'Mahar' politik pada pandangan pengamat dinilai biasa terjadi, namun jarang terungkap karena ada kesepahaman antara partai politik dengan bakal calon, dan ini tidak berlaku bagi calon yang berelektabilitas tinggi dan kapabel.
Ada yang berpandangan 'mahar' politik tidak ada, yang ada adalah dana operasional yang diberikan oleh kandidat sebagai bagian dari urunan bersama saat konsolidasi, tapi ada yang tidak menampik karena itu sebuah kewajaran. Dengan menyebut contoh saksi di TPS memerlukan biaya, konsumsi dan transport, belum lagi untuk anggaran atribut kampanye dan lainnya yang tidak terhindarkan. Kesan bahwa Pilkada dengan biaya tinggi benar-benar menjadi realitas.
Dampak ikutan dari persoalan biaya tinggi ini adalah ketidaksempatan pemimpin terpilih---untuk tidak mengatakan tidak peduli---untuk memikirkan kesejahteraan rakyat, tetapi yang ada dalam benaknya bagaimana modal segera kembali dan dampak turunannya adalah sedemikian 'mahalnya' juga untuk menduduki jabatan kepala dinas/instansi/badan dan lainnya. Sementara pada saat yang sama banyak regulasi yang membentengi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Alih-alih bukan kesejahteraan, keselamatan, dan kemajuan untuk rakyat, banyak pemimpin di daerah (gubernur/bupati) yang berujung dipenjara. Saat ini, korupsi, kebocoran anggaran dan pelaksanaan pembangunan lebih parah dari masa Orde Baru.
Jika dulu korupsi terkonsentrasi di pemerintahan pusat, kini menjadi tersebar merata di semua lapisan birokrasi, baik dalam tugasnya melaksanakan pembangunan berbasis APBN/APBD demikian juga dalam hubungannya dengan pengusaha swasta.
Wakil ketua KPK, Ghufron mengatakan modal puluhan hingga ratusan miliar yang digelontorkan calon kepala daerah mengakibatkan proses politik menjadi transaksi bisnis.
Survei KPK bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) misalnya juga membuktikan untuk calon bupati/walikota dibutuhkan dana Rp. 20-30 miliar. Sedangkan untuk menjadi gubernur atau wakilnya dibutuhkan dana sekitar Rp. 100 miliar.
Hal ini menjadi sesuatu yang tidak rasional karena berbanding terbalik dengan gaji mereka selama lima tahun menjabat sebagai kepala daerah yang sangat jauh dengan pengeluaran ketika proses pemilu.
Ini yang kemudian mengakibatkan proses politik yang harusnya berbanding lurus dengan hati nurani tapi kemudian menjadi transaksi bisnis.
Bagi ICW isu maraknya 'mahar' politik yang bermunculan di Pilkada serentak pada 2018 yang lalu misalnya sangat memprihatinkan. ICW mensinyalir kontestasi Pilkada 2018 yang lalu 'diperjualbelikan' untuk kepentingan mendanai Pemilu 2019 dari sumber ilegal.
Oleh karena itu diperlukan sikap pro aktif Bawaslu untuk menindaklanjuti berbagai dugaan 'mahar' politik yang terjadi. Apalagi saat ini sanksi mengenai parpol yang meminta imbalan sudah diatur dalam Undang-Undang Pilkada, calon yang terbukti memberi 'mahar' bisa didiskualifikasi dan Parpolnya dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Bahkan, oknum di Parpol yang menerima imbalan bisa dipidana. Pada pandangan KPU, 'mahar' politik telah menciderai demokrasi, walaupun sulit untuk dibuktikan.