"Paman tidak perlu tahu darimana aku belajar Guntur Geni. Aku hanya tidak suka paman berbuat semena-mena terhadap orang lain. Mempergunakan ilmu yang tidak pada tempatnya!", jawabku singkat.
"Heh bocah! Apa urusanmu? Ini urusanku. Aku mau melakukan apa saja juga terserahku!", jawab laki-laki paruh baya itu dengan kasar.
Tapi tampaknya ia mulai waspada dan memperhatikanku. Ia mulai tampak serius.
Tidak seperti tadi.
Justru ini yang aku takutkan.
Sebelumnya, aku berhasil menangkis Pasir Wutah yang dilontarkannya. Semata-mata karena laki-laki paruh baya di depanku ini menganggapku remeh sehingga berkuranglah daya pukulannya. Aku jadi punya celah untuk menghantam balik. Dan benar saja, ia terhantam. Meski tidak telak.
Tapi tampaknya tidak setelah ini. Entah, apakah aku punya kesempatan kedua atau tidak.
Laki-laki ini terlihat sangat waspada setelah tahu aku bisa melepaskan Guntur Geni.
Kewaspadaanku jadi semakin meningkat.
Perlahan, aku menghirup nafas halus. Diam-diam kukerahkan Krei Wojo. Aliran energi dibawah pusar kupecah kekanan dan kekiri. Kemudian kugabungkan kembali, hingga naik ke tengah dahi. Saat memecah tadi, sebagiannya keluar dari pinggang kanan dan pinggang kiri, lalu kubentuk medan segitiga hingga ke tengah dahi. Bertemu dengan aliran tenaga yang kuarahkan kesitu. Melebur, menjadi satu. Tubuhku kini terselimuti oleh medan segitiga energi Krei Wojo.
Benar saja. Tidak berapa lama, laki-laki paruh baya didepanku langsung melompat cepat ke arahku.