Perasaan gundah dan cemas kembali menghantui perasaanku. Aku berusaha untuk tenang sambil terus berdo’a mohon keselamatan dari Allah SWT. Kalo dalam kondisi normal, setiap saya bepergian ke luar kota, tentu tidak lupa membawa buah tangan untuk keluarga, tapi dalam kondisi seperti itu, sama sekali tidak berpikir tentang oleh-oleh, bisa pulang dengan selamat saja sudah sangat bersyukur.
Alhamdulillah, perjalanan pulang itu pun dapat kulalui dengan selamat. Aku dapat bertemu kembali dengan anak-istriku. Tapi pengalaman itu nyaris membuatku trauma untuk melakukan perjalanan ke luar daerah. Hampir dua tahun berikutnya saya tidak pernah pergi ke luar daerah, sampai akhirnya fajar perdamaian terbit di bumi Serami Mekkah. Pasca penandatangan MoU antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, kondisi keamanan berangsur normal.
Sebuah nikmat luar biasa yang harus senantiasa disyukuri, apalagi bagi orang-orang yang pernah mengalami trauma akibat konflik berkepanjangan itu. Meski kejadian yang kualami sudah lebih sepuluh tahun yang lalu, ingatan itu masih tetap lekat di benakku, apalagi setelah perjalanan itu, saya juga sering menyaksikan sendiri kejadian-kejadian tragis dampak dari konflik Aceh. Saya selalu berdo’a, dan mungkin semua warga Aceh juga memanjatkan do’a yang sama, semoga kejadian, peristiwa dan konflik yang terjadi di daerah yang kini menerapkan syariat Islam itu tidak akan pernah terulang lagi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H