Cerpen Marzuli Ridwan Al-bantany
Di beranda malam bulan mengambang. Seorang perempuan paruh baya khusuk mengulum purnama ranum tersenyum. Matanya tak berkedip meski angin utara berkesiung menerpa wajahnya yang telah mengeriput. Garis-garis kematian kian hampir, tampak jelas di wajahnya.
Tapi tiba-tiba hati perempuan itu gelisah dimamah resah. Dingin malam perlahan merayap, merasuk menyusuri sekujur jiwanya yang kini renta dimakan usia.
Dipandanginya pula ranting-ranting pepohonan berderu-deru diterpa sang bayu, meliuk-liuk di halaman depan rumahnya. Pohon-pohon itu beralun. Tak tahu pasti apakah turut berduka atau malah bersorak-sorai atas pemergian suami tercintanya sebulan yang lalu. Batinnya tersayat sembilu, namun ia tak ingin berlama-lama dan larut dalam kesedihan itu.
Cik Limah, begitulah orang-orang kampung memanggilnya selama ini.
Ia dikenal sebagai perempuan yang penyabar, pekerja keras. Dia adalah isteri serta ibu yang tak ingin berpangku tangan. Apapun ia lakukan bagi mengurangi beban hidup keluarga.
Sebelum suaminya wafat, ia tekun membuat tikar. Tak heran, bila para kaum ibu di kampungnya selalu memesan tikar anyaman tangannya. Selain tikar yang dibuatnya sangat rapi dan indah dengan berbagai motif dan warna, harganya pula tidak terlalu mahal. Namun sejak suaminya divonis menderita suatu penyakit dan kemudian akhirnya berpulang ke pangkuan Tuhan, dia tak lagi menyentuh daun-daun pandan yang tumbuh rimbun di belakang rumah.
Malam itu, di beranda teras rumah peninggalan sang suami yang hanya berdinding kayu papan dan beratapkan rumbia, perempuan itu masih memaku diri. Dia tak beranjak, memandangi kilau wajah bulan yang kian tertutup mendung. Ia juga tak lagi hirau pada lolongan serigala meraung-raung di sekitar daerah perbukitan tak jauh dari rumahnya. Perempuan malang itu benar-benar dicekam kesunyian. Kesunyian yang teramat panjang yang diyakininya tak akan ada kesudahannya.
                                                                               ***
Dulu, semasa suaminya masih hidup, dia suka menghabiskan malam-malam di beranda teras rumahnya. Kadang-kadang hanya sekedar menjulurkan kaki, mengistirahatkan diri di kursi rotan yang hampir seusia perkawinannya. Di kursi itu pula ia rela dibelai sejuk angin malam demi menunggu sang suami pulang dari surau, atau jika suaminya ada suatu keperluan di luar.
Tapi malam ini, ia larut dan tenggelam dalam lamunannya sendiri. Pikirannya menerawang, menimang-nimang bulan yang sedang murung, terkurung dan tertutup awan nan tebal. Cahaya bulan yang tadinya berseri, perlahan sirna. Jiwanya bergejolak. Sunyi dan sepi benar-benar telah mengapit malam yang seakan tak bertuan.
Di beranda itu, tak henti-hentinya ia dibalut sedih. Bahkan dalam sejarah hidupnya belum pernah ia mengalami rasa sedih yang sangat memilukan seperti ini. Di benaknya tersimpul satu pertanyaan; bukankah seharusnya malam ini rembulan tengah sempurna memancarkan sinarnya -- menerangi atap dan halaman rumahnya?. Tetapi mengapa cahaya bulan tiba-tiba remang dan akhirnya lenyap diantara awan dan kabut-kabut malam yang berterbangan. Perempuan itu memelas. Ternyata bulan tak lagi sudi bertandang dan menemuinya malam ini.