Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengajar

26 Februari 2015   00:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:30 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah itu, barulah saya perintahkan agar yang disebutkan itu ditulis di dalam buku dan saya minta untuk diantar ke meja saya. Dengan pena, saya beri nilai seratus. Ya. Saya tidak pernah menjatuhkan pena ke buku tulis murid kecuali dengan nilai benar semua, seratus. Bahkan terkadang saya tulis Hebat, luar biasa dan sejenisnya.

Seandainya ada murid yang keliru, maka saya panggil untuk memperbaiki dengan menanyakan kepada murid yang sudah benar semua dan sempurna. Kemudian saya minta untuk diantar kembali, dan memberi nilai seratus. Semua murid pandai, semua hebat. Semua bangga dengan nilai yang diraihnya.

Kebanggaan saya sebagai guru, dan juga kebahagiaan murid yang mendapat nilai sempurna, saya transfer ke yang lain, lebih luas. Saya ingin yang saya dan murid-murid rasakan, juga menjadi kebanggaan masyarakat, khususnya orang tua murid. Saya pun berpesan kepada murid-murid, agar di rumah nanti, orang tua diminta memberi tanda tangan pada lembaran buku yang mendapat nilai seratus.

Saya juga harus menanamkan perasaan bangga kepada orang tua dan masyarakat atas keberhasilan anak-anaknya, yang telah mendapat nilai sempurna. Ternyata, upaya kecil saya di sekolah, memberi dampak besar kepada murid, kepada orang tua, dan kepada sebahagian masyarakat.

Ada banyak cerita dan kisah tidak terduga yang saya rasakan dan dapatkan dari pengabdian saya di SD. Dalam diri sendiri, saya katakan: "tidak ada orang yang terlahir bodoh, yang banyak guru lah yang -maaf- bodoh."

Karena pengalaman menjadi guru SD, sampai sekarang, sebagai dosen, saya tidak pernah memberi mahasiswa nilai selain A. Bahkan nilai A sudah saya berikan diawal perkuliahan. Saya tidak mahu, mahasiswa kuliah dengan saya hanya untuk mencari nilai. Itu tujuan saya. Dan nilai A itu tidak pernah saya ingkari. Pasti saya berikan.

=============

Setelah dapat berwudlu' dengan sempurna, paktek dan teori, mereka saya minta membaca buku pelajaran yang disediakan sekolah, untuk mencari jawaban yang sudah ditanyakan waktu di depan kran air di mushalla. Agar lebih fokus, saya ulangi mengatakannya atau menuliskannya di papan tulis. Bahkan sering kedua-duanya. Yaitu: tentang air yang sah untuk bersuci dan kapan dilaksanakan tayamum.

Semuanya membaca dengan tujuan yang jelas. Murid-murid konsentrasi mencari jawaban pertanyaan saya. Saya tidak akan mengganggu kegiatan siswa mencari jawaban sendiri dengan membaca. Dengan cara membaca sendiri, lebih mudah bagi murid untuk mengingat.

Setelah semua menemukan jawabannya, kembali saya meminta anak yang paling pandai untuk maju ke depan kelas, menceritakan apa yang dibacanya. Ketika itu bisa berlangsung tanya jawab dengan murid yang lain, atau diskusi. Karena pemahaman murid yang satu dengan yang lain bisa saja berbeda. Tetapi untuk murid SD, paling hanya berbeda dalam redaksi bahasa.

Anak yang pintar masih belum terlalu lancar menyampaikan, maklum yang pertama. Diteruskan dengan yang pandai nomor dua, mulai lancar. Tiba giliran yang terakhir, pastilah lebih lancar. Karena sambil menunggu giliran sampai, ia berulang-ulang mengucapkan sambil mengingat yang akan dikatakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun