UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Beragam ketentuan telah diatur dan dijabarkan secara jelas, mulai dari Pasal 1 hingga Pasal 205 begitu komprehensif dan mudah dimengerti. Namun yang menarik perhatian penulis adalah pada Pasal 40 tentang persentase persyaratan pencalonan dinilai cukup tinggi yang mencapai angka minimal 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan legislatif. Hal ini terasa memberatkan bagi partai politik yang minim kursi atau suara.
Bicara masalah pencalonan atau kandidasi tentu tidak lepas dari hal yang di atas, namun permasalahan tersebut jika didudukkan secara free and fair maka setiap partai politik mempunyai potensi dalam mencalonkan calonnya terlepas modal  kekuatan suara di legislatif.
Sederhanannya, tidak semua partai politik yang melewati ambang batas minimal memiliki calon yang acceptable di mata masyarakat bahkan malah sebaliknya, mungkin saja partai politik yang minim suara mempunyai figur yang OK dan potensial namun karena ambang batas yang tinggi maka harapan itupun pupus bak mendayung perahu tak bertepi.
Kemudian pada Pasal 41 tentang persentase syarat pencalonan calon independen yang dinilai masih cukup tinggi. Banyak pihak dari masyarakat non partai politik berpikir ulang ketika ingin mencalonkan dirinya karena persyaratan dukungan yang cukup berat.
Padahal sejatinya, jalur independen merupakan sarana untuk mengakomodir keinginan masyarakat non partai politik untuk ikut berkontestasi dalam Pilkada yang dituangkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 hasil revisi Mahkamah Konstitusi (MK) dari UU Nomor 32 Tahun 2004 sebelumnya.
Kedua, partai politik. Paslon Tunggal diinterpretasikan sebagai buah gagalnya proses kaderisasi partai politik dalam merekrut dan menghadirkan kader-kader terbaiknya untuk duduk di kursi eksekutif.Â
Hal ini tentu berseberangan dengan harapan UU Nomor 2 Tahun 2011 Pasal 29 Tentang Partai Politik yang intinya berbunyi bahwa partai politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk duduk di kursi legislatif dan eksekutif.