Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Emprit Moni Ngarep Omah

9 Mei 2014   03:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Duko, piyamba 'e mbotem wonten sanjang nopo-nopo kalih kulo." Jawabku atas pertanyaan ayah yang didesakkan karena celetukan adik. Sayapun tidak berani mengatakan apa yang sesungguhnya sedang saya alami dan rasakan sendiri. Mas Trisno dimana dan apa kabarnya saya sendiri juga tidak tahu. Tetapi, "semoga sebutan adik dan ayahku menanyakan mas Trisno mempercepat terkabulnya do'ku," sekali lagi hatiku berharap.

Setelah makan malam, saya duduk sebentar menonton tv. Seluruh anggota tubuhku menghadap tv. Bahkan mataku melihatnya tanpa berkedip. Tetapi jujur saya katakan, bahwa saya tidak mengerti sedikitpun acara yang sedang ditonton. Mataku hanya melihat gambar yang bergerak dan telingaku hanya mendengar ada suara. Tetapi suara dan gambar tidak memberi pesan apapun di pikiran. Karena khayalku melayang jauh. Sangat jauh entah kemana. Mencari tempat mas Trisno berada.

Pikiran yang kosong, menggerakkan kakiku untuk mencari kekosongan. Kamar adalah tempat yang kosong. Rasanya nyaman kalau bisa menyendiri di kamar. Walaupun tidak benar-benar sendiri. Karena ada mas Trisno di pikiranku yang semakin mempertahankan posisinya. Bahkan tidak ada ruang kosong untuk yang lain di kepalaku selain mas Trisno. Benarkah perlambang burung pipit sore tadi adalah isyarat kehadirannya?

Dalam sunyi senyap kamar, saya tidak berhenti untuk berdo'a: "Saya rindu Mas, datanglah! Semoga Mas tidak melupakan janji untuk kembali"

Saya membuka kembali semua surat cinta yang pernah dituliskan untukku. Saya membaca satu persatu sampai tamat. Entah berapa kali surat cinta yang bertabur pujian dan rayuan itu sudah kubaca. Semakin lama tidak bertemu, semakin sering aku membacanya. Surat cinta itulah yang menjadi tempat berbagi kerinduan. Bahkan selama seminggu sebelumnya, surat cinta itu telah menjadi mantra penghantar tidur.

Tetapi anehnya, malam ini mantra surat cinta itu tidak mampu membuat mataku terpejam, sampai ke pagi. Setelah manuk emprit yang berkicau di depan rumah sore tadi. Setelah adik menyebutnya. Setelah ayah mendesak agar saya membenarkannya. Dan setelah enam bulan surat cintaku tidak pernah dibalas.

Satu hari, dua hari, tiga hari, ...
Saya menjadi perempuan penanda waktu, menghitung hari. Sudah seminggu setelah burung pipit itu berkicau, belum juga ada perlambang lain yang dapat memberi petunjuk. Kehadiran yang dinantikan membawa kebahagiaan semakin jauh terasakan. "Saya tidak boleh terlalu berharap dalam ketidakpastian seperti ini." kata hatiku berbisik dalam nada lelah dan marah.

Sudah habis batas kesabaran. Saya segera mengambil pena dan menulis di lembaran kertas surat warna biru. Inilah surat terakhir. Surat putus. Kertas surat warna biru ini juga sebuah simbol yang sudah kami sepakati ketika masih sering bertemu dulu. Ketika kami menulis surat biru itu artinya putus. Sedangkan warna keabadian cinta yang kami sepakati adalah kertas warna pink.

Pagi hari segera saya titip surat dengan adik agar mengirimkan lewat pos kilat, tiga hari sampai. Sejak malam kutulis surat itu, segala harapan dan kerinduan yang menggunung perlahan meleleh. Tidak ada lagi harapan dan kerinduan untuk mas Trisno. Yang tertinggal hanyalah dendam dan kebencian. Karena kesetiaan dan ketulusan mncintainya hanya sia-sia. Membalas surat yang sudah dua kali kukirimpun tidak mahu.

Suasana batin yang benar-benar hampa. Tanpa gairah dan tanpa senda gurau. Ayah, ibu dan adik tidak juga mendapatkan perlambang lain. Saya juga. Sudah sepuluh hari berlalu dari sore itu. Sore ketika burung pipit berkicau di depan rumah. Tidur tak lena, makanpun tak enak dan mandipun tak basah.

Saya masih duduk di kamar merenungi nasib diri. Jarum pendek pada jam di dinding kamar menunjukkan pada angka tujuh. Jadwal makan malam sudah tiba. Tetapi saya tidak kuasa untuk beranjak, melangkah ke ruang makan. "Biarlah, nanti saja." jawaban yang sudah kupersiapkan ketika ibu atau adik memanggilku untuk makan malam ini. Pintu kamar sengaja kubuka. Siapapun boleh masuk tanpa, harus mengetuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun