"Terima kasih kakek!", ucapku dengan bersemangat. Aku melihat punggung kakek tua itu mulai menjauh.
Paling tidak ada sedikit petunjuk, meskipun aku tidak tahu itu benar atau tidak. Namun sudah kepalang basah. Tidak mungkin bagiku untuk kembali. Maka kuniatkan dengan kuat untuk mengikuti saran kakek tua penjual nira itu. Aku segera berdiri dan ingin melanjutkan perjalanan. Saat ingin berdiri tanpa sengaja lengan kananku menyenggol gelas bambu milik kakek tua itu.
"Eh, ini gelas bambu kakek tua itu tertinggal...", gumamku dalam hati.
Aku segera mengambil gelas bambu itu dan kemudian menyelipkannya pada tas pinggangku tepat disamping. Aku memandangi sekitar, kulihat arah sinar mentari untuk mendapatkan posisi barat. Lalu aku berjalan menuju kesana.
Sekitar satu jam kemudian, aku bertemu dengan sungai yang airnya dangkal setinggi betis. Aku ingat, bahwa aku tidak boleh memutari sungai ini dan harus melewatinya. Segera saja aku berjalan terus melewati sungai. Air sungai yang dingin terasa dikakiku. Tidak perlu waktu lama aku sudah melewati sungai tersebut. Kira-kira sepuluh menit kemudian aku bertemu dengan pepohonan yang rimbun. Disamping pohon rimbun itu terdapat jalan berbelok, namun aku tidak boleh melewatinya dan harus terus lurus menuju arah barat. Kuberanikan menembus rimbunnya pepohonan. Banyak ujung rantingnya mengenai kulitku dan beberapa menggores kulitku tipis-tipis. Tidak menyebabkan sobek tetapi menimbulkan rasa sedikit perih, apalagi saat terkena keringat. Namun kukuatkan tekadku untuk terus berjalan. Akhirnya aku berhasil melewati rimbunnya pepohonan tadi.
Lima belas menit kemudian aku bertemu kembali dengan sungai yang airnya kini sebatas pinggang. Nampaknya agak sedikit lebih deras dibanding sungai sebelumnya. Kuberanikan kakiku turun ke sungai. Benar saja, arus airnya berbeda dibandingkan tadi. Aku perlu berkali-kali menyalurkan tenagaku ke kaki supaya kuda-kuda yang kubentuk tidak terbawa oleh arus sungai. Dengan perjuangan berat dan peluh berkeringat, ditambah sedikit perih di kulit, aku berhasil melewati sungai. Kuteguk kembali setengah botol air nira untuk memulihkan tenagaku.
Aku berjalan terus menuju arah barat. Nampaknya arahku sudah mulai menjauh dari rumah penduduk, makin sepi dan sangat sepi. Kubulatkan tekad untuk terus berjalan menuju barat. Kira-kira satu jam kemudian aku tertegun melihat pemandangan didepanku. Benar seperti yang dikatakan oleh kakek tua penjual nira itu, ia tidak berbohong, didepanku kini terdapat dua buah pohon yang saling bersilangan dan sangat luar biasa rimbun. Terlihat sangat angker. Kedua pohon tersebut terlihat sangat kokoh dan juga sangat tua. Akar-akarnya banyak menancap bumi dengan kuat. Besarnya hampir satu setengah kali pelukan orang dewasa. Aku menyentuhnya dengan telapak tanan kananku, lalu tangan kiriku. Sudah tidak bisa mundur lagi. Aku harus maju.
Kusibakkan rimbunnya dedaunan dan ranting diantara silangan dua pohon besar ini. Dengan bersusah payah, kemudian aku memasuki semacam lorong yang arahnya menurun. Menyibakkan rimbunnya daun dan ranting ini lebih berat dibandingkan sebelumnya. Baru lima langkah, rasanya tenagaku habis. Kuteguk setengah botol air nira. Satu botol sudah habis. Tinggal satu botol lagi. Aku berjalan terus, menembus dedaunan dan ranting yang mulai melukai kulitku. Jalannya semakin menurun, sementara dedaunan dan rantingnya semakin tebal saja. Kukuatkan tekadku untuk terus berjalan yang entah sampai dimana ujungnya. Yang aku rasakan makin lama makin menurun dan makin gelap. Sinar matahari nampaknya mulai sulit menembus rimbunnya dedaunan. Entah sudah berapa lama dan sudah berapa jauh aku melakukan itu. Tubuhku mulai kelelahan. Ini tidak sekedar berjalan biasa namun harus menembusi dedaunan rimbun dan ranting dengan segenap tenaga. Kuhabiskan satu botol air nira terakhir yang kupunya. Meski itu mengembalikan tenagaku, namun tidak berlangsung lama karena tenagaku kembali terkuras untuk menembusi dedaunan dan ranting yang mulai menggila banyaknya.
Tangan dan kakiku kini mulai gemetar. Nampaknya otot-ototku hampir mencapai batas maksimum. Untuk kembalipun rasanya tak mungkin. Yang bisa kulakukan hanya percaya naluriku untuk terus maju dan maju. Bahkan kini, kalaupun aku pingsan rasanya tidak mungkin terjatuh mengingat tebalnya dedaunan dan ranting disekeliling tubuhku.
"Ayo... tubuhku... menguatlah... !", gumamku menyemangati diri sendiri.
Dalam kondisi seperti ini tidak ada yang bisa kulakukan selain menyemangati diri sendiri. Lidahku sudah mulai pahit. Keringatpun rasanya sudah kering di badan. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Sekilas kulihat warna kuning mulai banyak terlihat, lalu berganti hitam, lalu kuning lagi. Aku tahu, ini adalah reaksi saat seseorang sudah dalam titik kritis kesadaran dirinya. Jalanku mulai melambat, sangat melambat.