Seiring dengan waktu yang terus berputar, bersamaan dengan waktu itu pula ibu menjalani kehidupan yang biasa dan apa adanya. Tetapi bagiku, ibu memiliki perbedaan dengan ibu temanku di kampung. Ibu berbeda ketika mengisi kebersamaannya denganku dan juga abang. Perbedaan itu memang tidak terlihat, dan tidak juga terdengar. Namun bagiku, sangat terasakan. Begitupun bagi abangku.
Setelah aku menjadi tua, kebersamaan dengan ibu saat kecil dulu, semakin terasa menakjubkan dan sangat istimewa. Ia menjadi satu keabadian. Bukan hanya sekedar dalam ingatan, melainkan kebersamaan yang abadi dalam gerak dan segenap rasa. Ya. Ibu akan selalu ada dalam setiap langkahku.
Takjub, karena ibu tidak pernah bersekolah. "Kakekmu itu fanatik, anak-anaknya tidak boleh ikut ke sekolah," kata ibu ketika menyinggung soal sekolah. Tetapi ibu tetap membela kakek, "karena sekolah yang ada, didirikan oleh bangsa penjajah. Kakekmu tidak ingin melepaskan anak-anaknya menjadi kaki tangan Belanda," itulah yang ibu ceritakan, jika ditanya mengapa kakek melarangnya bersekolah.
Meski demikian ibu sangat pintar. Ia bisa menulis, berhitung, dan sangat rajin membaca. "Kakek dan nenekmu dulu yang mengajari pelajaran sekolah di rumah. Kakekmu tidak suka dengan sekolah, tetapi sangat senang belajar," kata ibu memuji orang tuanya, yang tentulah kakekku juga.
Di antara yang kukagumi dari ibu adalah kesenangannya bercerita. Ibu rajin bercerita dengan anak-anaknya. Ia bercerita tentang apa saja. Tentang mimpi-mimpi malamnya, tentang apa yang sedang dilihatnya, dan terutama tentang buku yang dibacanya.
Aku dan abang sangat senang bersama ibu. Beda dengan ibu lain yang senang menasehati anak-anaknya, terkadang juga memarahi. Ibuku tidak pernah melakukan itu. Jangankan memarahi, menasehati kamipun ibu seperti tidak pernah. Semua anaknya diberi kebebasan dan hidup suka-suka.
Jika ada di antara kami yang karena malas tidak pergi ke sekolah, atau asik bermain sehingga lupa mandi dan makan, dan ayah memberi teguran. Tetapi ibu hanya berkata, "besok kalau sudah besar, akan tahu sendiri." Begitulah ibuku, menghadapi semua masalah dengan tanpa mempermasalahkan.
Ibu selalu berfikir bahwa, semuanya baik. Andaikan ada yang menyalah, ia hanya mengatakan, "nanti pasti juga akan tiba saatnya, semua menjadi benar dan baik." Pikiran dan anggapan yang selalu menilai sesuatu akan benar dan baik, dibuktikan dengan tidak mahu menceritakan kesalahan dan keburukan orang.
Andai kami bercerita tentang kesalahan dan keburukan orang lain, secepatnya berhenti kalau ibu sudah datang. Walaupun ibu tidak juga menasehati atau memarahi kami, bila bercerita tentang kejelekan orang. Hanya saja ibu akan segera pergi meninggalkan kami. Karena kebersamaan dengan ibu lebih penting bagi kami, maka secepatnya kami berhenti menceritakan aib orang lain.
Ibuku memiliki sangat banyak cerita. Setiap bersamanya, pastilah ia akan bercerita hal baru. Cerita ibu tentang apa saja yang ia suka. Tetapi setiap cerita pastilah karena ada sebab. Sebab menjadi sumber ceritanya. Ibu tidak pernah bercerita yang tidak ada asal muasalnya.
Pernah suatu hari, seraya menekuni pekerjaannya di dapur, ibu bercerita bahwa, saat kehamilanku, suatu malam ia bermimpi bulan yang terang terjatuh di pangkuannya. "Kamu akan menemukan masa depan yang baik," kata ibu, mengakhiri cerita tentang mimpi malamnya. Hanya itu yang ibu katakan.