Pemikiran saya yang menginginkan tampilnya generasi yang kreatif dan inovatif, dengan cara membuat kurikulum pendidikan yang memberi kebebasan kepada anak untuk memilih: tempat duduk, jenis pakaian, model rambut dan hobi, sudah saya tuangkan dalam bentuk konsep siap pakai, operatif. Yaitu ketika saya dan ustaz Aprizan Nurdin, dipercaya oleh Dr.Gamal Abdul Nasir, merumuskan lembaga pendidikan tingkat SMP di Yayasan al Amin, Bengkalis. Alhamdulillah, SMP Alamin tetap berjalan dengan baik dan juga berprestasi.
Tetapi konsep yang saya susun telah tercabut dalam sistem operasional praktis di sana. Ada banyak faktor tercabutnya. Yang jelas tenaga kependidikan dan pendidik yang ada tidak memahami konsep, sehingga dianggap sulit. Sebenarnya tidak.
Bahkan lebih mudah dari sistem pembelajaran yang dipraktekan oleh seluruh sekolah yang ada di Indonesia hari ini, seandainya saja, dasar filosofis dari konsep tersebut dipahami. Terus terang, saya tidak mampu dan gagal memahamkan itu.
Balik ke Iwan. Ketika itu saya memanggil murid satu persatu, untuk maju ke depan kelas memperkenalkan diri, juga menceritakan cita-cita, dan keinginan, khususnya kepada saya, guru baru mereka.
Semua yang saya panggil mahu maju ke depan. Bahkan, sebagian sangat bergairah dan senang. "Baru sekarang kita bisa mengatakan cita-cita di depan kelas.", "Baru inilah guru yang mahu mendengar keinginan kita." Begitulah suara murid-murid yang sampai ke telinga saya, seketika itu juga.
Pada giliran Iwan, dia tidak mahu maju ke depan kelas. Saya hanya mendiamkan. Tidak perlu memaksa. Dari tingkat yang paling kecil seperti ini, saya ingin menjadi manusia yang demokratis, menghargai pilihan murid.
Saya belajar memulai dari diri sendiri, dan dari masalah terkecil. Saya tidak sedikitpun membenarkan diri sendiri memaksa, sejauh sesuatu itu tidak mengganggu yang lain. Sekaligus, belajar menghilangkan keinginan diri sendiri, dari hal terkecil, yang menyangkut dengan orang lain.
Sebagai guru, saya mempunyai banyak cara untuk mengetahui penyebabnya. Walaupun bisa sedikit memaksa, tetapi saya menghindari itu. "Masih banyak waktu. Nanti juga bisa," kata hatiku menasehati diri sendiri. Maka saya lewatkan, dan terus melanjutkan kepada yang lain, yang mahu. Kebetulan semua mahu. Kecuali Iwan.
Begitu jam istirahat tiba, saya persilakan semua murid beristirahat di luar kelas. Saya tidak pernah mendahului anak didik, melainkan paling kemudian. Begitulah cara saya mendidik diri sendiri, juga murid.
Semua keluar kelas, kecuali Iwan. Karena dia tidak juga keluar, saya mendekatinya dan saya tanyakan dari hati ke hati, seperti bapak bertanya kepada anak. Lebih tepatnya sebagai seorang sahabat. Saya datang ke bangku tempat duduknya dan duduk di kursi di sebelahnya. Saya tepuk bahunya dan saya puji kepandaiannya dalam bermain sepak bola.
Iwan menanggapi dengan tersenyum dan tidak bersuara sedikitpun. Kemudian saya lihat sekeliling tubuhnya, dari kanan ke kiri, dari atas ke bawah dan berhenti di sana, di bawah, di tempat sepatunya bersarang, kaki.