AlQuran pada tataran esoteris, tidak memiliki bentuk yang dapat dibayangkan dan dipikirkan. Jadi, jangan pernah menganggap firman Tuhan ini menggunakan bahasa manusia. Anggapan seperti itu, dapat merusak iman, karena menyamakan Tuhan dengan manusia. Pada tataran esoteris, yang ada hanyalah pesan Tuhan dalam arti makna substansial yang belum memiliki bentuk apapun, meskipun sudah benar-benar wujud.
Cukup kita katakan Allahu A’lam, hanya Allah yang tahu bentuk wujud hakikat alQuran di Lauh Makhfuz. Para ulama alQuran juga telah bersepakat mengatakan, “alQuran di sisi Tuhan la shoutan wa la harfan“, tidak dalam bentuk suara, juga huruf. Dengan kata lain, alQuran yang terpelihara di sisi Tuhan tidak dalam bentuk bahasa manusia. Akal manusia juga tidak akan dapat mencapai hakikat Kalam Tuhan yang ilahiyah. Manusia hanya diperintah mengimani wujudnya, dan dilarang memikirkan bentuknya, juga bahasanya.
Kalam Tuhan yang ilahiyah itu diwahyukan kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Dan, pewahyuan diumpama-kan proses melarutkan pesan Tuhan yang maknawi ke dalam hati dan jiwa nabi Muhammad saw, lengkap dengan redaksi bahasanya. Bahasa menjadi kemestian bagi wahyu, agar mudah dipahami manusia yang menjadi sasaran. Khusus untuk wahyu alQuran, pilihan kata dan bentuk kalimat sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan. Dengan redaksi bahasa yang tertentu itulah makna yang dimaksud akan utuh dan tidak berbeda, meskipun tidak mungkin untuk sama persis. Dengan redaksi bahasa manusia, maka nabi Muhammad saw dapat memahami secara utuh makna Kalam Tuhan yang diterimanya, dan kemudian menyampaikannya kepada manusia dengan redaksi bahasa yang sama pula.
Keberadaan malaikat Jibril sangat penting dalam proses pewahyuan. Ia berperan meyakinkan nabi Muhammad bahwa, pesan yang tertanam di dalam hati dan jiwanya adalah alQuran, bukan yang lain. Dan melalui Malaikat Jibril itu pula proses Kalam Tuhan menjadi berbentuk bahasa manusia dapat dilakukan. Jibril diberi kemampuan oleh Tuhan untuk bersuara dan menampakkan diri, Jibril bertugas menyampaikan dan juga mengajarkan alQuran kepada nabi Muhammad saw secara makna dan lafaz. Maksudnya, substansi makna dan redaksi bahasa menjadi satu paket yang utuh. Malaikat Jibril meyampaikan keduanya secara utuh dalam satu waktu yang bersamaan. Redaksi bahasa Kalam Tuhan itu, hari ini dikenal dengan teks alQuran yang dibaca dan dipelajari.
Berdasarkan riwayat kehadirannya, alQuran berbeda dengan wahyu Tuhan yang lain. Dan kita mengetahui bahwa, nabi Muhammad saw juga menerima wahyu yang selain alQuran. Pesan Tuhan selain alquran, yang disampaikan kepada nabi saw secara langsung, atau tanpa perantara malaikat Jibril, dikenal dengan hadist qudsi. Dengan kata lain, hadist qudsi adalah Kalam Tuhan yang bukan alQuran. Walaupun hakikat makna seutuhnya datang dari Tuhan, tetapi redaksi bahasa sepenuhnya dikontruksi oleh nabi. Nabi memiliki otoritas untuk menyampaikannya dengan menggunakan kata dan susunan kalimat atau redaksi bahasa yang dibuat sendiri. Redaksi bahasa yang digunakan nabi, tentunya tidak sedikitpun menghilangkan makna atau pesan Tuhan yang substansial.
Sementara alQuran, baik makna maupun pilihan kata dan susunan kalimatnya telah ditetapkan Tuhan. Jibril mengawasi dengan sungguh-sungguh setiap kata dari alQuran yang terucap dari lisan nabi Muhammad. Sebagai seorang manusia, terkadang nabi Muhammad ingin cepat atau tergesa-gesa mengucapkan redaksi bahasa alQuran, tetapi Tuhan akan menegurnya melalui malaikat Jibril. Tuhan menginginkan alQuran itu benar-benar sempurna dipahami nabi Muhammad saw, baik makna maupun redaksi bahasanya.
Jelaslah bahwa, baik makna maupun pilihan kata dan susunan kalimat alQuran sepenuhnya menjadi hak prerogatif Tuhan, nabi Muhammad hanya bertugas sebagai penyampai kepada manusia, sebagaimana malaikat Jibril yang berperan hanya sebagai penyampai kepada nabi.
Proses pewahyuan alQuran dirasakan nabi Muhammad sangat berat. Proses melarutkan dan menamkan pesan Tuhan dalam bentuk makna ke dalam hati dan jiwa membuat tubuh nabi berkeringat, meskipun berada di musim dingin. Tubuh nabi juga bergetar, meskipun dalam suasana yang tenang. Para sahabat dan isteri nabi ikut menyaksikan kondisi fisik yang dialami nabi ketika proses pewahyuan alQuran berlangsung. Berat beban yang dialami nabi Muhammad ketika pewahyuan alQuran dapat dimaklumi, karena yang ditransfer ke diri nabi bukan hanya makna yang tidak berbentuk, melainkan juga kata-kata yang berbentuk bahasa.
Kemudian, nabi menyampaikan makna atau pesan Tuhan melalui ucapan, atau bahasa lisan, sesuai dengan yang diterimanya dari Tuhan via malaikat Jibril. Dan untuk mendokumentasikan Kalam Tuhan yang diucapkannya secara lisan, diangkatlah beberapa orang juru tulis. Juru tulis bertugas merekam wahyu alQuran yang terucapkan ke dalam bentuk tulisan. Nabi melakukan pencatatan wahyu dengan tujuan agar alQuran tidak terlupakan. Teks kitab suci atau tulisan wahyu menjadi sangat penting, karena sifatnya lebih tahan terhadap perubahan, dibandingkan dengan ingatan manusia.
Bahasa Arab dipilih sendiri oleh Tuhan sebagai media bagi wahyu alQuran. Keputusan Tuhan memilih bahasa Arab sebagai media merupakan keharusan, agar pesan yang disampaikan kepada nabi mudah dipahami, juga memudahkan bagi nabi menyampaikan pesan Tuhan itu kepada masyarakatnya yang juga berbahasa Arab. Karena nabi Muhammad saw terlahir dari masyarakat dan budaya Arab. Begitu juga masyarakat yang dituju oleh wahyu saat turunnya adalah masyarakat Arab. Maka penggunaan bahasa Arab sebagai media bagi wahyu, tidak murni bersifat ilahiyah. Bahasa Arab digunakan wahyu karena, kepada masyarakat Arablah wahyu pertama ditujukan, dan turunnya wahyu juga karena dilatar-belakangi kondisi sosial masyarakat Arab tempat turunnya wahyu.
Sekali lagi harus diingat bahwa, bahasa Arab yang dijadikan media oleh Tuhan untuk menyampaikan alQuran, bukanlah bahasa Tuhan, melainkan bahasa yang dipilih oleh Tuhan. Pilihan itu satu yang tidak dapat dihindari oleh wahyu, karena masyarakat yang menjadi sasaran pertama wahyu, adalah masyarakat berbahasa Arab. Dengan demikian, bahasa Arab, seperti juga bahasa-bahasa manusia lainnya, adalah budaya umat manusia. Ia adalah produk akal budi manusia untuk berkomunikasi, dan berfungsi untuk saling berbagi pesan antar aggota masyarakat.
=================
Seiring perjalanan waktu, pesan Tuhan dalam alQuran yang berbahasa Arab, dan dilafazkan dengan dialek Arab-Quraisy bersentuhan dengan budaya lain yang bukan Arab, atau masih tetap Arab tetapi bukan Quraisy. Bagaimanapun, persentuhan dengan budaya dan bahasa yang berbeda, tidak dapat dihindari. Sebagaimana islam yang mengharuskan umatnya berda’wah kepada siapapun, maka alQuran akan bersentuhan dengan siapapun yang menerima islam sebagai agama. Persentuhan islam dengan masyarakat yang memiliki budaya yang berbeda, secara otomatis akan menyebabkan alQuran yang berbahasa Arab itu juga tersentuh dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Maka perbedaan budaya dan bahasa menyebabkan alQuran dibaca dengan cara yang berbeda-beda. Semakin jauh jarak masyarakat budaya yang melafalkan dengan masyarakat Arab, maka akan semakin berbeda dengan warna Arab yang melingkupi bacaan alQuran.
Perbedaan yang hampir menyebabkan perpecahan di tubuh umat islam, pernah terjadi pada zaman khalifah ke-3, Usman bin Affan. Ketika itu, penduduk Syam membaca al-Qur’an mengikuti gaya bacaan Ubay ibnu Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti gaya bacaan Abdullah Ibnu Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti gaya bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah perbedaan itu telah menjadi penyebab pertikaian sesama mereka. Satu sama lainnya saling mengkafirkan karena berbeda dalam bacaan.
Diriwayatkan dari Abi Qilabah: “Pada masa pemerintahan Utsman, seorang guru menyampaikan kepada anak didiknya, dan guru yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid tersebut saling bertemu dan membaca alQuran secara berbeda. Akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru, sehingga satu sama lain saling mengkafirkan. Berita tersebut sampai kepada Utsman. Lalu, Utsman berpidato dan seraya mengatakan: “Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih berbeda”.
Karena latar belakang kejadian tersebut, maka Utsman dengan kehebatan pendapatnya dan kebenaran pandangannya melakukan tindakan preventif, ibarat menambal pakaian yang sobek sebelum sobeknya meluas, dan mencegah penyakit sebelum sulit mendapat pengobatan. Ia mengumpulkan sahabat-sababat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan, disebab kan perbedaan dalam membaca alQuran.
Kemudian, mereka semua berpendapat agar Amirul Mu’minin menyalin dan memperbanyak mushhaf yang sudah disusun pada zaman Abu Bakar, yang saat itu disimpan di rumah Hafsah, anak Umar bin Khattab. Lalu mengirimkannya ke segenap daerah dan kota. Juga menginstruksikan agar orang-orang membakar mushhaf lain yang ada di tangan masyarakat. Sejak itu, tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur’an.
Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana, ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, yang hafalannya dapat diandalkan, yaitu: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-‘Ash dan Abdurrahman Ibnu Hisyam. Keempatnya dari suku Quraisy, dari golongan muhajirin, kecuali Zaid Ibnu Tsabit. Zaid adalah kaum Anshar. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini terjadi pada tahun kedua puluh empat hijrah.
Sisa-sisa masa lalu, sebelum alQuran resmi, mushhaf usmani diberlakukan, dapat dilihat jejaknya dalam qira’ah sab’ah yang mutawatir, ditambah tiga bacaan yang ahad dan satu yang gharib. Semua model bacaan yang tersisa sampai sekarang masih tetap dipelajari dan diakui kebenarannya. Karena semua bacaan itu masih berorientasi ke bacaan Arab Quraisy. Sedangkan yang jauh dari Arab Quraisy, tidak dapat kita ketahui lagi jejaknya. Alhamdulillah, dengan diberlakukan mushaf resmi oleh khalifah Usman, maka perselisihan dalam membaca alQuran yang berakibat perbedaan makna sudah selesai.
=================
Dengan demikian, langgam, irama atau irama lagu yang digunakan dalam pembacaan alQuran pada masa setelah berlaku mushaf resmi, sedikitpun tidak akan mengganggu otentisitas mushaf alQuran. Karena, dimanapun di dunia islam, hanya mushaf usmani itulah yang dibaca dan dipelajari. Tidak ada mushaf yang lain selain itu. Tidak ada sedikitpun perbedaan lafaz dalam tulisan, bahkan huruf sekalipun tidak berbeda.
Maka, perbedaan lagu dalam membaca, seperti diprakarsai oleh menteri agama, Lukman H. Syaifudin, yang mementaskan bacaan alQuran dengan langgam Jawa adalah sesuatu yang biasa. Bahkan sudah terjadi sejak lama di masyarakat kita. Hanya baru dilakukan di istana negara. Artinya, seperti diakui sendiri oleh pak menteri bahwa, beliau sekedar berupaya agar kekayaan irama nusantara dalam membaca alQuran tetap lestari dengan dihidupkan lagi. Jadi pak Lukman Hakim Syaifudin bukan mengada-ada, apa lagi membuat sesuatu yang baru. Sebagai umat islam, kita harus bangga dengan pak menteri yang memiliki ide kreatif terhadap pembacaan alQuran islam nusantara.
Hanya mereka yang berorietasi arabisme saja yang heboh mempersoalkan, seperti FPI dan mereka yang sama jenis dan orientasi keagamaannya dengan FPI, walaupun berbeda nama. Padahal lagu yang berkembang selama ini di arena MTQ juga lagu yang berorientasi kedaerahan, seperti lagu Hijaz. Hijaz adalah nama untuk menyebut negeri Mekah dan Madinah. Maka, lagu Hijaz maksudnya adalah lagu yang biasa digunakan oleh penduduk Mekah dan Madinah dalam membaca alQuran. Begitu juga nama lagu yang lain, seperti Nahawand, juga menunjuk kepada daerah. Apa bedanya dengan lagu berlanggam Jawa yang biasa digunakan oleh masyarakat di daerah Jawa dalam membaca alQuran. Di daerah lain juga memiliki gaya dan irama tersendiri, yang berbeda dengan daerah lain. dan masih digunakan oleh masyarakat. Seperti di negeri Melayu. Di kampung-kampung negeri Melayu, masih ada orang tua yang mengaji dengan lagu Melayu. Dan sekarang perlu kita hidupkan lagi, agar lagu alQuran berirama Melayu tidak punah.
Saya sangat setuju apabila pak menteri agama memprakarsai untuk menghidupkan kembali lagu alQuran nusantara yang ada di daerah-daerah di seluruh nusantara. Mungkin negara tetangga, seperti Malaysia, Singapore, Thailand dan Brunai memiliki gaya dan lagu yang khas di daerahnya. Saya berkeyakinan itu pernah ada. Dan saatnya kita melestarikannya dengan cara menghidupkan dan mengembangkan melalui musabaqah atau festival membaca alQuran islam nusantara. Yaitu bacaan alQuran dengan menggunakan lagu yang berkembang di setiap daerah yang ada.
Dan, hanya mereka yang tidak menghargai akar sejarah dan budaya saja, yang mengatakan hal itu tidak berguna, dan lebih baik jangan dikerjakan. Bagi kita yang menghargai dan mencintai sejarah dan budaya, tentunya sangat mementingkan semua kreatifitas budaya masyarakat yang pernah ada. Karena keberadaan kita hari ini dan keadaan kita sekarang, tidak dapat dipisahkan dari episode sejarah masa lalu nenek moyang kita. Hanya bangsa yang besar yang tidak melupakan sejarahnya. Ingat! Mereka yang tidak memiliki masa lalu, adalah yang tidak memiliki masa depan. Masa lalu kita adalah semua budaya yang pernah hidup di bumi tempat kita berpijak.
Hari ini, kita telah menjadi bangsa muslim yang paling santun, dibandingkan dengan bangsa muslim lain di dunia ini. Semua itu tidak terlepas dari kreatifitas nenek moyang kita dahulu menerima dan mengembangkan islam. Termasuk dalam kreatifitas itu adalah membaca alQuran dengan menggunakan langgam daerah, langgam yang sudah akrab di telinga dan jiwa masyarakat. Maka, menghidupkan kembali masa lalu yang berkontribusi terhadap kesantunan kita dalam beragama di hari ini, adalah suatu langkah cerdas dan bijak, agar anak cucu kita di masa depan, tetap mempertahankan kearifan dan kesantunan dalam beragama.
Semoga kecerdasan bangsa kita dalam beragama tetap menjadikan kita sebagai bangsa muslim yang disegani. Saat ini, Indonesia sudah mendapat pengakuan sebagai muslim yang paling terbuka dan santun di dunia, khususnya pengakuan dari negeri-negeri di Timur Tengah yang menghadapi konflik berkepanjangan. Indonesia yang beberapa waktu lalu dianggap sebagai negeri islam pinggiran, saat ini sudah menjadi negeri muslim yang sangat diharapkan menjadi contoh bagi negeri muslim lain. Dan yang membanggakan kita, para intelektual islam di negeri Arab sudah secara terbuka mengakui keunggulan ulama nusantara.
Semoga pak Lukman Hakim Syaifudin dapat segera mewujudkan Universitas Islam Nusantara yang diprakarsai oleh Nahdlatul Ulama. Methodologi pemahaman keagamaan ala NU akan lebih cepat tersebar di negeri islam lain, apabila Universitas islam Nusantara itu terbentuk. Dan kedamaian dalam hidup beragama seperti dilakoni oleh warga nahdliyyin akan menjadi trend keagamaan di dunia, khususnya di Timur Tengah. Dimana, para ulama di sana sangat menyadari bahwa, kedamaian di negeri Arab adalah barang langka. Sehingga mereka ingin belajar dari NU di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H