Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ibuku

22 Maret 2015   13:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:17 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah kami sekolah dan bisa membaca, ibu sering pula meminta kami membaca buku dengan suara kuat, agar ia ikut sama mendengarnya. Seperti biasa, ibu mendengarnya sambil tetap mengerjakan pekerjaan rumah atau terkadang sambil istirahat, tidur-tiduran. Begitulah cara ibu menghabiskan waktu bersama kami, dan tanpa disadari, membaca menjadi kebiasaan kami yang paling menyenangkan.

Ibu tidak memilih-milih jenis buku yang ingin dibaca dan didengar. "Terserah saja. Semua buku bagus dan menyimpan banyak pengetahuan," kata ibu, jika kami bertanya tentang buku yang ingin didengarnya.

Mungkin, karena tidak pernah sekolah, ibu menganggap semua buku sama. Ibu tidak pernah membeda-bedakan jenis buku. Karya fiksi atau non fiksi, bagi ibu sama baiknya. Begitupun, buku agama atau buku anti agama, seperti karangan Karl Mark dan Federict Nitzche, semua disukainya. Termasuk buku karangan Achdiat Karta Miharja, yang berjudul Atheis, juga habis dilahapnya.

Meskipun demikian, bukan pula berarti ibu sebagai pencinta buku, hanya membacanya dengan passif. Ibu tetap kritis dalam membaca. Karena banyak buku yang dibaca, maka ibu dapat membandingkan pemikiran para pengarang buku, dan kemudian memilihnya yang terbaik menurutnya. "Yang baik dijadikan teladan, yang tidak baik dijadikan sempadan," kata ibu ketika menilai baik tidaknya sebuah buku menurutnya.

Karena pengaruh pemikiran ibu, saya sampai hari ini juga berfikir seperti ibu, tidak membedakan karya fiksi dan non fiksi, semua sama. Buku pemikiran jenis apapun tetap kubaca. Bukan sebatas buku yang anti Tuhan. Bahkan buku yang mengharuskan manusia membunuh Tuhan juga kubaca.

Menurutku, hanya arogansi dunia akademis yang membeda-bedakan, ada buku ilmiyah dan buku non ilmiyah. Ada fiksi dan ada non fiksi. Begitu juga, hanya arogansi teologis yang menghalangi umat untuk membaca buku pemikiran tentang kematian Tuhan, atau buku yang menafikan keberadaan Tuhan. Toh, Tuhan tetap saja ada, walaupun semua orang menafikannya, dan Tuhan tidak akan mati walau semua orang membunuhnya.

Kecintaan ibu kepada buku inilah yang sangat mengagumkan. Juga mengharukan. Betapa tidak. Karena buku itu pula, aku selalu beralasan untuk tidak membantu ibu atau ayah bekerja. Caranya mudah saja. Jika aku tidak mahu ikut bekerja, kupegang buku dan kubuka sambil membacanya, meskipun pura-pura. Dipastikan ibu akan diam dan tidak mahu mengganggu dengan sepatahpun kata.

Begitupun ketika aku belajar di luar daerah, buku selalu menjadi alasan untuk meminta uang lebih. Caranya juga mudah. Kukirimi ibu surat dan kuceritakan ada buku yang harus dibeli untuk mata pelajaran tertentu, pastilah ibu akan mengirimkan uang dengan jumlah yang kuminta. Begitulah arti penting buku, bagiku dan bagi ibuku.

Sekarang, aku masih mengingat kata-kata ibu dalam ceritanya. Ibu pernah bermimpi tentang bulan di pangkuannya. Kemudian meramalkan kehidupanku akan lebih baik. Dan, aku harus tetap menjalani dengan cara biasa dan apa adanya. Kata-kata ibu masih tetap bersamaku bahwa, "taqdir itu urusan Tuhan. Dan kita tidak boleh putus asa."

Kebersamaan masa kecil bersama ibu sampai tua tetap menyatu, di hati, pikiran dan langkahku. Sehingga hari ini, aku tidak pernah lupa akan ibu dan buku. Saat dimanapun, dan ketika sedang apapun. Itulah i-bu-ku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun