"Sudahlah, Limah!. Tenangkan dirimu!"
"Tapi, Bang, hatiku pilu. Sedih sekali. Bukankah kau tahu bahwa aku seorang diri di sini. Aku ingin secepatnya menyusulmu di sana, Bang!"
"Ingin sekali aku berada di sampingmu. Bahkan aku membayangkan jika kelak kita bertemu di surga, akan kukisahkan lagi tentang cahaya rembulan yang tumpah dan berceceran di lantai rumah kita sebagai kenangan," ucapnya lagi.
***
Malam-malam berlalu. Dan malam ini kesedihan perempuan paruh baya itu kian menggumpal, seperti mendung yang sedang berarak mengelilingi sinar purnama.
***
Tak pasti, entah malam yang keberapa malam ini. Dalam sekejap cahaya rembulan di dada malam memudar dan bahkan tak lagi bisa dinikmati indahnya -- seperti diri perempuan itu yang sedang dirundung luka. Tak ada seberkas cahaya pun hinggap di daun jendela atau tangga rumahnya. Hanya cahaya kecil kunang-kunang dari celah-celah ilalang mencoba menyemangati dirinya. Dia merasakan jika hidupnya telah berakhir dan tak ada lagi yang harus diperjuangkan.
Begitu pula kekecewaannya pada orang-orang kampung yang telah menganggapnya tak siuman lagi. Hal itu dipicu karena mereka sering mendapati dirinya berbicara seorang diri di beranda teras rumah. Padahal apa yang dilakukannya itu adalah satu-satunya cara untuk berhibur dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Ketimbang bersembang dengan orang-orang dengan segala kesibukannya, dia lebih memilih berbicara pada bulan, pada bintang, bahkan pada pohon-pohon atau ilalang yang bergoyang-bergoyang tertiup angin di halaman rumah.
Tanpa disadarinya deru angin disertai kilatan dan rintik-rintik hujan mulai melumat, membasahi apa saja yang ada di sekelilingnya. Tapi perempuan malang ini tak sejengkal pun beranjak dari tepi beranda. Dia merelakan tubuhnya disimbahi dingin tempias hujan dan angin yang menyapu sekujur tubuh yang lunglai tak berdaya.
Kepada Tuhan, tak luput pula ia aturkan pinta dan doa, agar kelak dipertemukan dengan suami dan orang-orang yang disayanginya.
***