"Kenapa bisa begitu den?", ucap kakek tua.
"Sebab saya bermimpi hingga tiga kali kek mengenai Padepokan Samudro ini. Dan mimpinya selalu sama. Pada mimpi yang pertama, saya menganggap itu sebagai bunga tidur meskipun sebenarnya hati ini berusaha mengingkarinya. Namun ketika mimpi itu berlanjut kedua dan ketiga, saya yakin ini bukanlah bunga tidur biasa...", jawabku dengan gambling.
Lagi-lagi aku melihat sekilas perubahan pada wajah kakek tua penjual nira itu.
"Dulu, kakek memang pernah mendengar kisah itu den dari orang tua kakek. Diceritakan kalau lokasinya konon tersembunyi dan sulit untuk ditemui. Orang-orang dari Padepokan Samudro sangat tertutup terhadap orang luar...", ucap kakek tua itu.
Aku menjadi bersemangat.
"Lalu bagaimana caranya saya kesana kek?", tanyaku penasaran.
"Ada kisah yang diceritakan turun temurun, bahwa lokasi padepokan itu masuk kedalam tanah. Gerbangnya adalah dua buah pohon yang saling menyilang yang disekitarnya sangat rimbun. Untuk masuk kedalamnya tidaklah mudah. Konon ada penjaga yang akan menanyakan hal-hal tertentu yang harus dijawab. Itupun kalau bisa sampai bertemu penjaganya...", ucap kakek tua itu bercerita.
"Dimana saya bisa mencari dua buah pohon yang saling bersilangan itu kek?", tanyaku lagi.
"Menurut cerita turun temurun, aden harus berjalan menuju matahari terbenam dan tidak boleh memutar. Maksudnya kalau didepan ada halangan, maka aden harus melewati halangan itu. Terus saja seperti itu diperhatikan hingga nanti akan ketemu dengan dua buah pohon yang saling bersilangan. Ini menurut cerita turun temurun ya den...", lanjut kakek itu menjelaskan.
Aku senang sekali, karena jawaban seperti ini begitu gamblang dibandingkan jawaban yang kudapatkan dari penduduk yang kutemui sebelumnya. Aku ingin bertanya hal lain lagi kepada kakek tua ini.
"Sudah dulu ya den, kakek meneruskan berjualan nira dulu. Semoga aden menemukan apa yang aden cari...", ucap kakek tua itu sambil beranjak pergi. Ia memutar pinggangnya lalu berjalan menjauh dariku.