Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Muridku

28 Januari 2015   03:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:15 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

The Muridku

Iwan, muridku di SD, yang pada tahun 2006, masih kelas 3, walaupun umurnya sudah 12 tahun. Dia paling pintar bermain sepak bola, bila dibandingkan dengan teman sebayanya di sekolah. Bahkan menurut teman-temannya, Ia juga juara di kampung. Tidak heran kalau semua teman ingin bermain satu tim dengannya. Karena bisa dipastikan menang. Setidaknya berpeluang besar untuk menang.

Tetapi Iwan tidak pernah bersepatu ketika bermain. Hanya dengan kaki telanjang, dia berlari dan menendang, bola.

Menang. itulah sebenarnya yang membuat teman-temannya suka. Iwan hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh teman-temannya untuk meraih kemenangan dalam bermain.

banyak orang juga begitu, sama. Kebersamaan atau pertemanan lebih didasari atau dimotivasi oleh keinginan diri sendiri, bukan yang lain. Orang lain menjadi teman yang baik dan penting, karena memberi keuntungan.

Apabila harapan yang diinginkan tidak terpenuhi, kebersamaan dan pertemanan tidak lagi baik dan penting. Selalunya menjadi tidak perlu lagi. Saya juga begitu. Sama.

Iwan. Saya masih mengingat namanya, karena memilki kenangan yang masih berkesan sampai hari ini. Mungkin juga untuk nanti dan selamanya. Setidaknya, itulah harapan saya. Dia manusia sederhana yang pernah hadir dalam perjalanan hidupku, sebagai murid.

Kesan pertama, sebelum mengenal diri dan pribadinya, saya terkesan dengan namanya. Ya. Nama. Bukan yang lainnya. Berbeda dengan orang lain, yang pertama mengesankan terkadang mata, ada juga kaki atau bibir.

Yang Pasti, berbeda orang akan mendapat kesan pertama yang berbeda, walaupun tidak tertutup kemungkinan sama. Begitupun, berbeda orang akan memberi kesan pertama berbeda, walaupun bisa juga sama.

Kesan dirasakan, selalunya bagi penerima, bukan pemberi. Bisa jadi pemberi tidak merasa.  Ketika orang mengatakan kesan pertama akan abadi. Tepatnya, penerima kesan tidak ingin melupakan. Saya setuju. Setidaknya itu berlaku untuk saya, saat ini, dengan nama Iwan.

Keberkesanan nama, bukan karena Iwan muridku, atau Iwan sahabatku, yang sekarang bekerja di Kemenag Bengkalis. Bukan. Dengan Iwan sahabatku, aku sudah mengenal terlebih dahulu kepribadiannya, sebelum namanya. Karena nama panggilannya bukan Iwan, melainkan Ujang. Walaupun kesan itu tetap ada, tetapi berbeda dengan kesan pertama terhadap nama Iwan yang muridku.

Sekali lagi kukatakan, yang mengesankan pertama bukan diri dan pribadinya, melainkan NA-MA. Nama itu pula yang membuat seseorang menjadi penting.

Nama Iwan mengingatkanku dengan nama depan pengarang pavoritku. Satu dari banyak novelis yang kukagumi: IWAN Simatupang. Yang sampai sekarang, salah satu novelnya, berjudul Ziarah, masih kusimpan dengan baik.

Kesanku terhadap novel ini: dari halaman pertama sampai terakhir ditaburi diksi yang indah, dalam rangkaian kalimat yang mempesona, dan makna yang dalam. Itu lah salah satu karya yang mengajakku merenungi dan memahami hidup.

Rangkaian kata berikut adalah cuplikan yang kusalin dari novel itu, yang sebelumnya kusimpan di dompet, kubawa kemanapun. Sekarang kalimat itu telah memenuhi ruang di pikiran. Begini kalimatnya:

"Saya menyukai keindahan dari sesuatu yang pada detik terakhir justru tak menjadi sempurna. Keindahan dari ketaksempurnaan. Tiap yang tidak sempurna adalah indah. Indah adalah ketaksempurnaan."

Sangat bermakna bagiku. Rangkaian katanya penuh pesona dan pilihan kata yang sangat indah. Iya, kan?

=================

Kedua, kenangan tentang Sepatu Iwan. Bukan "Sepatu Dahlan", karangan Khrisna Pabichara,  yang juga memiliki denyut yang menyeret ingatan sampai ke masa kecilku. Pesan moralnya juga sangat menggugah, inspiratif. Novel ini telah pula membuatku tidak bisa berhenti membaca, sebelum sampai di halaman terakhir.

Tetapi sepatu Iwan, bukan Sepatu Dahlan, meski ada pesan yang hampir sama. Namun peristiwa dari dua orang yang berbeda, tentulah berbeda.

Kisah sepatu Iwan ini, berkaitan dengan kacamata. Tepatnya mataku, walaupun keduanya, kaca mata dan mata, ada hubungan, tetapi keduanya berbeda dan terpisah. Sampai saat ini kaca mata itu terpisah dengan mataku. Aku belum berkacamata, untuk membaca, juga bekerja dan yang lainnya.

Ceritanya begini. Setelah masuk di kelasnya, saya memanggil nama murid, satu persatu, sesuai daftar hadir, buku absen. Saya mementingkan untuk mengenal nama, agar hubungan guru-murid lebih dekat. Kedekatan itu -menurutku- dibuktikan dengan menyebut nama diri, ketika memanggil. Tidak memanggil, hanya dengan kata ganti: "Hey, kamu," umpamanya. Jelas, sangat tidak mendidik, bagiku.

Iwan duduk di bangku paling belakang, di sudut kanan dari arah depan. Susunan tempat duduk murid sama, seperti sekolah lainnya, bersifat permanen. Murid dilarang berpindah tempat. Walaupun saya tidak setuju, tetapi saya tidak berani melakukan perubahan. Maklum. Nanti, teman lain, khususnya kepala sekolah bisa tersinggung. Saya lebih senang menjaga perasaan orang lain, mengalahkan idealisme diri sendiri.

Ketidaksetujuan saya didasari sebuah pemikiran. Tempat duduk permanen -menurutku- adalah bentuk dini membatasi kebebasan. Anak dibatasi, tidak boleh memikirkan diri dan menentukan pilihan.

Pada gilirannya, daya kreatif dan inovarif yang potensial pada diri anak menjadi terpasung. Bahkan terbunuh. Bukankah kreatifitas dan inovasi itu adalah bentuk nyata dari keberanian melakukan sesuatu yang beda?

Keduanya, kreatifitas dan inovasi, tidak mungkin terlahir dalam kondisi yang biasa. Keduanya butuh tempat persemaian yang memungkinkan tumbuh dan kemudian berkembang. Itulah kebebasan untuk mengekspresikan pikiran dalam bentuk sikap dan perilaku.

Mestinya sekolah, sebagai tempat pembentukan mental anak, harus melakukan terobosan dengan cara itu, memberikan kebebasan, tentunya yang bertanggungjawab dan tetap di bawah pengawasan. Bukan seperti selama ini, lebih mengedepankan pembatasan dan pengekangan.

Hal kecil termudah untuk dilakukan adalah, memberi kebebasan memilih tempat duduknya sendiri. Dan, ini juga berhubungan langsung dengan memilih teman yang tepat, mengikut keinginan dan kepentingan anak. Kalau mahu lebih, bebaskan juga anak dalam memilih pakaian, sampai dengan gaya rambut.

Tetapi itu mimpi, yang hanya bisa hidup di ruang diskusi. Sesekali di ruang konsultasi di ruang BP karena melanggar aturan sekolah.

Hidup dikekang dan dikendalikan sudah menjadi cara kita. Di rumah orang tua selalu berkata tidak, jangan dan kosa kata negatif lainnya. Sangat jarang berkata, baik, pintar, ya, lakukanlah.

Akibatnya, setelah menjadi orang tua, juga guru atau apapun, lebih senang dikekang, diatur dan dikendalikan orang lain. Pada giliran berikutnya: mengekang, mengatur dan mengendalikan orang lain pula.

Cara hidup seperti itu adalah wujud pola pikir yang mencintai kemapanan dan keseragaman di segala bidang. Sehingga disiplin pun dipahami jika sesuai aturan yang berlaku, walaupun tidak memberi arti atau manfaat.

Menurutku, semua sikap, sifat dan perilaku yang tidak berani berbeda, menjadi awal kemunduran yang nyata menuju perbudakan. Ia adalah produk pemikiran orang-orang yang malas berfikir atau telat mikir.

Pemikiran saya yang menginginkan tampilnya generasi yang kreatif dan inovatif, dengan cara membuat kurikulum pendidikan yang memberi kebebasan kepada anak untuk memilih: tempat duduk, jenis pakaian, model rambut dan hobi, sudah saya tuangkan dalam bentuk konsep siap pakai, operatif. Yaitu ketika saya dan ustaz Aprizan Nurdin, dipercaya oleh Dr.Gamal Abdul Nasir, merumuskan lembaga pendidikan tingkat SMP di Yayasan al Amin, Bengkalis. Alhamdulillah, SMP Alamin tetap berjalan dengan baik dan juga berprestasi.

Tetapi konsep yang saya susun telah tercabut dalam sistem operasional praktis di sana. Ada banyak faktor tercabutnya. Yang jelas tenaga kependidikan dan pendidik yang ada tidak memahami konsep, sehingga dianggap sulit. Sebenarnya tidak.

Bahkan lebih mudah dari sistem pembelajaran yang dipraktekan oleh seluruh sekolah yang ada di Indonesia hari ini, seandainya saja, dasar filosofis dari konsep tersebut dipahami. Terus terang, saya tidak mampu dan gagal memahamkan itu.

Balik ke Iwan. Ketika itu saya memanggil murid satu persatu, untuk maju ke depan kelas memperkenalkan diri, juga menceritakan cita-cita, dan keinginan, khususnya kepada saya, guru baru mereka.

Semua yang saya panggil mahu maju ke depan. Bahkan, sebagian sangat bergairah dan senang. "Baru sekarang kita bisa mengatakan cita-cita di depan kelas.", "Baru inilah guru yang mahu mendengar keinginan kita." Begitulah suara murid-murid yang sampai ke telinga saya, seketika itu juga.

Pada giliran Iwan, dia tidak mahu maju ke depan kelas. Saya hanya mendiamkan. Tidak perlu memaksa. Dari tingkat yang paling kecil seperti ini, saya ingin menjadi manusia yang demokratis, menghargai pilihan murid.

Saya belajar memulai dari diri sendiri, dan dari masalah terkecil. Saya tidak sedikitpun membenarkan diri sendiri memaksa, sejauh sesuatu itu tidak mengganggu yang lain. Sekaligus, belajar menghilangkan keinginan diri sendiri, dari hal terkecil, yang menyangkut dengan orang lain.

Sebagai guru, saya mempunyai banyak cara untuk mengetahui penyebabnya. Walaupun bisa sedikit memaksa, tetapi saya menghindari itu. "Masih banyak waktu. Nanti juga bisa," kata hatiku menasehati diri sendiri. Maka saya lewatkan, dan terus melanjutkan kepada yang lain, yang mahu. Kebetulan semua mahu. Kecuali Iwan.

Begitu jam istirahat tiba, saya persilakan semua murid beristirahat di luar kelas. Saya tidak pernah mendahului anak didik, melainkan paling kemudian. Begitulah cara saya mendidik diri sendiri, juga murid.

Semua keluar kelas, kecuali Iwan. Karena dia tidak juga keluar, saya mendekatinya dan saya tanyakan dari hati ke hati, seperti bapak bertanya kepada anak. Lebih tepatnya sebagai seorang sahabat. Saya datang ke bangku tempat duduknya dan duduk di kursi di sebelahnya. Saya tepuk bahunya dan saya puji kepandaiannya dalam bermain sepak bola.

Iwan menanggapi dengan tersenyum dan tidak bersuara sedikitpun. Kemudian saya lihat sekeliling tubuhnya, dari kanan ke kiri, dari atas ke bawah dan berhenti di sana, di bawah, di tempat sepatunya bersarang, kaki.

Alangkah terkejutnya saya melihatnya. Tetapi saya tahan untuk tetap tenang, dan saya pura-pura tidak tahu apa yang saya lihat dengan mata kepala saya: sepatu yang sudah berlobang, koyak-koyak. Mungkin tapak kaki sepatu itu juga sudah koyak. Iwan menggunakan kaos kaki dari plastik hitam, agar lobang-lobang di sepatu itu sedikit tersembunyikan.

Itulah penyebab yang pasti dan utama Iwan tidak pernah bersepatu ketika main sepak bola dan juga tidak mahu ketika diminta maju ke depan.

=============

Beberapa hari sebelumnya, ada pengumuman. Guru yang rabun dimintai surat keterangan dari dokter mata, akan dibantu uang untuk membeli kaca mata. Saya termasuk guru yang dinyatakan rabun oleh dokter specialis mata. Dalam hati, saya berjanji, apabila uang itu benar dapat, akan saya berikan kepada Iwan, untuk membeli sepatu, dan keperluan sekolahnya.

Sebagai guru dan juga orang tua, saya sangat memahami. Pemkab Bengkalis, hanya membebaskan uang sekolah untuk semua anak didik. Tetapi persoalan anak pergi ke sekolah bukan hanya uang sekolah. Anak membutuhkan banyak hal untuk sekolah. Buku, sepatu, baju, uang jajan dan lain-lain, termasuk kegiatan ekstra. Semua butuh uang yang jumlahnya melebihi uang sekolah.

"Semoga niat baik saya terkabul," do'aku dalam hati, setengah berbisik.

Tiga hari setelah itu, uang bantuan kaca mata sudah sampai. Segera saya ambil dan berikan kepada Iwan untuk membeli sepatu dan keperluan sekolah yang lain, seluruhnya. Saya tidak membeli kaca mata seperti harusnya. Biarlah. Mata saya masih bisa untuk membaca. Rabun saya belum terlalu berat. Belum menganggu kerja saya andaikan pun tidak berkaca mata.

Mata berkaca-kaca menahan titik air di kelopak mata yang menggenang, melihat Iwan memakai sepatu ke sekolah dan bersepatu ketika bermain bola.

Mulai saat itu pula, mata saya menjadi semakin terang. Pernah suatu kali saya memeriksakannya ke dokter spesialis mata, jawabnya, "mata bapak masih normal." Alhamdulilah, puji Tuhan, sampai sekarang saya belum berkaca mata untuk bekerja dan membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun