"Tidak, aku tidak boleh menyerah...", lagi-lagi aku menyemangati diri sendiri.
Entah antara sadar dan tidak, aku melihat ada setitik sinar diantara rerimbunan dedauan didepanku. Sesekali menyeruak masuk, namun lebih sering kembali tertutup dedaunan. Lalu terdengar suara sayup seperti orang berteriak. Lalu hilang. Aku berjalan terus. Entah sudah berapa jauh, aku tak peduli. Kesadaranku mulai meredup. Beberapa kali aku mencubit pipiku agar kembali tersadar. Tubuhku mulai berontak dan tidak menurut.
Pada suatu sibakan dedaunan dan ranting yang terakhir, aku menyerah. Nampaknya ini adalah batas kemampuanku. Tingkat lelahku sudah sangat tinggi. Bahkan meski mataku terbuka, namun aku sudah tidak bisa melihat apa-apa. Gelap total. Hitam pekat. Batas kesadaranku sudah menipis. Pada sisa-sisa kesadaranku, aku merasakan ada kesiuran angin didepanku. Suara teriakan laki-laki mulai lebih jelas. Lantang sekali. Namun itupun bahkan tidak mampu menaikkan semangatku.
Ini sudah puncak daya tahan tubuhku. Akupun mulai hilang kesadaran total. Pingsan.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H