"Boleh tambah air niranya kek?", tanyaku dengan sopan.
"Boleh den... boleh... tentu saja boleh den...", jawab kakek tua itu.
Kusodorkan gelas bambu yang sudah kosong kepadanya, ia lalu mengisinya penuh dan menyerahkannya kembali kepadaku. Kuteguk habis dua gelas air nira tanpa bersisa. Serasa nyawaku kembali lagi, semangatku kini juga kembali lagi. Gelas bambu itu kuletakkan disampingku.
"Kek, saya membawa dua botol, mohon air nira yang enak ini juga dimasukkan kedalamnya ya untuk persediaan perjalanan saya...", pintaku kepada kakek tua penjual air nira itu. Aku menyerahkan dua botol air kemasan kepada kakek tua.
"Baik den...", jawab kakek tua itu singkat.
Tidak berapa lama, air nira yang segar sudah mengisi dua botol minumanku. Aku memasukkannya kembali pada tas pinggang yang kubawa. Dengan cadangan dua botol air nira ini, dipastikan aku pasti bisa berjalan mengitari lokasi perbukitan dan hutan lebih lama dan lebih kuat.
"Memangnya aden mau kemana den?", tanya kakek tua itu.
"Begini kek, saya ini ingin mencari dimana lokasi Padepokan Samudro. Tapi setiap orang yang saya temui dari mulai saya masuk ke wilayah hutan Sragen ini hingga sekarang tak satupun yang mengetahui dimana lokasi padepokan tersebut. Saya hampir putus asa...", jawabku dengan nada sedih.
Sekilas aku melihat raut muka kakek tua itu yang terkejut, namun ia dengan cepat menutupinya kembali. Meski terlihat perubahan wajah sekilas, namun aku tahu bahwa kakek tua penjual nira itu pasti mengetahui sesuatu. Aku pernah belajar ilmu gesture, yakni ilmu gerak tubuh dan mimik wajah. Perubahan sekilas itu sudah memberitahuku bahwa ada sesuatu yang diketahui oleh kakek tua itu. Perubahan wajah ini tidak kulihat pada orang-orang yang kutanyai sebelumnya.
"Itu bukannya hanya kisah dan mitos saja den?", ucap kakek itu.
"Bisa saja. Namun bagi saya tidak kek", jawabku.