Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ibuku

22 Maret 2015   13:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:17 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di waktu lampau, ketika aku masih seorang bocah ingusan, ibu sangat yakin bahwa, menjadi lebih baik adalah soal taqdir. "Kita hanya menjalani. Putus asa jangan sekali." Itulah kata yang sering diulangi ibu untuk menyemangati kami, anak-anaknya. Tetapi ibu menyampaikan kalimat itu di sela-sela cerita, dan datar-datar saja, tanpa sedikitpun penekanan dalam setiap kosa kata yang terucap.

Sebagai anak kecil, aku hanya mendengar semua yang ibu ceritakan. Seringnya, aku mendengarkan sambil bermain, dan ibu tetap bercerita tanpa memintaku berhenti bermain. Bahkan ibu selalu bercerita sambi bekerja. Bekerja sambil bercerita atau bermain sambil mendengarkan sama mudahnya. Setidaknya bagi ibu dan aku.

Setelah menjadi orang tua, kenangan akan kebersamaan masa kecilku dengan ibu sangat menyenangkan dan mempesona. Jujur, Ibu bagiku adalah manusia luar biasa, meskipun dia biasa-biasa saja. Seperti juga perempuan rumahan lainnya di kampung. Setiap hari ikut bekerja membantu ayah. Pagi hari pergi ke kebun getah, memotong. Sore harinya membantu di ladang, mengurus tanaman sayur-mayur.

Orang rumah, adalah istilah untuk isteri di kampungku. Ya. Semua isteri disebut orang rumah. Walaupun kenyataannya para isteri tidak benar-benar hanya di rumah, atau hanya bekerja di rumah. Melainkan semua isteri juga bekerja di luar rumah, membantu suami mereka mencari nafkah. Tetapi istilah itu diterima begitu saja, tanpa ada yang mempersoalkan. Para isteri juga tidak tersinggung disebut orang rumah, meskipun kenyataannya mereka juga bekerja di luar rumah.

Begitu juga dengan ibuku. Dia adalah orang rumah ayahku, yang juga bekerja di luar rumah, selain tentunya di rumah. Sebagai orang rumah, ibu menjalani hidupnya biasa-biasa saja. Setiap hari bekerja dan bekerja untuk keluarga, demi anak-anaknya.

Dalam keadaan sedih, maupun senang, ibu selalu menampilkan kegembiraan, dengan cara yang sederhana dan apa adanya. Menurut ibu, "terlalu senang, bisa membawa kesedihan, dan perasaan sedih akan merusakkan hati dan pikiran." Di matanya dunia ini benar-benar rata, cukup dijalani seperti apa adanya.

Aku adalah anak ke-2 dari dua bersaudara, yang ketika kecil sering ikut ibu ke kebun. Bukan untuk membantu. Waktu itu, aku hanyalah anak kecil, yang belum bisa berbuat apapun, selain bermain. Ikut ibu ke kebun, hanya karena di rumah tidak ada yang menjaga. Abangku, ketika itu sudah bersekolah. Dan tidak mungkin aku ditinggal di rumah sendirian.

Di kampungku, tidak ada keluarga yang mempekerjakan pembantu. Ketiadaan uang untuk menggaji adalah alasan yang pasti. Seandainya ada uang sekalipun, pastilah akan menjadi cemoohan. "Orang rumah pemalas," kata orang kampung mengejek para isteri yang mempekerjakan orang lain di rumahnya.

Andaikan karena terpaksa, harus juga dibantu oleh orang lain, maka diambillah dari keluarga terdekat untuk tinggal di rumah, biasanya adik isteri atau adik suami. Paling jauh yang bisa dimintai bantuan adalah anak kemanakan. Selain itu tidak ada. Karena dianggap aib oleh orang kampung.

Hampir semua keluarga di kampung, melakukan hal yang sama seperti ibu, ikut bekerja di kebun, dan jika memiliki anak kecil, maka anak dititipkan ke orang tua, atau nenek dari anak. Adapun yang sudah bisa bermain sendiri, adatnya diajak ke kebun untuk menemani. Orang tua takut jika anak kecil ditinggal sendiri di rumah.

Begitulah juga dengan ibuku, sama dengan teman-temannya di kampung. Sama-sama bekerja untuk membantu kehidupan ekonomi keluarga. Tidak ada yang istimewa, semua serba biasa, dan mengalir begitu saja. Masyarakat menjalani hidup sebatas mengikuti putaran waktu. Jauh berbeda dengan di kota, masyarakat menjalani hidup dengan cara berpacu dengan waktu.

Seiring dengan waktu yang terus berputar, bersamaan dengan waktu itu pula ibu menjalani kehidupan yang biasa dan apa adanya. Tetapi bagiku, ibu memiliki perbedaan dengan ibu temanku di kampung. Ibu berbeda ketika mengisi kebersamaannya denganku dan juga abang. Perbedaan itu memang tidak terlihat, dan tidak juga terdengar. Namun bagiku, sangat terasakan. Begitupun bagi abangku.

Setelah aku menjadi tua, kebersamaan dengan ibu saat kecil dulu, semakin terasa menakjubkan dan sangat istimewa. Ia menjadi satu keabadian. Bukan hanya sekedar dalam ingatan, melainkan kebersamaan yang abadi dalam gerak dan segenap rasa. Ya. Ibu akan selalu ada dalam setiap langkahku.

Takjub, karena ibu tidak pernah bersekolah. "Kakekmu itu fanatik, anak-anaknya tidak boleh ikut ke sekolah," kata ibu ketika menyinggung soal sekolah. Tetapi ibu tetap membela kakek, "karena sekolah yang ada, didirikan oleh bangsa penjajah. Kakekmu tidak ingin melepaskan anak-anaknya menjadi kaki tangan Belanda," itulah yang ibu ceritakan, jika ditanya mengapa kakek melarangnya bersekolah.

Meski demikian ibu sangat pintar. Ia bisa menulis, berhitung, dan sangat rajin membaca. "Kakek dan nenekmu dulu yang mengajari pelajaran sekolah di rumah. Kakekmu tidak suka dengan sekolah, tetapi sangat senang belajar," kata ibu memuji orang tuanya, yang tentulah kakekku juga.

Di antara yang kukagumi dari ibu adalah kesenangannya bercerita. Ibu rajin bercerita dengan anak-anaknya. Ia bercerita tentang apa saja. Tentang mimpi-mimpi malamnya, tentang apa yang sedang dilihatnya, dan terutama tentang buku yang dibacanya.

Aku dan abang sangat senang bersama ibu. Beda dengan ibu lain yang senang menasehati anak-anaknya, terkadang juga memarahi. Ibuku tidak pernah melakukan itu. Jangankan memarahi, menasehati kamipun ibu seperti tidak pernah. Semua anaknya diberi kebebasan dan hidup suka-suka.

Jika ada di antara kami yang karena malas tidak pergi ke sekolah, atau asik bermain sehingga lupa mandi dan makan, dan ayah memberi teguran. Tetapi ibu hanya berkata, "besok kalau sudah besar, akan tahu sendiri." Begitulah ibuku, menghadapi semua masalah dengan tanpa mempermasalahkan.

Ibu selalu berfikir bahwa, semuanya baik. Andaikan ada yang menyalah, ia hanya mengatakan, "nanti pasti juga akan tiba saatnya, semua menjadi benar dan baik." Pikiran dan anggapan yang selalu menilai sesuatu akan benar dan baik, dibuktikan dengan tidak mahu menceritakan kesalahan dan keburukan orang.

Andai kami bercerita tentang kesalahan dan keburukan orang lain, secepatnya berhenti kalau ibu sudah datang. Walaupun ibu tidak juga menasehati atau memarahi kami, bila bercerita tentang kejelekan orang. Hanya saja ibu akan segera pergi meninggalkan kami. Karena kebersamaan dengan ibu lebih penting bagi kami, maka secepatnya kami berhenti menceritakan aib orang lain.

Ibuku memiliki sangat banyak cerita. Setiap bersamanya, pastilah ia akan bercerita hal baru. Cerita ibu tentang apa saja yang ia suka. Tetapi setiap cerita pastilah karena ada sebab. Sebab menjadi sumber ceritanya. Ibu tidak pernah bercerita yang tidak ada asal muasalnya.

Pernah suatu hari, seraya menekuni pekerjaannya di dapur, ibu bercerita bahwa, saat kehamilanku, suatu malam ia bermimpi bulan yang terang terjatuh di pangkuannya. "Kamu akan menemukan masa depan yang baik," kata ibu, mengakhiri cerita tentang mimpi malamnya. Hanya itu yang ibu katakan.

Akupun hanya tersenyum melihat ibu meramal masa depanku. Aku juga tidak pernah bertanya mimpi itu benar atau tidak. Mungkin saja hanya dikarang untuk menyemangati anaknya. Tetapi aku senang dengan mimpinya, dan mimpi ibu tentang bulan, selalu menjadi ingatan, dan juga mengingatkanku tentang harapan dan keberhasilan.

Di lain waktu, ketika sedang menakik getah di kebun karet, ia bercerita tentang pohon yang tinggi. Ibu memintaku melihat pokok getah yang paling tinggi sedang berayun ditiup angin. Sangat kentara sekali kencangnya tiupan angin di pucuk pohon, di ketinggian.

"Seandainya akarnya tidak dalam dan kuat, pohon itu pasti tumbang. Sama, seperti manusia, kedudukan yang tinggi, harus didasari oleh ilmu pengetahuan yang mendalam dan kuat, agar tidak goyah" katanya pula mengakhiri cerita tentang pohon getah yang sedang ditorehnya. Pucuk pohon itu terombang ambing ditiup angin, tetapi tetap tegar berdiri.

Sebagai anak kecil, tentu saja aku sangat senang mendengar cerita. Lebih lagi cerita itu nyata. Ibu mengambil i'tibar dari alam sekitar yang kami saksikan bersama. Tidak ada yang luar biasa dalam ceritanya. Semua biasa saja, hanya kami anak-anaknya sangat suka mendengarnya.

Lebih lagi ketika ibu sedang membaca buku, kami anak-anaknya akan mendekat dan merapat, berebut untuk mendengar suara ibu membaca, meskipun suaranya hanya datar-datar saja, tanpa intonasi sedikitpun. Begitulah ibu, seolah ia membaca untuk dirinya sendiri. Hanya karena kami ingin mendengar suara dan isi yang diceritakan dalam buku yang sedang dibaca, maka volume suaranya agak dikeraskan. Tetapi tetap tanpa ekspresi layaknya deklamasi.

Yang sampai sekarang masih teringat adalah episode kisah Hang Tuah dan Hang Jebat, dalam buku Hikayat Hang Tuah. Ibu membacakan buku itu dengan volume suara yang pas, dan kamipun, anak-anaknya mendekat untuk mendengar suara ibu membaca ceritanya.

Karena bukunya tebal, ibu membutuhkan waktu beberapa hari untuk menyelesaikan pembacaannya. Sehingga setiap kali ibu istirahat siang atau malam menjelang kami tidur, ibu duduk membacanya. Kami semua ikut duduk bersama mendengarkan.

"Hang Tuah sikapnya santun dan lembut, sedangkan Hang Jebat kasar dan arogan. Keduanya sama hebatnya dan sama-sama pernah menjadi orang kepercayaan sultan Melaka. Tetapi, karena sifat yang berbeda, maka nasibnya berbeda.

Hang Tuah sudah dijatuhi hukuman mati oleh sultan, karena fitnah. Tetapi datuk bendahara merasa kasihan karena sikap baiknya, dan menyelamatkannya dengan cara diasingkan. Sedangkan Hang Jebat sebaliknya. Meskipun sudah diangkat menjadi orang kepercayaan sultan, namun sikap kasar dan arogan membuatnya dibenci banyak orang.

Apapun alasan yang dikatakan Hang Jebat, tetap saja sikap kasar dan arogan membuatnya harus mati dibunuh. Sahabatnya sendiri, Hang Tuah yang membunuhnya. Sultan dan rakyat Melaka sangat senang dengan kematiannya," demikian ibu menyimpulkan cerita yang baru dibaca dalam episode yang paling panjang dalam buku Hikayat Hang Tuah.

================

Setelah kami sekolah dan bisa membaca, ibu sering pula meminta kami membaca buku dengan suara kuat, agar ia ikut sama mendengarnya. Seperti biasa, ibu mendengarnya sambil tetap mengerjakan pekerjaan rumah atau terkadang sambil istirahat, tidur-tiduran. Begitulah cara ibu menghabiskan waktu bersama kami, dan tanpa disadari, membaca menjadi kebiasaan kami yang paling menyenangkan.

Ibu tidak memilih-milih jenis buku yang ingin dibaca dan didengar. "Terserah saja. Semua buku bagus dan menyimpan banyak pengetahuan," kata ibu, jika kami bertanya tentang buku yang ingin didengarnya.

Mungkin, karena tidak pernah sekolah, ibu menganggap semua buku sama. Ibu tidak pernah membeda-bedakan jenis buku. Karya fiksi atau non fiksi, bagi ibu sama baiknya. Begitupun, buku agama atau buku anti agama, seperti karangan Karl Mark dan Federict Nitzche, semua disukainya. Termasuk buku karangan Achdiat Karta Miharja, yang berjudul Atheis, juga habis dilahapnya.

Meskipun demikian, bukan pula berarti ibu sebagai pencinta buku, hanya membacanya dengan passif. Ibu tetap kritis dalam membaca. Karena banyak buku yang dibaca, maka ibu dapat membandingkan pemikiran para pengarang buku, dan kemudian memilihnya yang terbaik menurutnya. "Yang baik dijadikan teladan, yang tidak baik dijadikan sempadan," kata ibu ketika menilai baik tidaknya sebuah buku menurutnya.

Karena pengaruh pemikiran ibu, saya sampai hari ini juga berfikir seperti ibu, tidak membedakan karya fiksi dan non fiksi, semua sama. Buku pemikiran jenis apapun tetap kubaca. Bukan sebatas buku yang anti Tuhan. Bahkan buku yang mengharuskan manusia membunuh Tuhan juga kubaca.

Menurutku, hanya arogansi dunia akademis yang membeda-bedakan, ada buku ilmiyah dan buku non ilmiyah. Ada fiksi dan ada non fiksi. Begitu juga, hanya arogansi teologis yang menghalangi umat untuk membaca buku pemikiran tentang kematian Tuhan, atau buku yang menafikan keberadaan Tuhan. Toh, Tuhan tetap saja ada, walaupun semua orang menafikannya, dan Tuhan tidak akan mati walau semua orang membunuhnya.

Kecintaan ibu kepada buku inilah yang sangat mengagumkan. Juga mengharukan. Betapa tidak. Karena buku itu pula, aku selalu beralasan untuk tidak membantu ibu atau ayah bekerja. Caranya mudah saja. Jika aku tidak mahu ikut bekerja, kupegang buku dan kubuka sambil membacanya, meskipun pura-pura. Dipastikan ibu akan diam dan tidak mahu mengganggu dengan sepatahpun kata.

Begitupun ketika aku belajar di luar daerah, buku selalu menjadi alasan untuk meminta uang lebih. Caranya juga mudah. Kukirimi ibu surat dan kuceritakan ada buku yang harus dibeli untuk mata pelajaran tertentu, pastilah ibu akan mengirimkan uang dengan jumlah yang kuminta. Begitulah arti penting buku, bagiku dan bagi ibuku.

Sekarang, aku masih mengingat kata-kata ibu dalam ceritanya. Ibu pernah bermimpi tentang bulan di pangkuannya. Kemudian meramalkan kehidupanku akan lebih baik. Dan, aku harus tetap menjalani dengan cara biasa dan apa adanya. Kata-kata ibu masih tetap bersamaku bahwa, "taqdir itu urusan Tuhan. Dan kita tidak boleh putus asa."

Kebersamaan masa kecil bersama ibu sampai tua tetap menyatu, di hati, pikiran dan langkahku. Sehingga hari ini, aku tidak pernah lupa akan ibu dan buku. Saat dimanapun, dan ketika sedang apapun. Itulah i-bu-ku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun