Saya pernah menulis tentang Mahar Politik dan Implikasinya di surat kabar online maupun di salah satu tulisan buku saya.
Mahar politik ini akan menarik lagi untuk dibahas menjelang Pemilu langsung Presiden dan wakil Presiden maupun di Pemilihan Kepala Daerah. Walaupun sejatinya persoalan mahar politik ini disinyalir sudah terjadi sejak lama.
Isu 'mahar' politik ini juga semakin menegaskan bahwa Pilpres dan Pilkada langsung tergolong high cost, nilainya bisa mencapai belasan hingga puluhan miliar untuk menjadi Presiden dan atau kepala daerah---bupati dan walikota---serta mencapai puluhan hingga ratusan miliar untuk menjadi gubernur.
Mahalnya cost Pilpres maupun Pilkada langsung berefek pada tindak korupsi yang dilakukan oleh para kepala daerah misalnya. Sekedar menyebut contoh sejak Pilkada langsung diimplementasikan tahun 2004 hingga 2022 saja, berdasarkan data dari KPK sebanyak 176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi. Rinciannya ada 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil yang juga berurusan dengan KPK.
Jumlah tersebut belum termasuk jumlah anggota DPRD. Karena ada 310 wakil rakyat juga yang terjerat kasus korupsi pada periode yang sama.
Hal ini disinyalir banyaknya pejabat daerah yang terjerat KPK salah satu faktornya adalah biaya politik yang mahal/high cost dalam Pilkada.
Sekarang berita tentang tertangkapnya kepala daerah---baik OTT maupun tidak---menjadi berita biasa dan tidak mengherankan di berbagai media masa.
Pro Kontra 'Mahar' Politik
Terma mahar sesungguhnya lekat dengan ajaran Islam terkait dengan pernikahan, oleh karena itu Zulkifli Hasan---Ketua Umum PAN---tidak sependapat dengan istilah ini. Mahar itu kalimat sakral, sehingga ini seolah-olah menyudutkan Islam, lebih tepat menggunakan kata suap politik, supaya lebih jelas tidak mengaburkan masalah.
Di kita memang sering dan lebih suka menggunakan eufemisme---penghalusan bahasa---dan ini lebih berbahaya, misalnya kelaparan disebut rawan pangan, kurang gizi disebutnya bawah garis merah dan seterusnya.
'Mahar' politik pada pandangan pengamat dinilai biasa terjadi, namun jarang terungkap karena ada kesepahaman antara partai politik dengan bakal calon, dan ini tidak berlaku bagi calon yang berelektabilitas tinggi dan kapabel.
Ada yang berpandangan 'mahar' politik tidak ada, yang ada adalah dana operasional yang diberikan oleh kandidat sebagai bagian dari urunan bersama saat konsolidasi, tapi ada yang tidak menampik karena itu sebuah kewajaran. Dengan menyebut contoh saksi di TPS memerlukan biaya, konsumsi dan transport, belum lagi untuk anggaran atribut kampanye dan lainnya yang tidak terhindarkan. Kesan bahwa Pilkada dengan biaya tinggi benar-benar menjadi realitas.
Dampak ikutan dari persoalan biaya tinggi ini adalah ketidaksempatan pemimpin terpilih---untuk tidak mengatakan tidak peduli---untuk memikirkan kesejahteraan rakyat, tetapi yang ada dalam benaknya bagaimana modal segera kembali dan dampak turunannya adalah sedemikian 'mahalnya' juga untuk menduduki jabatan kepala dinas/instansi/badan dan lainnya. Sementara pada saat yang sama banyak regulasi yang membentengi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Alih-alih bukan kesejahteraan, keselamatan, dan kemajuan untuk rakyat, banyak pemimpin di daerah (gubernur/bupati) yang berujung dipenjara. Saat ini, korupsi, kebocoran anggaran dan pelaksanaan pembangunan lebih parah dari masa Orde Baru.
Jika dulu korupsi terkonsentrasi di pemerintahan pusat, kini menjadi tersebar merata di semua lapisan birokrasi, baik dalam tugasnya melaksanakan pembangunan berbasis APBN/APBD demikian juga dalam hubungannya dengan pengusaha swasta.
Wakil ketua KPK, Ghufron mengatakan modal puluhan hingga ratusan miliar yang digelontorkan calon kepala daerah mengakibatkan proses politik menjadi transaksi bisnis.
Survei KPK bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) misalnya juga membuktikan untuk calon bupati/walikota dibutuhkan dana Rp. 20-30 miliar. Sedangkan untuk menjadi gubernur atau wakilnya dibutuhkan dana sekitar Rp. 100 miliar.
Hal ini menjadi sesuatu yang tidak rasional karena berbanding terbalik dengan gaji mereka selama lima tahun menjabat sebagai kepala daerah yang sangat jauh dengan pengeluaran ketika proses pemilu.
Ini yang kemudian mengakibatkan proses politik yang harusnya berbanding lurus dengan hati nurani tapi kemudian menjadi transaksi bisnis.
Bagi ICW isu maraknya 'mahar' politik yang bermunculan di Pilkada serentak pada 2018 yang lalu misalnya sangat memprihatinkan. ICW mensinyalir kontestasi Pilkada 2018 yang lalu 'diperjualbelikan' untuk kepentingan mendanai Pemilu 2019 dari sumber ilegal.
Oleh karena itu diperlukan sikap pro aktif Bawaslu untuk menindaklanjuti berbagai dugaan 'mahar' politik yang terjadi. Apalagi saat ini sanksi mengenai parpol yang meminta imbalan sudah diatur dalam Undang-Undang Pilkada, calon yang terbukti memberi 'mahar' bisa didiskualifikasi dan Parpolnya dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Bahkan, oknum di Parpol yang menerima imbalan bisa dipidana. Pada pandangan KPU, 'mahar' politik telah menciderai demokrasi, walaupun sulit untuk dibuktikan.
Hal yang tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi di Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 yang akan datang.
Absurditas Syahwat Kekuasaan
Salah satu buah penting dari reformasi menurut Azra adalah tersedianya ruang kebebasan yang kian terasa cenderung tak bertepi. Setiap suara, keinginan dan kepentingan memiliki hak yang sama untuk diaktualisasikan berbagai kalangan.
Namun suara itu akan menjadi riuh, keinginan akan menjadi gaduh, bahkan kepentingan akan berbuah rusuh, ketika upaya mewujudkannya dilakukan tanpa aturan.
Inilah yang kita saksikan belakangan ini terkait dengan aktualisasi kepentingan elite politik dan menguatnya aspirasi masyarakat yang cenderung tak terkendali. Politik menjadi pintu masuk pemuas hasrat meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Akibatnya, demokrasi mengalami deviasi karena tindakan dan aksi atas nama demokrasi tak jarang berujung anarki. Ini semua merupakan muara dari perilaku politik yang mengalir melampaui mekanisme dan sistem yang tertoreh dalam konstitusi dan tata tertib hukum (law and order).
Kekuasaan seringkali diterjemahkan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, melupakan tujuan sejatinya untuk mensejahterakan rakyat. Sehingga banyak 'penguasa' yang berujung dipenjara karena diawali oleh hasrat berkuasa dengan menghalalkan segala cara; penguasa yang hanya berorientasi pada kemegahan serta opportunity untuk menambah kekayaan semata dengan cara apapun ditambah mekanisme pemilihan 'penguasa' yang cenderung terlalu mahal dalam pemilu langsung. Yang suka tidak suka merupakan langkah awal bagi 'penguasa' untuk melakukan tindak korupsi dengan melihat realitas-normatif gaji seorang 'penguasa' yang sangat terbatas.
Referensi untuk mengabdi kepada umat, mensejahterkan rakyat dan menjadi pemimpin yang melayani---to servant---sudah dicontohkan oleh Muhammadiyah pada perhelatan Muktamar ke-48 lalu di Solo.
Belajar dari Muktamar Muhammadiyah; Tawaran Solusi
Muktamar Muhammadiyah di Solo yang ke-48 telah usai. Organisasi kemasyarakatan Islam modern ini telah memberikan teladan---prototype---dalam kegiatan berdemokrasi. Dalam konteks ini partai politik dan pemerintah bisa mengadopsi bagaimana seharusnya mengabdi untuk umat dan bangsa.
Tidak seperti Partai Politik, pemerintah, penegak hukum, KPU, Bawaslu, dan instrumen negara lainnya---bahkan ormas keagaamaan lainnya---Muhammadiyah benar-benar telah menunjukkan politik yang berkeadaban, bermoral dan berkemajuan. Politik tanpa mahar, tanpa uang, serta politik tanpa kegaduhan dan pertikaian. Politik pengabdian kepada umat.
Sangat wajar kalau kemudian pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin sampai mengatakan; Muhammadiyah telah menjadi mata air keteladanan dalam berorganisasi. Mata air yang menyirami kegersangan dalam keteladanan. Yang menjadi the ultimate goal Muhammadiyah adalah hanya mengabdi untuk umat, memajukan Indonesia dan mencerahkan semesta seperti tema besar yang diusungnya pada Muktamar di Solo yang ke-48 tersebut.
Ini penting untuk dikedepankan, sehingga dalam kontek Pemilu atau Pilkada Partai Politik harus bisa mengimplementasikan politik pada tataran yang bermoral tanpa uang mahar dan politik uang. Pemerintah dan KPU harus menggelar Pemilu/pesta rakyat dalam berdemokrasi dengan jujur dan adil. Jangan menggunakan kekuasaan negara untuk berbuat curang.
Muhammadiyah sudah membuktikan itu dan bisa. Kenapa negara dengan segala instrumennya tidak bisa?
Wallahu a'lam bi al-shawab
***
Oleh:Â Masduki Duryat
Penulis adalah dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H