Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Emprit Moni Ngarep Omah

9 Mei 2014   03:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya melihat Ayah juga merenung sambil menduga-duga siapa kemungkinan yang akan datang membawa kabar baik tersebut. Tetapi saya tidak tahu siapa orang yang sedang ayah harapkan untuk datang. Biarlah ayah membawa pikirannya sendiri untuk menduga-duga tamu istimewa yang akan datang ke rumah.

Adapun saya sudah mempunyai nama yang saya harapkan datang. Menurutku dia istimewa dan kabar gembira darinya saya harapkan. Tetapi saya tetap tidak mungkin akan mengatakan kepada ayah. Karena yang saya harapkan sebenarnya hanya kabar tentangnya. Itu sudah cukup. Saya senantiasa mengingat setiap saat dan sudah merindukannya cukup lama, enam bulan.

Meskipun berharap untuk bahagia, tetapi timbul juga keraguan yang menyiksa. Bukankah sudah enam bulan tidak ada kabarnya? Surat kedua yang kukirimkan untuknya, tiga bulan yang lalu juga belum dibalas. Ataukah dia sudah melupakan dan mendapat pengganti yang lain?

"Mak'e, mahu kok ono emprit moni neng ngarep omah." kata ayah memberitahu ibu ketika kami sedang berkumpul di ruang makan, setelah menikmati makan malam bersama. "Sopo yo nurut firasatmu sing arek teko mareng ngomah?" pertanyaan ayah kepada ibu.

"Embuh, sopo yo?, aku orong ono oleh firasat. Mungkin engko mbengi ono sing intuk impen." ibu menjawab pertanyaan ayah dalam kondisi ketidaktahuannya. Tetapi ibu masih menunggu peristiwa lain untuk konfirmasi yang bisa memberikan jawaban atas tanda alam yang disampaikan burung pipit sore tadi.

"Iyo, mungkin engko bengi ono sing oleh impen utowo ono sing laine ng'e-i kabar maring kito." kata ayah menggantungkan harap.

"Mungkin pacar'e mbak Santi." kata adikku nyeletuk sambil melirik ke arahku. Saya merasa sangat malu di hadapan ayah ibu atas sikap adikku yang ngomong asal-asalan. Walaupun sebenarnya, nama itu juga yang ada dalam pikiranku dan yang saya harapkan kehadirannya. Tetapi saya diam saja, tidak mahu menanggapi celetukan adik.

"Apa mungkin mas Trisno, pacarku akan datang?" aku mempertanyakan sesuatu dalam khayal yang penuh harap, tetapi menyakitkan. "Semoga kata-kata adikku menjadi do'a." Karena kedua orang tuaku selalu mengatakan, bahwa kejadian yang tidak diharapkan adalah juga perlambang.

Perlambang dalam arti, bahwa sesuatu itu adalah pemberitahuan tentang sesuatu yang lain. Seperti beberapa malam lalu, ketika ayah minum tersedak. "Pasti ono sing ngerasani." kata ibu ketika ayah. Betul sekali, keesokan harinya paman datang ke rumah dan bercerita, bahwa malam tadi ia ngerasani (menceritakan) ayah. "Rerasan, koq wis sui ora ketemu." katanya.

"Mbok menawi inggih, Pak." kata ibu memperkuat pikiran adik yang sebenarnya tidak pernah dipikirkan. "Sesuatu yang terucapkan secara tiba-tiba tanpa dipikirkan dulu itu juga perlambang." kataku dalam hati. Tetapi saya tidak berani bertanya lebih lanjut tentang spontanitas adik menanggapi pertanyaan dalam perbualan itu.

"Opo iyo, San?" Ayah menyundut kesepiaan perasaanku di meja makan dengan pertanyaan yang meminta pembenaran. Walaupun itu sebenarnya saya harapkan, tetapi saya sendiri tidak mungkin mengatakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun