Adikku langsung saja masuk ke kamar. "Emak karo Bapak ngenteni mbak, nje-i mangan bareng." adikku memberi tahu sambil duduk sebentar di atas tempat tidurku. Dia memandangku penuh tanda tanya atas sikap murungku. Setidaknya itulah yang kurasakan dari caranya menatapku.
"Layang sing dienter pak pos wis seminggu kok urung mbak woco." adik berkata seperti terkejut dan membuatku juga terkejut.
"Endi layange?" tanyaku penasaran.
"Iku neng nduwur rak buku." adik menjawab dengan jari telunjuk memberi isyarat ke arah rak buku yang dimaksud.
"Sopo sing nompo sengko pak pos?"
"Awakku, mbak wayah iku ora ono neng omah. Kuwatir kesingsal tak dolohno neng rak kui."
"Kok, ora lansung ngomong karo embak?
"Awakku kan terus lungo maring sekolahan, ono pelajaran tambahan, dadine lali."
"Yo wis, ra popo. Yuk mangan ndisik. Engko wahe tak woco"
Keberadaan surat itu membuat hidupku kembali bergairah. Makan malam ini sangat berselera. Walaupun belum kubaca isinya. Tetapi dari warna amplop surat, bisa ditebak isinya. Amplop itu warna pink adalah perlambang keabadian cinta. Namun ada yang sedikit mengganjal di dada. Amplop surat warna biru yang sudah terlanjur dikirim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H