Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Traumaku bersama KTP “Simalakama”

26 November 2015   11:21 Diperbarui: 26 November 2015   21:02 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpamitan untuk berangkat ke Berastagi diiringi air mata istri waktu itu bukanlah pemandangan aneh karena kondisi keamanan saat itu memang tidak menjamin setiap yang berangkat ke luar daerah akan kembali dengan selamat. Meski dengan perasaan berat, saya tetap berangkat melaksanakan tugas itu. Lintasan Takengon – Blang Kejeren waktu itu bukanlah lintasan yang nyaman untuk dilalui. Jalanan sempit dan berliku, menanjak dan menurun dengan tikungan tajam yang di kanan-kirinya dipenuhi semak, ditambah kondisi aspal yang rusak, menambah ketidaknyamanan perjalanan itu.

Sepanjang perjalanan, pos-pos kemanan berdiri rapat, hanya berselang antara 5–10 kilometer dari satu pos ke pos lainnya. Semua kendaraan yang melintasi jalur itu harus berhenti di setiap pos untuk menjalani pemeriksaan, semua penumpang diturunkan dan diperiksa satu per satu.

Beruntung juga, KTP Merah Putih yang saya kantongi membuat saya tidak mengalami hambatan dalam pemeriksaan di pos-pos keamanan itu. Tapi rasa was-was selalu timbul begitu melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan pos aparat, melintasi kawasan hutan yang sepi mencekam, konon di kawasan sepi itu sering terjadi penjegatan oleh kelompok tertentu. Dalam kondisi demikian, mengantongi KTP Merah Putih di saku baju, tentu bisa jadi “bencana”.

Maka saya memilih jalan aman, menyembunyikan KTP simalakama itu di (maaf) celana dalam dan begitu dari kejauhan sudah terlihat pos aparat keamanan, buru-buru saya mengeluarkan KTP itu dari tempat “pesembunyian”nya. Suasana perjalanan yang sangat mencekam itu berlangsung sampai dengan memasuki Kutacane, ibu kota kabupaten Aceh Tenggara. Selama perjalanan nyaris tidak ada penumpang yang berbicara. Semua terdiam tenggelam dalam do’a. Sebagian penumpang saya lihat membaca buku kecil berisi Surat Yasin.

Ada satu peristiwa dalam perjalanan itu yang hampir membuat jantungku copot. Di sebuah tikungan di kawasan hutan di wilayah perbatasan Gayo Lues dengan Aceh Tenggara, kendaraan yang kami tumpangi dihentikan sekelompok orang bersenjata. Semua penumpang laki-laki disuruh turun dan membuka baju. Untungnya mereka tidak menyuruh membuka celana. Kalo saja itu terjadi dan KTP yang kusembunyikan di dalam “segitiga pengaman” itu ketahuan, saya tidak tau apa yang akan terjadi waktu itu.

Alhamdulillah, meski rata-rata wajah mereka terlihat “sangar”, mereka masih bisa diajak komunikasi dengan bahasa daerah sehingga tidak sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi itu sudah cukup membuat nyaliku menciut. Mungkin kalo waktu itu saya melihat wajahku di cermin, tentu wajah pucat pasi seperti kertas yang terlihat di sana.

Melewati Kutacane, perasaan saya sedikit lega. Jalanan yang lebar dan banyaknya perkampungan di sepanjang jalan membuatku agak tenang, meski rasa was-was tetap saja menggelayut dalam hati. Perasaan saya baru benar-benar plong ketika kendaraan yang kami tumpangi meninggalkan Lawe Pakam, daerah perbatasan Aceh Tenggara dengan Sumatera Utara. Sudah tidak ada lagi pos-pos aparat di sana, hanya sekali-sekali saja kendaraan kami diperiksa sekedarnya oleh aparat kepolisian yang berpatroli di jalan yang kami lintasi. Perjalanan yang dalam kondisi normal hanya memakan waktu sekitar 12 jam itu harus saya lalui selama hampir dua kali lipat dari waktu normal.

Tempat penyelenggaraan Bintek di Hotel Internasional Sibayak, Berastagi, membuat saya sejenak melupakan “trauma” selama perjalanan tadi. Di hotel bintang lima itu kemudian saya bisa melepaskan ketegangan selama perjalanan. Yang pertama saya lakukan adalah menghubungi istri lewat telepon hotel ke nomor hape tetangga, karena waktu itu masih jarang-jarang ada orang yang punya hape di kotaku, saya tidak ingin istri dan keluargaku terus “dihantui” kecamasan.

Tiga hari mengikuti bintek dengan jadwal padat ditambah kunjungan ke beberapa obyek pertanian di Kota Berastagi, sementara bisa membuatku melupakan sejenak apa yang sedang terjadi di daerahku.

Tapi begitu selesai acara Bintek, kecemasan dan kekhawatiran kembali menggelayut dalam jiwaku, karena mau tidak mau saya harus kembali ke rumah dengan perjalanan yang jauh dari rasa nyaman dan aman. Bayangan kejadian waktu berangkat begitu melekat dalam pikiranku, tapi aku harus tetap pulang, karena istri dan anak-anakku pasti sudah menungguku dengan perasaan yang tidak kurang cemasnya. Jalur pantura masih tetap menjadi jalur yang sangat tidak aman, maka perjalanan pulang harus melewati jalur yang sama dengan keberangkatanku.

Sama seperti waktu berangkat, begitu melewati Kutacane ke arah Blang Kejeren, saya harus bersiap-siap dengan “strategi” kemarin, menyembunyikan KTP di tempat “aman” dan segera mengeluarkannya ketika berhenti di pos aparat. Syukurlah, perjalanan pulang kali ini tidak mengalami kejadian-kejadian luar biasa. Hanya ketika pemeriksaan di pos terakhir di Kabupaten Gayo Lues, aparat mengingatkan kami bahwa baru saja terjadi kontak senjata di perbatasan Gayo Lues dengan Aceh Tengah yang harus kami lewati, karena itu satu-satunya jalan menuju Takengon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun