Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ibuku

22 Maret 2015   13:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:17 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akupun hanya tersenyum melihat ibu meramal masa depanku. Aku juga tidak pernah bertanya mimpi itu benar atau tidak. Mungkin saja hanya dikarang untuk menyemangati anaknya. Tetapi aku senang dengan mimpinya, dan mimpi ibu tentang bulan, selalu menjadi ingatan, dan juga mengingatkanku tentang harapan dan keberhasilan.

Di lain waktu, ketika sedang menakik getah di kebun karet, ia bercerita tentang pohon yang tinggi. Ibu memintaku melihat pokok getah yang paling tinggi sedang berayun ditiup angin. Sangat kentara sekali kencangnya tiupan angin di pucuk pohon, di ketinggian.

"Seandainya akarnya tidak dalam dan kuat, pohon itu pasti tumbang. Sama, seperti manusia, kedudukan yang tinggi, harus didasari oleh ilmu pengetahuan yang mendalam dan kuat, agar tidak goyah" katanya pula mengakhiri cerita tentang pohon getah yang sedang ditorehnya. Pucuk pohon itu terombang ambing ditiup angin, tetapi tetap tegar berdiri.

Sebagai anak kecil, tentu saja aku sangat senang mendengar cerita. Lebih lagi cerita itu nyata. Ibu mengambil i'tibar dari alam sekitar yang kami saksikan bersama. Tidak ada yang luar biasa dalam ceritanya. Semua biasa saja, hanya kami anak-anaknya sangat suka mendengarnya.

Lebih lagi ketika ibu sedang membaca buku, kami anak-anaknya akan mendekat dan merapat, berebut untuk mendengar suara ibu membaca, meskipun suaranya hanya datar-datar saja, tanpa intonasi sedikitpun. Begitulah ibu, seolah ia membaca untuk dirinya sendiri. Hanya karena kami ingin mendengar suara dan isi yang diceritakan dalam buku yang sedang dibaca, maka volume suaranya agak dikeraskan. Tetapi tetap tanpa ekspresi layaknya deklamasi.

Yang sampai sekarang masih teringat adalah episode kisah Hang Tuah dan Hang Jebat, dalam buku Hikayat Hang Tuah. Ibu membacakan buku itu dengan volume suara yang pas, dan kamipun, anak-anaknya mendekat untuk mendengar suara ibu membaca ceritanya.

Karena bukunya tebal, ibu membutuhkan waktu beberapa hari untuk menyelesaikan pembacaannya. Sehingga setiap kali ibu istirahat siang atau malam menjelang kami tidur, ibu duduk membacanya. Kami semua ikut duduk bersama mendengarkan.

"Hang Tuah sikapnya santun dan lembut, sedangkan Hang Jebat kasar dan arogan. Keduanya sama hebatnya dan sama-sama pernah menjadi orang kepercayaan sultan Melaka. Tetapi, karena sifat yang berbeda, maka nasibnya berbeda.

Hang Tuah sudah dijatuhi hukuman mati oleh sultan, karena fitnah. Tetapi datuk bendahara merasa kasihan karena sikap baiknya, dan menyelamatkannya dengan cara diasingkan. Sedangkan Hang Jebat sebaliknya. Meskipun sudah diangkat menjadi orang kepercayaan sultan, namun sikap kasar dan arogan membuatnya dibenci banyak orang.

Apapun alasan yang dikatakan Hang Jebat, tetap saja sikap kasar dan arogan membuatnya harus mati dibunuh. Sahabatnya sendiri, Hang Tuah yang membunuhnya. Sultan dan rakyat Melaka sangat senang dengan kematiannya," demikian ibu menyimpulkan cerita yang baru dibaca dalam episode yang paling panjang dalam buku Hikayat Hang Tuah.

================

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun