Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Bagaimana “Membaca” Curah Hujan, Banjir dan Longsor

23 Oktober 2015   14:40 Diperbarui: 13 Oktober 2022   21:22 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: sejumlah petugas gabungan mengevakuasi korban jiwa di rumah-rumah yang rusak akibat banjir dan longsor di dua kecamatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu (25/6/2022). (Foto: KOMPAS.COM/AFDHALUL IKHSAN) 

(Berbagi Pengalaman Dari Sekolah Lapang Iklim BMKG)

Pada saat di beberapa wilayah Sumatera, Jawa dan Kalimantan sedang dilanda kekeringan seperti saat ini, justru di wilayah Aceh, khususnya di bagian tengah, curah hujan nyaris melanda daerah ini sepanjang tahun. 

Bahkan, memasuki bulan Oktober, 2015, intensitas curah hujan semakin meningkat dan masuk kategori di atas normal. Tingginya curah hujan di wilayah tengah Aceh dalam dua minggu terakhir ini juga telah berdampak terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di empat kabupaten yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara. 

Beberapa ruas jalan tertimbun longsor sehingga arus transportasi yang menghubungkan keempat daerah tersebut dengan daerah lainnya terganggu, begitu juga banjir bandang yang melanda daerah ini juga teah menimbulkan kerusakan infra struktur jalan dan jembatan, pemukiman warga dan ratusan hektare lahan pertanian.

Menyikapi tingginya intensitas curah hujan dalam bulan Oktober 2015 ini, kembali mengingatkan saya ketika saya mengikuti Sekolah Lapang Iklim yang diselenggarakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada tahun 2011 yang lalu. 

Dalam kegiatan sekolah lapang yang diikuti oleh para petugas pengamat curah hujan dan beberapa kelompok tani tersebut, para peserta di ajarkan bagaimana “membaca” kondisi iklim dan cuaca serta dampaknya dalam bentuk simulasi, sehingga dapat langsung diterapkan untuk mengamati gejala alam tersebut secara langsung dengan melakukan pengamatan terhadap kondisi di lapangan.

Bagaiamana “membaca” curah hujan?

Curah hujan biasanya di amati dan di ukur intensitasnya dengan menggunakan alat penakar curah hujan baik yang bersifat manual. 

Sekilas, penggunaan alat penakar curah hujan tersebut hanya berfungsi untuk menghitung berapa curah hujan yang terjadi di lokasi tempat terpasangnya alat penakar curah hujan tersebut. 

Data yang tercatat dari hasil pengukuran setiap hari kemudian dikirimkan secara berkala ke BMKG untuk dijadikan dasar menyusun anlisis dan prakiraan curah hujan pada bulan berikutnya.

Namun dari hasil simulasi dalam sekolah lapang iklim, kemudian memberikan gambaran yang lebih luas tentang bagaimana membaca curah hujan di suatu daerah. 

Pada prinsipnya jumlah curah hujan yang tercatat dari alat penakar curah hujan di suatu tempat, dapat mewakili area dengan radius 5 – 10 km dari tempat terpasangnya alat tersebut. 

Artinya ketika curah hujan tercatat dari alat tersebut menunjukkan angka tertentu, itu berarti curah hujan di daerah sekitarnya juga memiliki intensitas yang sama dengan hasil pengukuran tersebut, lalu bagaimana cara “membaca” curah hujan dalam area di sekitar alat penakar curah hujan?.

Alat penakar curah hujan yang sudah diciptakan sedemikian rupa dengan diameter penampang yang sesuai dengan standar pengukuran BMKG, sejatinya dapat mewakili area di sekitarnya dengan perbantingan tetap, yaitu setiap millimeter kubik (mm) yang tercatat dalam alat tersebut menunjukkan bahwa dalam area satu meter persegi wilayah tersebut mendapat curah hujan sebesar 100 mm atau 1 liter air.

Sebagai contoh, ketika hasil pengukuran dari alat penakar curah hujan menunjukkan angka 10 mm dalam satu hari, itu berarti untuk setiap meter persegi area di sekitarnya, menampung curah hujan sebesar 1.000 mm atau 10 liter air hujan.

Berarti untuk luas area 1 hektare atau 10.000 meter persegi, terdapat curah hujan sebesar 10.000.000 mm setara dengan 100.000 liter atau 100 meter kubik, itu baru curah hujan sebesar 1 mm, bagaiman jika curah hujan mencapai 50 atau 100 mm. Untuk luasan yang lebih dari itu, tinggal dikalikan dengan kelipatannya.

Selanjutnya curah hujan hujan yang tertampung dalam area tersebut, sebagian akan terserap oleh tanah sesuai dengan jenis tanah dan vegetasi yang ada di tasa permukaan tanah tersebut, sebagian lagi akan mengalir ke tempat yang memiliki permukaan lebih rendah. 

Jika di wilayah tersebut terdapat tempat aliran air seperti parit, selokan dan salauran pembuangan air dengan drainase baik, maka air akan segera mengalir menuju sungai dan genangan air akan segera lenyap dari daerah tersebut. Tapi jika drainase tidak baik seperti saluran air yang tertutup sampah atau sediemen lumpur, maka air tentu akan menggenangi, ini yang kemudian akan menimbulkan banjir jika mencakup area yang luas.

Bagiama banjir dan longsor terjadi?

Simulasi tentang alur curah hujan mulai dari permukaan tanah sampai akhirnya dialirkan melalui sungai-sungai sampai ke muara menunjukan bahwa penyerapan air dari permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh jenis dan sifat tanah, tingkat kemiringan serta vegetasi yang ada di atas permukaan tanah tersebut.

Dalam simulasi pertama dicontohkan curah hujan yang terjadi pada permukaan tanah dengan beberapa jenis tanah. Untuk jenis tanah yang cenderung berpasir, hampir 90 % curah hujan yang menggenangi permukaan tanah akan cepat terserap ke bawah permukaan, resapan air tersebut kemudian akan tersimpan dalam tanah.

Tapi untuk kondisi tanah berlempung atau cenderung liat, air akan lebih lama menggenang, karena yang akan terserap oleh tanah hanya sekitar 10 -20% saja dan jika intensitas curah huannya terus bertambah, maka permukaan tanah tidak akan mampu menampung air hujan tersebut dan akan meluap ke area di sekitarnya, dan ini menjadi awal terjadinya banjir. 

Jika itu mencakup area yang luas dengan intensitas curah hujan tinggi dalam waktu lama, akan berdampak pada kerusakan infrastruktur, pemukiman dan areal pertanian.

Dalam simulasi kedua yang mencontohkan tingkat kemiringan tanah, pergerakan air hujan di permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiringan tanah. 

Pada area dengan tingkat kemiringan 0 – 5% atau datar, nyaris tidak terjadi pergerakan air, kecuali melalui serapan tanah atau aliran air melalui saluran-saluran pembuangan. 

Tapi pada area dengan kemiringan di 15 - 30%, air hujan yang jatuh ke permukaan tanah, hampir 60%nya akan mengalir ke area yang memiliki permukaan lebih rendah, sedangkan pada daerah yang kemiringan tanahnya lebih curam (di atas 30%).

Hampir 90% air hujan yang ada di permukaan tanah akan mengalir ke area dengan permukaan tanah lebih rendah, ini bisa menyebabkan genangan bahkan luapan air yang berpotensi menjadi banjir di area yang lebih rendah permukaaannya.

Namun demikian, alur air hujan pada lahan-lahan miring dapat dikendalikan dengan adanya vegetasi tumbuh-tumbuhan yang berada di atas permukaan lahan miring tersebut. 

Dalam simulasi dengan contoh lahan miring dengan vegetasi hutan lebat, hampir 90% air hujan turun di area tersebut akan tertahan oleh vegetasi yang ada, dan hanya 10% saja yang kemudian akan mengalir ke area yang lebih rendah. Kondisi riil di alam terbuka juga menunjukkan hal yang sama, pada daerah perbukitan dengan vegetasi hutan lebat.

Hanya sedikit sekali peluang terjadinya banjir, karena selain sebagian besar curah hujan tertahan dan tersimpan dalam serensah hutan, sisa air yang tidak tertahan oleh vegetasi juga masih dapat tertampung dan akan mengalir melalui sungai-sungai kecil yang ada di sekitar hutan dengan aliran normal.

Pada kawasan dengan vegetasi hutan sedang, air hujan yang akan tertahan oleh vegetasi bisa mencapai 60 - 70%nya dan 30% sisanya akan mengalir ke permukaan yang lebih rendah, dalam kondisi curah hujan normal, mungkin tidak akan menimbulkan dampak yang merugikan.

Tapi yang paling parah adalah area dengan vegetasi minim atau lebih populer disebut gundul, hampir seluruh curah hujan (lebih dari 90%) akan meluncur deras menuju daerah dengan permukaan tanah yang lebih rendah. 

Bayangkan saja, jika di suatu daerah ada sebuah perbukitan gundul seluas 10 hektare saja, kemudian terjadi curah hujan dengan intensitas 50 mm (sedang), maka air yang akan “menyerbu” daerah di bawahnya adalah sebanyak 5.000.000 mm kubik atau 5.000 meter kubik. 

“Tendangan” air dengan volume tersebut ditambah kecepatan meluncur yang bisa mencapai 100 km per jam dari permukaan miring, sudah bisa “meluluh lantakkan” puluhan hektar areal pertanian atau pemukiman warga. Bukan itu saja, air dalam volume besar dengan kecepatan meluncur tinggi, juga akan membawa serta material yang dilaluinya, seperti batang-batang kayu, batu dan lumpur, ini tentu akan memperparah daerah yang terkena terjangan banjir tersebut.

Pada daerah dengan kondisi tanah labil, “serbuan” air dari perbukitan gundul juga akan membawa serta tanah yang dilaluinya, ini yang kemudian menyebabkan terjadinya longsor. 

Sistem pengelolaan dan pengolahan lahan pertanian yang tidak memperhatikan kontor tanah perbukitan, juga menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya bencana ini, seharusnya pola usaha tani di daerah perbukitan harus menggunakan system sengkedan atau terassering, tapi ini jarang dilakukan oleh petani-petani kita.

Itu baru contoh suatu area dengah wilayah perbukitan seluas 10 hentare dan curah hujan 50 mm per hari, bagaimana jika terjadi di wilayah tengah Aceh yang didominasi perbukitan yang sangat luas yang sebagian besar sudah gundul? 

Apalagi intensitas curah hujan di daerah tersebut sekarang cenderung meningkat drastis? Maka pemandangan tragis tanah longsor yang menutup jalan-jalan utama, merusak pemukiman dan lahan pertanian, banjir bandang yang merendam ratusan hektar lahan pertanian, menghancurkan jalan dan jembatan, acap kita dengar di wilayah tengah Aceh belakangan ini, sebuah musibah yang tentu tidak kita inginkan, tapi terus saja terjadi.

Bagiamana mengatasinya?

Sebagaimana uraian di atas, bahwa curah hujan tinggi tidak akan menimbulkan dampak buruk jika vegetasi hutan tetap terjaga, drainase dan saluran air terawatt dengan baik, dan system pengelolaan lahan pertanian yang memperhatikan kontur tanah. 

Karena kita semua pasti tau bahwa Tuhan adalah Dzat yang Maha Adil, ketika Tuhan menciptakan gunung dan bukit-bukit, Dia juga menumbuhkan milyaran tanaman untuk menjaganya, ketika Tuhan menurunkan hujan, Dia juga menciptakan sungai-sungai untuk mengalirkan air itu sampai ke laut, ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia juga melengkapinya dengan akal dan fikiran, supaya manusia dapat menggunakan akal fikirannya untuk menjaga lingkungan.

Tapi keserakahan manusia, terkadang sering mengabaikan kelestarian alam, alasan ekonomi, pertambahan penduduk dan sulitnya lapangan kerja, sering menjadi pembenar untuk me”legalkan” perambahan hutan. 

Rendahnya kesadaran menjaga dan memelihara sungai, parit dan buruknya system drainase, juga menjadi pemicu terjadinya musibah. Sungai-sungai yang fungsi senebarnya adalah untuk menghantarkan air dari pegunungan ke laut, sering dilaha gunakan sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah, bantaran sungai yang mestinya steril, kemudian berubah menjadi kawasan pemukiman kumuh. 

Maka ketika Tuhan menurunkan hujan, tidak ada lagi hutan yang manhannya, tidak ada lagi sungai yang mengalirkan airnya, yang terjadi kemudian adalah longsor dan banjir dimana-mana.

Agaknya musibah yang terus terjadi dari tahun-tahun ini bisa jadi bahan renungan kita, untuk mampu berbuat “adil” terhadap alam. Kalaupun kita memang memutuhkan kayu untuk berbagai keperluan kita, mengapa kita tak mencoba menanamnya kembali, ketika kita butuh tempat untuk membuang sampah, kenapa kita mesti mebuangnya ke sungai-sungai. 

Tidak ada kata terlambat untuk melakukan sebuah kebaikan, misalnya saja ada kesadaran setiap warga yang mendiami kawasan tengah Aceh yang jumlahnya mungkin lebih dari satu juta jiwa ini untuk menanam sebatang pohon setiap bulannya, maka dalam setahun akan ada 12 juta batang pohon tertanam, dan dalam beberapa tahun kedepan mungkin tidak ada lagi bukit-bukit gundul di daerah ini. 

Curahan air hujan yang selama ini jadi “momok” akan berubah menjadi berkah dan rahmat, karena akan menjadi cadangan air untuk keberlangsungan usaha pertanian.

Pemerintah memiliki sarana, dan warga punya tenaga, mengapa tidak dicoba untuk bersinergi membersihkan sungai-sungai, parit dan selokan yang da di sekitar kita?, jawabannya kemali kepada kesadaran kita, karena tanpa adanya kesadaran kita, peraturan dan regulasi tentang lingkungan sebaik apapun tidak akan mampu menghentikan bencana. 

Pembelajaran bagi masyarakat melalui simulasi Sekolah Lapang Iklim, mungkin juga akan membantu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memperbaiki kualitas lingkungan, karena melalui pembelajaran dalam sekolah lapang tersebut, masyarakat akan mampu “membaca” fenomena alam, dan tenu saja akan berusaha untuk mencari solusi menghadapi gejala alam tersebut. 

Kalau hanya mengandalkan anggaran dari BMKG, tentu akan sangat terbatas cakupannya, agaknya kepedulian pemerintah kabupaten di wilayah tengah Aceh ini untuk mengalokasikan anggaran pembelajaran tentang fenomena alam bagi masyarakat memang menjadi sesuatu yang niscaya. Tapi kapan itu akan terwujud, Wallahu a’lam, semua tergantung dari I’tikad dan niat dari pihak-pihak terkait.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun