Mohon tunggu...
Masduki Duryat
Masduki Duryat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya seorang praktisi pendidikan, berkepribadian menarik, terbuka dan berwawasan ke depan. Pendidikan menjadi concern saya, di samping tentang keagamaan dan politik kebijakan--khususnya di bidang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sex Education dalam Islam; Perdebatan dalam Tataran Implementatif

8 September 2022   08:51 Diperbarui: 8 September 2022   09:02 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sex Education dalam Islam;

Perdebatan dalam Tataran Implementatif

 

Oleh: 

Masduki Duryat*)

 

Pada tulisan saya tentang "Remaja Bercinta; Pahala Versus Dosa" (2016: 142) dengan mengutip pandangan Iif Wijayanto dalam Pemerkosaan Atas Nama Cinta (PANCI) Potret Muram Interaksi Sosial Kaum Muda dengan elegan menuturkan "Sadarkah anda, bahwa saat ini kita berhadapan dengan kampanye-kampanye sesat. 

Seks sedang dibumikan dengan jargon-jargon safe seks atau seks aman, seks is your choise (seks adalah pilihan anda). Atau juga anak muda berhak untuk menikmati seks, asalkan aman dan dilakukan dengan orang yang dicintainya".

Fenomena ini sangat menghawatirkan karena sedemikian gencarnya dipropagandakan, sehingga pacaran dan seks bebas menjadi bagian dari dunia remaja dan terjadi tidak hanya di dunia maya tetapi menjadi sebuah keniscayaan. 

Kampanye "Say No Seks Before Marriage", juga  menjadi semacam 'anjing menggonggong kafilah tetap berlalu' atau kalau kita tetap konsisten, akan ditinggal sendirian, dianggap 'orang asing' di tengah komunitas mereka yang menamakan dirinya 'modern'. 

Tetapi yakinlah "We always support you eventhough the world is not friendly again, keep istiqamah don't give up, good luck", sebagaimana SMS yang disampaikan kepada Iif Wijayanto.

Tatkala sebagian besar remaja kita telah mengklaim sebagai remaja modern, distorsi perilaku dan pelanggaran moral belum lagi surut (akumulasi dari problematika yang dialami remaja). 

Penggambaran gaya hidup remaja yang kontra moralitas kerap kita temui dan bahkan dipandang sebagai kewajaran pada sebuah masyarakat yang tengah mengalami 'kesakitan'.

Gaya Hidup Remaja; Hasil Survey

Saya ingin menyodorkan hasil penelitian Universitas Atmajaya Jakarta bulan Oktober 1994---walau sudah lama---di beberapa SMP, SMA dan SMK di Jakarta dinyatakan bahwa 9,9% dari 558 siswa yang menjadi responden mengaku telah berhubungan seks dengan teman sebaya setelah menonton film porno.

Hasil penelitian Sulistya Eka, pelajar SMPP 10 Yogyakarta  menyebutkan bahwa dari 461 pelajar yang mengisi angket, sebanyak 31,6% melakukan ciuman pada waktu pacaran, 21,6% meraba-raba organ tertentu milik pacarnya dan 12,7% mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya. Sementara itu Jawa Pos edisi 25 Mei 2003 mencatat sebuah polling dari 1.522 siswa SMU/SMK di Jakarta dan Surabaya bahwa rata-rata 10,4% pernah berhubungan seks di luar nikah dan 45% pernah wet kissing (ciuman basah).

Survey terhadap 190 siswa SMA/SMK di Bandung tentang alasan melakukan hubungan seks di luar nikah adalah 26% menyalurkan dorongan seks, 17% ungkapan cinta, 17% untuk kesenangan, 13% dipaksa pacar, 10% agar dianggap modern, 8% uji kemampuan/ keperawanan/perjaka, 5% mendapat imbalan, dan 3% mengatasi stress.

World Health Organization (WHO) memperkirakan dewasa yang ada di dunia memperkirakan 47% sudah terlibat dalam perilaku seks bebas. Angka ini juga sangat berkaitan dengan tingginya jumlah angka penderita Human Immuno Devesiancy Virus/ Aquered Immuno Deficiency Virus (HIV/AIDS) yang setiap tahunnya meningkat terus menerus. 

Terbukti pada tahun 2002 jumlah penderita diperkirakan 90.000 hingga 160.000 kasus. Angka ini semakin meningkat pada tahun 2006 antara 169.000 hingga 216.000 data akhir di bulan september menunjukan angka 6.987 dengan kasus baru (Kartono, 2008).

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)  Jawa Tengah juga melakukan survey pada tahun 2010 di Semarang tentang pengetahuan kesehatan  reproduksi menunjukkan 43,22% pengetahuannya rendah, 37,28% pengetahuan cukup, sedangkan 19,50% pengetahuannya memadai. 

Menurut survey PKBI Jawa Tengah tentang perilaku dewasa saat berpacaran menunjukkan saling mengobrol  100%, berpegangan tangan  93,3%,  mencium  pipi/kening 84,6%, berciuman bibir 60,9%, mencium leher 36,1%, saling meraba (payudara dan kelamin) 25%, dan melakuan hubungan seks 7,6% (Farid, 2005).

Menurut hasil penelitian Mentari (2008) dari seluruh responden sebanyak 533. Laki-laki 18,55% sudah pernah melakukan hubungan seks atau Intercourse. Mahasiswa yang melakukan oral seks 16,55 %, anal seks 7,35 %. Sedangkan yang memilih Petting untuk memuaskan nafsu seksual mereka 24,25%. 

Sementara perempuan  8,75% sudah pernah melakukan hubungan seks. Oral seks 7,75 %, anal seks 4,89%. Petting juga diminati, sebanyak 11,95% melakukan Petting. setengah dari mereka juga sering melakukan ciuman di  bibir yang memicu terjadinya hubungan seksual, laki-laki 50,7% dan perempuan 49,3%.

Handayani (2009) juga melakukan survey tentang perbedaan perilaku seksual mahasiswa laki-laki UNS yang tinggal di kos dan tidak tinggal di kos ditinjau dari interaksi teman sebaya, hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan rata-rata perilaku seksual antara mahasiswa yang tinggal di kos dan tidak kos artinya mahasiswa yang kos memiliki perilaku seksual yang lebih tinggi dari mahasiswa yang tidak kost. 

Hasil penelitian di kota Kandanghaur Indramayu juga membuktikan dari 630 responden yang nota benenya adalah remaja membuktikan sebanyak 9,31 % menjawab selalu, 55,06 % kadang-kadang dan 36,50 % tidak pernah.

Gaya hidup yang hedonis, makin permisif, serba instant yang mulai dianut para remaja kita, sungguh sangat menghawatirkan. Adalah sebuah keharusa kita berharap pada Lembaga Pendidikan untuk memagari dan menegaskan kembali perannya untuk memanusiakan manusia.  

Pendidikan; Jaring-Jaring Kemasyarakatan (as community networks).  

Dari fakta yang disebutkan di atas, bisa dimaknai bahwa tidak ada jalan lain untuk melakukan upaya preventif dari 'gerakan gaya hidup hedonis' adalah melalui pendidikan. Karena pendidikan---dalam hal ini agama---sejatinya merupakan proses pembentukan moral masyarakat---termasuk remaja beradab---yang tampil dengan wajah kemanusiaan yang normal. 

Kata lainnya, pendidikan agama adalah moralisasi masyarakat, terutama remaja. Pendidikan agama yang dimaksudkan di sini lebih dari sekedar sekolah (not only as schooling) melainkan pendidikan sebagai jaring-jaring kemasyarakatan (as community networks). 

Untuk memperkuat pandangan di atas adalah sangat bijak untuk mempertimbangkan hasil penelitian Ariyandini (2012) yang meneliti tentang perbedaan tingkat religiusitas dan sikap terhadap seks pranikah antara pelajar yang bersekolah di SMA umum dengan SMA berbasis agama. 

Hasil penelitian menyebutkan bahwa terdapat perbedaan sikap terhasap seks bebas antara pelajar SMA umum dengan SMA berbasis agama. Oleh karena itu untuk mengurangi efek atau dari pergaulan bebas maka diperlukan penanaman beragama yang baik dan pendidikan kesehatan yang menjelaskan tentang kesehatan reproduksi dan penyakit reproduksi.

Sehingga menurut Hanafri (2016) salah satu bidang yang dapat menyentuh semua lapisan masyarakat dalam penyampaian materi seksual adalah melalui pendidikan di sekolah. 

Karena pendidikan di sekolah memiliki fungsi sebagai alat penyadaran dan pembelajaran---walau secara khusus sex education belum diimplementasikan dalam kurikulum---tetapi penggunaan media informasi multimedia dalam dunia pendidikan dapat digunakan sebagai pembelajaran yang dapat membantu dalam proses pembelajaran.

Sex Education; Pentingkah?

Diskursus tentang sex education menjadi perdebatan panjang. Tidak semua sepakat, pada sebuah diskusi bahkan ada tokoh agama yang sampai pada tingkat kekhawatiran begitu tinggi dan dianggap tabu dengan asumsi bahwa secara psikologis pada diri anak (remaja) rasa ingin mencoba setelah ia tahu. 

Hasil survey misalnya membuktikan dari 35 anak dewasa muda di Makamhaji, ada 10 orang mengetahui tentang arti penting sex education bagi yang sudah menikah atau belum. 25 orang lainnya menganggap tabu untuk memperbincangkannya serta mementingkan karir dan pendidikan terlebih dahulu (Ibnu Mega Tirta, 2014).

Tetapi ada yang berpandangan bahwa sex education memiliki urgensitas yang dapat membentengi anak dan menjauhkannya dari tindakan pornografi, seks bebas dan pelecehan seksual yang sangat merugikan dan berdampak buruk dari sisi psikologis anak. 

Maka sangat perlu untuk diajarkan, anak harus tahu apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan---untuk sementara---supaya anak tidak terpedaya dan mudah tertipu, misalnya menjadi korban pelecehan seksual yang dapat berdampak besar bagi masa depannya.

Dalam konteks Islam misalnya, sejatinya dalam fiqh sudah sangat panjang lebar dibahas seperti pada bab 'Thaharoh' bagi anak perempuan ketika mengalami haid atau menstruasi; apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. 

Jika remaja puteri sudah mengetahui, maka ketika ia mengalami haid atau menstruasi pertama tidak akan stres tetapi sebaliknya dengan tenang akan melakukan tindakan yang diperbolehkan---bahkan memiliki rasa nyaman dalam melakukan tindakan dalam koridor agama---rasa nyaman berdampak positif bagi anak dari sisi psikologis.

Penulis berpandangan, secara spesifik sex education memiliki makna penting. Bagi anak bertujuan untuk mengetahui dan memahami identitas dirinya dan terlindung dari masalah seksual yang dapat berakibat buruk bagi anak. Pendidikan seks untuk anak pra sekolah lebih bersifat pemberian informasi berdasarkan komunikasi yang benar antara anak dan orang tua.

Sedangkan bagi remaja memiliki tujuan melindungi dari berbagai akibat buruk karena persepsi dan perilaku seksual yang keliru. Sementara untuk orang dewasa bertujuan agar dapat membina harmonisasi kehidupan seksualitas pasangan suami istri.

Dalam perspektif Islam, sejatinya sex education menjadi sesuatu yang sangat perlu dan tidak tabu untuk diperbincangkan. Apalagi materi-materi tentang sex education juga secara hati-hati diedukasi baik melalui lembaga formal sekolah maupun pesantren, misalnya bersuci setelah bersetubuh, keluar sperma, haid, nifas, melahirkan. Bahkan adab dalam bersenggama (jima'), menyusui, masturbasi, anal seks dan lainnya.

Dengan elegant dalam "Kisah-Kisah Romantis Rasulullah", Ahmad Rofi' Usmani menguraikan tentang kisah-kisah seputar hubungan dan etika seksual Nabi, kisah-kisah seputar upaya merawat cinta kasih Nabi dan beberapa hal lain yang mengisahkan dengan indah momen-momen mesra Nabi bersama keluarga.

Wallahu a'lam bi al-shawab.

 

*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun