Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

AlQuran: Langgam Jawa

20 Mei 2015   21:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:46 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

=================

Seiring perjalanan waktu, pesan Tuhan dalam alQuran yang berbahasa Arab, dan dilafazkan dengan dialek Arab-Quraisy bersentuhan dengan budaya lain yang bukan Arab, atau masih tetap Arab tetapi bukan Quraisy. Bagaimanapun, persentuhan dengan budaya dan bahasa yang berbeda, tidak dapat dihindari. Sebagaimana islam yang mengharuskan umatnya berda’wah kepada siapapun, maka alQuran akan bersentuhan dengan siapapun yang menerima islam sebagai agama. Persentuhan islam dengan masyarakat yang memiliki budaya yang berbeda, secara otomatis akan menyebabkan alQuran yang berbahasa Arab itu juga tersentuh dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Maka perbedaan budaya dan bahasa menyebabkan alQuran dibaca dengan cara yang berbeda-beda. Semakin jauh jarak masyarakat budaya yang melafalkan dengan masyarakat Arab, maka akan semakin berbeda dengan warna Arab yang melingkupi bacaan alQuran.

Perbedaan yang hampir menyebabkan perpecahan di tubuh umat islam, pernah terjadi pada zaman khalifah ke-3, Usman bin Affan. Ketika itu, penduduk Syam membaca al-Qur’an mengikuti gaya bacaan Ubay ibnu Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti gaya bacaan Abdullah Ibnu Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti gaya bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah perbedaan itu telah menjadi penyebab pertikaian sesama mereka. Satu sama lainnya saling mengkafirkan karena berbeda dalam bacaan.

Diriwayatkan dari Abi Qilabah: “Pada masa pemerintahan Utsman, seorang guru menyampaikan kepada anak didiknya, dan guru yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid tersebut saling bertemu dan membaca alQuran secara berbeda. Akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru, sehingga satu sama lain saling mengkafirkan. Berita tersebut sampai kepada Utsman. Lalu, Utsman berpidato dan seraya mengatakan: “Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih berbeda”.

Karena latar belakang kejadian tersebut, maka Utsman dengan kehebatan pendapatnya dan kebenaran pandangannya melakukan tindakan preventif, ibarat menambal pakaian yang sobek sebelum sobeknya meluas, dan mencegah penyakit sebelum sulit mendapat pengobatan. Ia mengumpulkan sahabat-sababat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan, disebab kan perbedaan dalam membaca alQuran.

Kemudian, mereka semua berpendapat agar Amirul Mu’minin menyalin dan memperbanyak mushhaf yang sudah disusun pada zaman Abu Bakar, yang saat itu disimpan di rumah Hafsah, anak Umar bin Khattab. Lalu mengirimkannya ke segenap daerah dan kota. Juga menginstruksikan agar orang-orang membakar mushhaf lain yang ada di tangan masyarakat. Sejak itu, tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur’an.

Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana, ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, yang hafalannya dapat diandalkan, yaitu: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-‘Ash dan Abdurrahman Ibnu Hisyam. Keempatnya dari suku Quraisy, dari golongan muhajirin, kecuali Zaid Ibnu Tsabit. Zaid adalah kaum Anshar. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini terjadi pada tahun kedua puluh empat hijrah.

Sisa-sisa masa lalu, sebelum alQuran resmi, mushhaf usmani diberlakukan, dapat dilihat jejaknya dalam qira’ah sab’ah yang mutawatir, ditambah tiga bacaan yang ahad dan satu yang gharib. Semua model bacaan yang tersisa sampai sekarang masih tetap dipelajari dan diakui kebenarannya. Karena semua bacaan itu masih berorientasi ke bacaan Arab Quraisy. Sedangkan yang jauh dari Arab Quraisy, tidak dapat kita ketahui lagi jejaknya. Alhamdulillah, dengan diberlakukan mushaf resmi oleh khalifah Usman, maka perselisihan dalam membaca alQuran yang berakibat perbedaan makna sudah selesai.

=================

Dengan demikian, langgam, irama atau irama lagu yang digunakan dalam pembacaan alQuran pada masa setelah berlaku mushaf resmi, sedikitpun tidak akan mengganggu otentisitas mushaf alQuran. Karena, dimanapun di dunia islam, hanya mushaf usmani itulah yang dibaca dan dipelajari. Tidak ada mushaf yang lain selain itu. Tidak ada sedikitpun perbedaan lafaz dalam tulisan, bahkan huruf sekalipun tidak berbeda.

Maka, perbedaan lagu dalam membaca, seperti diprakarsai oleh menteri agama, Lukman H. Syaifudin, yang mementaskan bacaan alQuran dengan langgam Jawa adalah sesuatu yang biasa. Bahkan sudah terjadi sejak lama di masyarakat kita. Hanya baru dilakukan di istana negara. Artinya, seperti diakui sendiri oleh pak menteri bahwa, beliau sekedar berupaya agar kekayaan irama nusantara dalam membaca alQuran tetap lestari dengan dihidupkan lagi. Jadi pak Lukman Hakim Syaifudin bukan mengada-ada, apa lagi membuat sesuatu yang baru. Sebagai umat islam, kita harus bangga dengan pak menteri yang memiliki ide kreatif terhadap pembacaan alQuran islam nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun