Iwan duduk di bangku paling belakang, di sudut kanan dari arah depan. Susunan tempat duduk murid sama, seperti sekolah lainnya, bersifat permanen. Murid dilarang berpindah tempat. Walaupun saya tidak setuju, tetapi saya tidak berani melakukan perubahan. Maklum. Nanti, teman lain, khususnya kepala sekolah bisa tersinggung. Saya lebih senang menjaga perasaan orang lain, mengalahkan idealisme diri sendiri.
Ketidaksetujuan saya didasari sebuah pemikiran. Tempat duduk permanen -menurutku- adalah bentuk dini membatasi kebebasan. Anak dibatasi, tidak boleh memikirkan diri dan menentukan pilihan.
Pada gilirannya, daya kreatif dan inovarif yang potensial pada diri anak menjadi terpasung. Bahkan terbunuh. Bukankah kreatifitas dan inovasi itu adalah bentuk nyata dari keberanian melakukan sesuatu yang beda?
Keduanya, kreatifitas dan inovasi, tidak mungkin terlahir dalam kondisi yang biasa. Keduanya butuh tempat persemaian yang memungkinkan tumbuh dan kemudian berkembang. Itulah kebebasan untuk mengekspresikan pikiran dalam bentuk sikap dan perilaku.
Mestinya sekolah, sebagai tempat pembentukan mental anak, harus melakukan terobosan dengan cara itu, memberikan kebebasan, tentunya yang bertanggungjawab dan tetap di bawah pengawasan. Bukan seperti selama ini, lebih mengedepankan pembatasan dan pengekangan.
Hal kecil termudah untuk dilakukan adalah, memberi kebebasan memilih tempat duduknya sendiri. Dan, ini juga berhubungan langsung dengan memilih teman yang tepat, mengikut keinginan dan kepentingan anak. Kalau mahu lebih, bebaskan juga anak dalam memilih pakaian, sampai dengan gaya rambut.
Tetapi itu mimpi, yang hanya bisa hidup di ruang diskusi. Sesekali di ruang konsultasi di ruang BP karena melanggar aturan sekolah.
Hidup dikekang dan dikendalikan sudah menjadi cara kita. Di rumah orang tua selalu berkata tidak, jangan dan kosa kata negatif lainnya. Sangat jarang berkata, baik, pintar, ya, lakukanlah.
Akibatnya, setelah menjadi orang tua, juga guru atau apapun, lebih senang dikekang, diatur dan dikendalikan orang lain. Pada giliran berikutnya: mengekang, mengatur dan mengendalikan orang lain pula.
Cara hidup seperti itu adalah wujud pola pikir yang mencintai kemapanan dan keseragaman di segala bidang. Sehingga disiplin pun dipahami jika sesuai aturan yang berlaku, walaupun tidak memberi arti atau manfaat.
Menurutku, semua sikap, sifat dan perilaku yang tidak berani berbeda, menjadi awal kemunduran yang nyata menuju perbudakan. Ia adalah produk pemikiran orang-orang yang malas berfikir atau telat mikir.