PERTEMUAN SAMUDRO
"Buang napaaas... Tahaaan... Tariiik!"
Suara seorang laki-laki terdengar lantang dari kejauhan. Nampaknya diteriakkan dengan segenap tenaga. Aku berjalan tergopoh-gopoh. Keinginanku untuk bertemu Padepokan Samudro rupanya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Sudah lebih dari seminggu aku bertanya kepada masyarakat di sekitar Sragen dimana letak Padepokan Samudro. Semua menggeleng. Bahkan aku ditunjukkan ke Gunung Kemukus dimana disana terdapat petilasan Pangeran Samudro. Namun setelah kudatangi, nampaknya itu hanya petilasan biasa dan bukan merupakan sebuah padepokan sebagaimana halnya orang menimba ilmu silat. Ketika kutanyakan dimana Padepokan Samudro pada juru kunci petilasan, beliau juga menggeleng. Entah apakah beliau menutupi atau memang benar-benar tidak tahu. Lokasi Padepokan Samudro kudapatkan dari seorang penjual minuman aren yang pada saat itu lewat. Saat itu aku benar-benar kehausan karena berjalan kesana-kemari menembus hutan dan pepohonan. Pada suatu daerah yang rindang dan ditutupi beberapa pepohonan besar, aku beristirahat. Tenggorokanku rasanya sangat haus. Meskipun cadangan uang yang kubawa masih cukup, namun disekitar tempatku berada tidak ada warung sementara air minum kemasan yang kubawa hanya tinggal seteguk saja.
Untuk mengurangi rasa haus, aku duduk dibawah sebuah pohon yang agak besar. Pohon itu sepelukan orang dewasa lebarnya. Akar-akar pohon menghunjam dengan kuat ke tanah. Daunnya sangat rimbun dan membuat adem siapapun yang duduk dibawahnya. Aku bersila, memejamkan mata, dan mengatur napas untuk mulai menenangkan diri. Tidak berapa lama, aku mendengar sebuah langkah kaki. Mula-mula terdengar jauh, kemudian makin jelas dan makin mendekat ke arahku. Aku membuka mata perlahan. Kurang lebih lima meter didepanku ada seorang kakek-kakek yang memanggul dua buah bambu sedang berjalan. Meskipun sudah kakek-kakek, namun aku masih melihat otot-ototnya tidak kendor sama sekali. Bentuk wajahnya agak kotak, namun memiliki garis dagu yang keras, sorot matanya teduh namun tajam, punya kharisma tinggi yang sulit kukatakan. Aku langsung berdiri. Kakek itu berjalan dengan santai ke arahku.
"Nira den?", ucap kakek tua itu dengan perlahan. Jarak kami kurang lebih sekitar dua meteran.
Aku merasa sangat senang karena tenggorokanku yang kering bisa kubasahi dengan air nira yang manis. Sudah terbayang betapa nikmatnya tenggorokan ini dimasuki air nira yang manis, dingin, dan menyegarkan.
"Iya kek, aku mau beli air Nira nya...", jawabku langsung saja.
Aku melihat kakek tua itu menggeser panggulan bambu dibahunya. Pada ujung bambu dilingkarkan beberapa gelas yang terbuat dari bambu juga. Kakek itu mengambil salah satu gelas bambu, kemudian diturunkannya perlahan ujung salah satu bambu yang berisi air nira itu ke lalu didekatkan ke mulut gelas. Ketika air nira itu keluar dari ujung bambu, aku bisa mencium bau wangi nira. Air liurku tanpa sadar langsung mengisi mulutku. Nira ini mesti enak Sekali.
"Silahkan den...", ucap kakek tua itu sambil menyodorkan gelas bambu berisi air nira.
"Terima kasih kek...", jawabku sambil kuterima gelas bambu itu dengan tangan kanan. Aku berjalan sedikit kesamping kanan kakek tua dimana terdapat salah satu akar yang menjulang dan membentuk seperti dudukan. Kemudian aku duduk disitu.
"Bismillahirrahmaanirrahiim...", kuteguk gelas bambu berisi air nira itu. Segar sekali rasanya. Tidak begitu lama, air nira dalam gelas bambu itu sudah ludes kuminum. Aku berdiri dan berjalan menuju kakek penjual air nira.
"Boleh tambah air niranya kek?", tanyaku dengan sopan.
"Boleh den... boleh... tentu saja boleh den...", jawab kakek tua itu.
Kusodorkan gelas bambu yang sudah kosong kepadanya, ia lalu mengisinya penuh dan menyerahkannya kembali kepadaku. Kuteguk habis dua gelas air nira tanpa bersisa. Serasa nyawaku kembali lagi, semangatku kini juga kembali lagi. Gelas bambu itu kuletakkan disampingku.
"Kek, saya membawa dua botol, mohon air nira yang enak ini juga dimasukkan kedalamnya ya untuk persediaan perjalanan saya...", pintaku kepada kakek tua penjual air nira itu. Aku menyerahkan dua botol air kemasan kepada kakek tua.
"Baik den...", jawab kakek tua itu singkat.
Tidak berapa lama, air nira yang segar sudah mengisi dua botol minumanku. Aku memasukkannya kembali pada tas pinggang yang kubawa. Dengan cadangan dua botol air nira ini, dipastikan aku pasti bisa berjalan mengitari lokasi perbukitan dan hutan lebih lama dan lebih kuat.
"Memangnya aden mau kemana den?", tanya kakek tua itu.
"Begini kek, saya ini ingin mencari dimana lokasi Padepokan Samudro. Tapi setiap orang yang saya temui dari mulai saya masuk ke wilayah hutan Sragen ini hingga sekarang tak satupun yang mengetahui dimana lokasi padepokan tersebut. Saya hampir putus asa...", jawabku dengan nada sedih.
Sekilas aku melihat raut muka kakek tua itu yang terkejut, namun ia dengan cepat menutupinya kembali. Meski terlihat perubahan wajah sekilas, namun aku tahu bahwa kakek tua penjual nira itu pasti mengetahui sesuatu. Aku pernah belajar ilmu gesture, yakni ilmu gerak tubuh dan mimik wajah. Perubahan sekilas itu sudah memberitahuku bahwa ada sesuatu yang diketahui oleh kakek tua itu. Perubahan wajah ini tidak kulihat pada orang-orang yang kutanyai sebelumnya.
"Itu bukannya hanya kisah dan mitos saja den?", ucap kakek itu.
"Bisa saja. Namun bagi saya tidak kek", jawabku.
"Kenapa bisa begitu den?", ucap kakek tua.
"Sebab saya bermimpi hingga tiga kali kek mengenai Padepokan Samudro ini. Dan mimpinya selalu sama. Pada mimpi yang pertama, saya menganggap itu sebagai bunga tidur meskipun sebenarnya hati ini berusaha mengingkarinya. Namun ketika mimpi itu berlanjut kedua dan ketiga, saya yakin ini bukanlah bunga tidur biasa...", jawabku dengan gambling.
Lagi-lagi aku melihat sekilas perubahan pada wajah kakek tua penjual nira itu.
"Dulu, kakek memang pernah mendengar kisah itu den dari orang tua kakek. Diceritakan kalau lokasinya konon tersembunyi dan sulit untuk ditemui. Orang-orang dari Padepokan Samudro sangat tertutup terhadap orang luar...", ucap kakek tua itu.
Aku menjadi bersemangat.
"Lalu bagaimana caranya saya kesana kek?", tanyaku penasaran.
"Ada kisah yang diceritakan turun temurun, bahwa lokasi padepokan itu masuk kedalam tanah. Gerbangnya adalah dua buah pohon yang saling menyilang yang disekitarnya sangat rimbun. Untuk masuk kedalamnya tidaklah mudah. Konon ada penjaga yang akan menanyakan hal-hal tertentu yang harus dijawab. Itupun kalau bisa sampai bertemu penjaganya...", ucap kakek tua itu bercerita.
"Dimana saya bisa mencari dua buah pohon yang saling bersilangan itu kek?", tanyaku lagi.
"Menurut cerita turun temurun, aden harus berjalan menuju matahari terbenam dan tidak boleh memutar. Maksudnya kalau didepan ada halangan, maka aden harus melewati halangan itu. Terus saja seperti itu diperhatikan hingga nanti akan ketemu dengan dua buah pohon yang saling bersilangan. Ini menurut cerita turun temurun ya den...", lanjut kakek itu menjelaskan.
Aku senang sekali, karena jawaban seperti ini begitu gamblang dibandingkan jawaban yang kudapatkan dari penduduk yang kutemui sebelumnya. Aku ingin bertanya hal lain lagi kepada kakek tua ini.
"Sudah dulu ya den, kakek meneruskan berjualan nira dulu. Semoga aden menemukan apa yang aden cari...", ucap kakek tua itu sambil beranjak pergi. Ia memutar pinggangnya lalu berjalan menjauh dariku.
"Terima kasih kakek!", ucapku dengan bersemangat. Aku melihat punggung kakek tua itu mulai menjauh.
Paling tidak ada sedikit petunjuk, meskipun aku tidak tahu itu benar atau tidak. Namun sudah kepalang basah. Tidak mungkin bagiku untuk kembali. Maka kuniatkan dengan kuat untuk mengikuti saran kakek tua penjual nira itu. Aku segera berdiri dan ingin melanjutkan perjalanan. Saat ingin berdiri tanpa sengaja lengan kananku menyenggol gelas bambu milik kakek tua itu.
"Eh, ini gelas bambu kakek tua itu tertinggal...", gumamku dalam hati.
Aku segera mengambil gelas bambu itu dan kemudian menyelipkannya pada tas pinggangku tepat disamping. Aku memandangi sekitar, kulihat arah sinar mentari untuk mendapatkan posisi barat. Lalu aku berjalan menuju kesana.
Sekitar satu jam kemudian, aku bertemu dengan sungai yang airnya dangkal setinggi betis. Aku ingat, bahwa aku tidak boleh memutari sungai ini dan harus melewatinya. Segera saja aku berjalan terus melewati sungai. Air sungai yang dingin terasa dikakiku. Tidak perlu waktu lama aku sudah melewati sungai tersebut. Kira-kira sepuluh menit kemudian aku bertemu dengan pepohonan yang rimbun. Disamping pohon rimbun itu terdapat jalan berbelok, namun aku tidak boleh melewatinya dan harus terus lurus menuju arah barat. Kuberanikan menembus rimbunnya pepohonan. Banyak ujung rantingnya mengenai kulitku dan beberapa menggores kulitku tipis-tipis. Tidak menyebabkan sobek tetapi menimbulkan rasa sedikit perih, apalagi saat terkena keringat. Namun kukuatkan tekadku untuk terus berjalan. Akhirnya aku berhasil melewati rimbunnya pepohonan tadi.
Lima belas menit kemudian aku bertemu kembali dengan sungai yang airnya kini sebatas pinggang. Nampaknya agak sedikit lebih deras dibanding sungai sebelumnya. Kuberanikan kakiku turun ke sungai. Benar saja, arus airnya berbeda dibandingkan tadi. Aku perlu berkali-kali menyalurkan tenagaku ke kaki supaya kuda-kuda yang kubentuk tidak terbawa oleh arus sungai. Dengan perjuangan berat dan peluh berkeringat, ditambah sedikit perih di kulit, aku berhasil melewati sungai. Kuteguk kembali setengah botol air nira untuk memulihkan tenagaku.
Aku berjalan terus menuju arah barat. Nampaknya arahku sudah mulai menjauh dari rumah penduduk, makin sepi dan sangat sepi. Kubulatkan tekad untuk terus berjalan menuju barat. Kira-kira satu jam kemudian aku tertegun melihat pemandangan didepanku. Benar seperti yang dikatakan oleh kakek tua penjual nira itu, ia tidak berbohong, didepanku kini terdapat dua buah pohon yang saling bersilangan dan sangat luar biasa rimbun. Terlihat sangat angker. Kedua pohon tersebut terlihat sangat kokoh dan juga sangat tua. Akar-akarnya banyak menancap bumi dengan kuat. Besarnya hampir satu setengah kali pelukan orang dewasa. Aku menyentuhnya dengan telapak tanan kananku, lalu tangan kiriku. Sudah tidak bisa mundur lagi. Aku harus maju.
Kusibakkan rimbunnya dedaunan dan ranting diantara silangan dua pohon besar ini. Dengan bersusah payah, kemudian aku memasuki semacam lorong yang arahnya menurun. Menyibakkan rimbunnya daun dan ranting ini lebih berat dibandingkan sebelumnya. Baru lima langkah, rasanya tenagaku habis. Kuteguk setengah botol air nira. Satu botol sudah habis. Tinggal satu botol lagi. Aku berjalan terus, menembus dedaunan dan ranting yang mulai melukai kulitku. Jalannya semakin menurun, sementara dedaunan dan rantingnya semakin tebal saja. Kukuatkan tekadku untuk terus berjalan yang entah sampai dimana ujungnya. Yang aku rasakan makin lama makin menurun dan makin gelap. Sinar matahari nampaknya mulai sulit menembus rimbunnya dedaunan. Entah sudah berapa lama dan sudah berapa jauh aku melakukan itu. Tubuhku mulai kelelahan. Ini tidak sekedar berjalan biasa namun harus menembusi dedaunan rimbun dan ranting dengan segenap tenaga. Kuhabiskan satu botol air nira terakhir yang kupunya. Meski itu mengembalikan tenagaku, namun tidak berlangsung lama karena tenagaku kembali terkuras untuk menembusi dedaunan dan ranting yang mulai menggila banyaknya.
Tangan dan kakiku kini mulai gemetar. Nampaknya otot-ototku hampir mencapai batas maksimum. Untuk kembalipun rasanya tak mungkin. Yang bisa kulakukan hanya percaya naluriku untuk terus maju dan maju. Bahkan kini, kalaupun aku pingsan rasanya tidak mungkin terjatuh mengingat tebalnya dedaunan dan ranting disekeliling tubuhku.
"Ayo... tubuhku... menguatlah... !", gumamku menyemangati diri sendiri.
Dalam kondisi seperti ini tidak ada yang bisa kulakukan selain menyemangati diri sendiri. Lidahku sudah mulai pahit. Keringatpun rasanya sudah kering di badan. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Sekilas kulihat warna kuning mulai banyak terlihat, lalu berganti hitam, lalu kuning lagi. Aku tahu, ini adalah reaksi saat seseorang sudah dalam titik kritis kesadaran dirinya. Jalanku mulai melambat, sangat melambat.
"Tidak, aku tidak boleh menyerah...", lagi-lagi aku menyemangati diri sendiri.
Entah antara sadar dan tidak, aku melihat ada setitik sinar diantara rerimbunan dedauan didepanku. Sesekali menyeruak masuk, namun lebih sering kembali tertutup dedaunan. Lalu terdengar suara sayup seperti orang berteriak. Lalu hilang. Aku berjalan terus. Entah sudah berapa jauh, aku tak peduli. Kesadaranku mulai meredup. Beberapa kali aku mencubit pipiku agar kembali tersadar. Tubuhku mulai berontak dan tidak menurut.
Pada suatu sibakan dedaunan dan ranting yang terakhir, aku menyerah. Nampaknya ini adalah batas kemampuanku. Tingkat lelahku sudah sangat tinggi. Bahkan meski mataku terbuka, namun aku sudah tidak bisa melihat apa-apa. Gelap total. Hitam pekat. Batas kesadaranku sudah menipis. Pada sisa-sisa kesadaranku, aku merasakan ada kesiuran angin didepanku. Suara teriakan laki-laki mulai lebih jelas. Lantang sekali. Namun itupun bahkan tidak mampu menaikkan semangatku.
Ini sudah puncak daya tahan tubuhku. Akupun mulai hilang kesadaran total. Pingsan.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H