Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Traumaku bersama KTP “Simalakama”

26 November 2015   11:21 Diperbarui: 26 November 2015   21:02 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - KTP merah putih (sumber: news.liputan6.com)

Masa konflik sosial yang berkembang menjadi konflik bersenjata di Aceh pada tahun 2000 sampai 2004 adalah masa-masa yang sangat tidak nyaman bagi semua warga yang tinggal di provinsi berjuluk Serambi Mekkah ini. Konflik yang awalnya merupakan konflik vertikal antara pemerintah pusat dengan sebagian warga Aceh yang menuntut hak mereka, tapi karena win-win solution tidak kunjung didapat, akhirnya konflik tersebut berkembang menjadi konflik horizontal yang berdampak kepada seluruh masyarakat di provinsi Aceh.

Sekitar tahun 2001, ketika Megawati menjabat sebagai Wakil Presiden terpilih mendampingi KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dia pernah datang ke Aceh dan berjanji untuk segera menyelesaikan konflik Aceh secara bermartabat, bahkan sambil mencucurkan air matanya, dia menyebut dirinya sebagai “Cut Nyak” yang katanya paling merasakan derita warga Aceh.

Tapi janji tinggallah janji, ketika kemudian Gus Dur dilengserkan oleh MPR akhir tahun 2002 yang lalu dan Mbak Mega naik menggantikan posisi sebagai presiden, bukan solusi bermartabat yang jadi kebijakan si “Cut Nyak”. Bahkan dia mengambil kebijakan keras dengan penerapan Darurat Militer di seluruh wilayah Aceh, tentu saja itu bukan solusi bijak, karena menyelesaikan masalah Aceh secara militer, bukan jadi solusi, justru semakin memperparah keadaan.

Dampak dari penerapan Darurat Militer di Aceh kemudian dirasakan oleh semua warga yang tinggal di provinsi ini, semua warga diwajibkan untuk jaga massal setiap malam, dan yang melanggar akan berhadapan dengan aparat yang waktu itu diberi kewenangan yang sangat besar. Sementara konflik bukannya semakin mereda tapi justru semakin “membara”, konfrontasi terbuka antara aparat TNI dan Polri dengan kelompok bersenjata sering terjadi di tengah-tengah masyarakat, tentu saja yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat yang tidak bersenjata.

Rasa aman menjadi barang langka dan mahal. Kehidupan ekonomi masyarakat morat-marit akibat warga tidak dapat bekerja secara optimal, jalur transportasi dan distribusi terganggu, dan warga hidup dalam cekaman rasa takut yang sudah sangat akut.

Masyarakat yang kehidupannya semakin “terjepit” kemudian malah ditambah dengan kebijakan yang bersifat doktrin yang tidak bisa disanggah. Kartu Tanda Penduduk diganti dengan KTP “aneh” yang hanya pernah ada di bumi Aceh. KTP selebar buku nikah itu kemudian diberi nama KTP “Merah Putih” karena memang kartu identitas itu berwarna merah putih seperti warna bendera Indonesia.

Memegang KTP seperti itu serasa sudah “menggadaikan” nyawa. Bagaimana tidak? Masyarakat yang tidak mengantongi KTP tersebut akan selalu berurusan dengan aparat keamanan yang tidak jarang berakhir dengan kekerasan fisik. Namun, pemegang KTP itu pun tidak merasa aman ketika suatu waktu bertemu atau berhadapan dengan kelompok yang berseberangan dengan aparat keamanan. KTP Merah Putih itu benar-benar menjadi simalakama bagi masyarakat.

Saya punya pengalaman dengan KTP “aneh” ini yang nyaris tidak terlupakan. Sekitar bulan Mei tahun 2003, hanya sehari setelah mengantongi KTP itu. Kebetulan saya mendapat tugas untuk mengikuti Bimbingan Teknis (Bintek) Mutu Hasil Pertanian, sebuah kegiatan semacam workshop yang diselenggarakan oleh Departemen Pertanian. Bintek regional yang diikuti oleh peserta dari seluruh Sumatera itu digelar di Berastagi, Sumatera Utara, karena memang sudah perintah, mau tidak mau ya harus saya laksanakan. Perjalanan menuju Berastagi waktu itu bukanlah perjalanan yang mudah, penuh tantangan dan ancaman akan keselamatan.

Saya menghubungi travel armada L-300 yang dengan trayek Takengon – Medan untuk memesan tempat. Kalo dalam situasi normal dan aman, biasanya angkutan umum itu melintasi jalur Takengon – Bireuen – Lhokseumawe – Langsa – Medan, tapi kondisi jalur Pantura saat itu bukanlah jalur yang aman untuk dilalui, sering kontak senjata atau pencegatan terjadi secara tiba-tiba di jalur itu, bahkan beberapa mobil angkutan yang “nekat” banyak yang kemudian dibakar, entah oleh siapa.

Tak heran jika kemudian, para pengusaha angkutan di Takengon memilih jalur alternatif yang katanya lebih relatif aman, yaitu jalur Takengon – Blang Kejeren – Kutacane – Medan. Karena ketatnya peraturan keamanan waktu itu, setiap warga yang ingin keluar daerah harus melapor kepada aparat keamanan. Maka saya pun melapor ke Koramil terdekat. Berbekal KTP Merah Putih itu, tidak banyak pertanyaan yang harus saya jawab.

Berpamitan untuk berangkat ke Berastagi diiringi air mata istri waktu itu bukanlah pemandangan aneh karena kondisi keamanan saat itu memang tidak menjamin setiap yang berangkat ke luar daerah akan kembali dengan selamat. Meski dengan perasaan berat, saya tetap berangkat melaksanakan tugas itu. Lintasan Takengon – Blang Kejeren waktu itu bukanlah lintasan yang nyaman untuk dilalui. Jalanan sempit dan berliku, menanjak dan menurun dengan tikungan tajam yang di kanan-kirinya dipenuhi semak, ditambah kondisi aspal yang rusak, menambah ketidaknyamanan perjalanan itu.

Sepanjang perjalanan, pos-pos kemanan berdiri rapat, hanya berselang antara 5–10 kilometer dari satu pos ke pos lainnya. Semua kendaraan yang melintasi jalur itu harus berhenti di setiap pos untuk menjalani pemeriksaan, semua penumpang diturunkan dan diperiksa satu per satu.

Beruntung juga, KTP Merah Putih yang saya kantongi membuat saya tidak mengalami hambatan dalam pemeriksaan di pos-pos keamanan itu. Tapi rasa was-was selalu timbul begitu melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan pos aparat, melintasi kawasan hutan yang sepi mencekam, konon di kawasan sepi itu sering terjadi penjegatan oleh kelompok tertentu. Dalam kondisi demikian, mengantongi KTP Merah Putih di saku baju, tentu bisa jadi “bencana”.

Maka saya memilih jalan aman, menyembunyikan KTP simalakama itu di (maaf) celana dalam dan begitu dari kejauhan sudah terlihat pos aparat keamanan, buru-buru saya mengeluarkan KTP itu dari tempat “pesembunyian”nya. Suasana perjalanan yang sangat mencekam itu berlangsung sampai dengan memasuki Kutacane, ibu kota kabupaten Aceh Tenggara. Selama perjalanan nyaris tidak ada penumpang yang berbicara. Semua terdiam tenggelam dalam do’a. Sebagian penumpang saya lihat membaca buku kecil berisi Surat Yasin.

Ada satu peristiwa dalam perjalanan itu yang hampir membuat jantungku copot. Di sebuah tikungan di kawasan hutan di wilayah perbatasan Gayo Lues dengan Aceh Tenggara, kendaraan yang kami tumpangi dihentikan sekelompok orang bersenjata. Semua penumpang laki-laki disuruh turun dan membuka baju. Untungnya mereka tidak menyuruh membuka celana. Kalo saja itu terjadi dan KTP yang kusembunyikan di dalam “segitiga pengaman” itu ketahuan, saya tidak tau apa yang akan terjadi waktu itu.

Alhamdulillah, meski rata-rata wajah mereka terlihat “sangar”, mereka masih bisa diajak komunikasi dengan bahasa daerah sehingga tidak sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi itu sudah cukup membuat nyaliku menciut. Mungkin kalo waktu itu saya melihat wajahku di cermin, tentu wajah pucat pasi seperti kertas yang terlihat di sana.

Melewati Kutacane, perasaan saya sedikit lega. Jalanan yang lebar dan banyaknya perkampungan di sepanjang jalan membuatku agak tenang, meski rasa was-was tetap saja menggelayut dalam hati. Perasaan saya baru benar-benar plong ketika kendaraan yang kami tumpangi meninggalkan Lawe Pakam, daerah perbatasan Aceh Tenggara dengan Sumatera Utara. Sudah tidak ada lagi pos-pos aparat di sana, hanya sekali-sekali saja kendaraan kami diperiksa sekedarnya oleh aparat kepolisian yang berpatroli di jalan yang kami lintasi. Perjalanan yang dalam kondisi normal hanya memakan waktu sekitar 12 jam itu harus saya lalui selama hampir dua kali lipat dari waktu normal.

Tempat penyelenggaraan Bintek di Hotel Internasional Sibayak, Berastagi, membuat saya sejenak melupakan “trauma” selama perjalanan tadi. Di hotel bintang lima itu kemudian saya bisa melepaskan ketegangan selama perjalanan. Yang pertama saya lakukan adalah menghubungi istri lewat telepon hotel ke nomor hape tetangga, karena waktu itu masih jarang-jarang ada orang yang punya hape di kotaku, saya tidak ingin istri dan keluargaku terus “dihantui” kecamasan.

Tiga hari mengikuti bintek dengan jadwal padat ditambah kunjungan ke beberapa obyek pertanian di Kota Berastagi, sementara bisa membuatku melupakan sejenak apa yang sedang terjadi di daerahku.

Tapi begitu selesai acara Bintek, kecemasan dan kekhawatiran kembali menggelayut dalam jiwaku, karena mau tidak mau saya harus kembali ke rumah dengan perjalanan yang jauh dari rasa nyaman dan aman. Bayangan kejadian waktu berangkat begitu melekat dalam pikiranku, tapi aku harus tetap pulang, karena istri dan anak-anakku pasti sudah menungguku dengan perasaan yang tidak kurang cemasnya. Jalur pantura masih tetap menjadi jalur yang sangat tidak aman, maka perjalanan pulang harus melewati jalur yang sama dengan keberangkatanku.

Sama seperti waktu berangkat, begitu melewati Kutacane ke arah Blang Kejeren, saya harus bersiap-siap dengan “strategi” kemarin, menyembunyikan KTP di tempat “aman” dan segera mengeluarkannya ketika berhenti di pos aparat. Syukurlah, perjalanan pulang kali ini tidak mengalami kejadian-kejadian luar biasa. Hanya ketika pemeriksaan di pos terakhir di Kabupaten Gayo Lues, aparat mengingatkan kami bahwa baru saja terjadi kontak senjata di perbatasan Gayo Lues dengan Aceh Tengah yang harus kami lewati, karena itu satu-satunya jalan menuju Takengon.

Perasaan gundah dan cemas kembali menghantui perasaanku. Aku berusaha untuk tenang sambil terus berdo’a mohon keselamatan dari Allah SWT. Kalo dalam kondisi normal, setiap saya bepergian ke luar kota, tentu tidak lupa membawa buah tangan untuk keluarga, tapi dalam kondisi seperti itu, sama sekali tidak berpikir tentang oleh-oleh, bisa pulang dengan selamat saja sudah sangat bersyukur.

Alhamdulillah, perjalanan pulang itu pun dapat kulalui dengan selamat. Aku dapat bertemu kembali dengan anak-istriku. Tapi pengalaman itu nyaris membuatku trauma untuk melakukan perjalanan ke luar daerah. Hampir dua tahun berikutnya saya tidak pernah pergi ke luar daerah, sampai akhirnya fajar perdamaian terbit di bumi Serami Mekkah. Pasca penandatangan MoU antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, kondisi keamanan berangsur normal.

Sebuah nikmat luar biasa yang harus senantiasa disyukuri, apalagi bagi orang-orang yang pernah mengalami trauma akibat konflik berkepanjangan itu. Meski kejadian yang kualami sudah lebih sepuluh tahun yang lalu, ingatan itu masih tetap lekat di benakku, apalagi setelah perjalanan itu, saya juga sering menyaksikan sendiri kejadian-kejadian tragis dampak dari konflik Aceh. Saya selalu berdo’a, dan mungkin semua warga Aceh juga memanjatkan do’a yang sama, semoga kejadian, peristiwa dan konflik yang terjadi di daerah yang kini menerapkan syariat Islam itu tidak akan pernah terulang lagi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun