Mohon tunggu...
Marzuli Ridwan
Marzuli Ridwan Mohon Tunggu... -

Bermastautin di Bengkalis, Riau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan dan Napas Kematian

29 Oktober 2018   15:07 Diperbarui: 29 Oktober 2018   15:21 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Marzuli Ridwan Al-bantany

Di beranda malam bulan mengambang. Seorang perempuan paruh baya khusuk mengulum purnama ranum tersenyum. Matanya tak berkedip meski angin utara berkesiung menerpa wajahnya yang telah mengeriput. Garis-garis kematian kian hampir, tampak jelas di wajahnya.

Tapi tiba-tiba hati perempuan itu gelisah dimamah resah. Dingin malam perlahan merayap, merasuk menyusuri sekujur jiwanya yang kini renta dimakan usia.

Dipandanginya pula ranting-ranting pepohonan berderu-deru diterpa sang bayu, meliuk-liuk di halaman depan rumahnya. Pohon-pohon itu beralun. Tak tahu pasti apakah turut berduka atau malah bersorak-sorai atas pemergian suami tercintanya sebulan yang lalu. Batinnya tersayat sembilu, namun ia tak ingin berlama-lama dan larut dalam kesedihan itu.

Cik Limah, begitulah orang-orang kampung memanggilnya selama ini.

Ia dikenal sebagai perempuan yang penyabar, pekerja keras. Dia adalah isteri serta ibu yang tak ingin berpangku tangan. Apapun ia lakukan bagi mengurangi beban hidup keluarga.

Sebelum suaminya wafat, ia tekun membuat tikar. Tak heran, bila para kaum ibu di kampungnya selalu memesan tikar anyaman tangannya. Selain tikar yang dibuatnya sangat rapi dan indah dengan berbagai motif dan warna, harganya pula tidak terlalu mahal. Namun sejak suaminya divonis menderita suatu penyakit dan kemudian akhirnya berpulang ke pangkuan Tuhan, dia tak lagi menyentuh daun-daun pandan yang tumbuh rimbun di belakang rumah.

Malam itu, di beranda teras rumah peninggalan sang suami yang hanya berdinding kayu papan dan beratapkan rumbia, perempuan itu masih memaku diri. Dia tak beranjak, memandangi kilau wajah bulan yang kian tertutup mendung. Ia juga tak lagi hirau pada lolongan serigala meraung-raung di sekitar daerah perbukitan tak jauh dari rumahnya. Perempuan malang itu benar-benar dicekam kesunyian. Kesunyian yang teramat panjang yang diyakininya tak akan ada kesudahannya.
                                                                                                                                                              ***

Dulu, semasa suaminya masih hidup, dia suka menghabiskan malam-malam di beranda teras rumahnya. Kadang-kadang hanya sekedar menjulurkan kaki, mengistirahatkan diri di kursi rotan yang hampir seusia perkawinannya. Di kursi itu pula ia rela dibelai sejuk angin malam demi menunggu sang suami pulang dari surau, atau jika suaminya ada suatu keperluan di luar.

Tapi malam ini, ia larut dan tenggelam dalam lamunannya sendiri. Pikirannya menerawang, menimang-nimang bulan yang sedang murung, terkurung dan tertutup awan nan tebal. Cahaya bulan yang tadinya berseri, perlahan sirna. Jiwanya bergejolak. Sunyi dan sepi benar-benar telah mengapit malam yang seakan tak bertuan.

Di beranda itu, tak henti-hentinya ia dibalut sedih. Bahkan dalam sejarah hidupnya belum pernah ia mengalami rasa sedih yang sangat memilukan seperti ini. Di benaknya tersimpul satu pertanyaan; bukankah seharusnya malam ini rembulan tengah sempurna memancarkan sinarnya -- menerangi atap dan halaman rumahnya?. Tetapi mengapa cahaya bulan tiba-tiba remang dan akhirnya lenyap diantara awan dan kabut-kabut malam yang berterbangan. Perempuan itu memelas. Ternyata bulan tak lagi sudi bertandang dan menemuinya malam ini.

Di beberapa malam sebelum ini, tak jarang kadang ia tersenyum bahagia. Sebab sang bulan begitu akrab menampakkan seri wajahnya di hadapan perempuan itu. Bahkan pada bulan yang sedang merekah, ia menemukan dirinya bagai seorang bidadari berlari-lari di taman sebuah istana yang megah dan dipenuhi aneka bunga harum mewangi. Jiwanya melayang bebas, melintasi semua ruang dan waktu. Bila hal itu terjadi, maka sekonyong-konyong segala kesulitan hidup lenyap dari dalam dirinya. Dadanya juga terasa lapang. Benar-benar lapang.

Tapi malam ini, serasa berbeda dari malam-malam yang telah ditinggalkannya. Terlebih lagi setelah kematian suami, juga puteri semata wayang yang memilih meninggalkan dia seorang diri di tanah kelahirannya. Alasan puterinya sangat sederhana, merantau ke kota adalah pilihan untuk mengadu nasib, mencari kehidupan yang lebih layak dan mapan.

Perempuan itu masih berdiri tegar menatap bulan. Ia menimang-nimang cahaya purnama yang sedang dicabik-cabik mendung. Tiada henti ia menengadahkan wajahnya ke langit, menyaksikan tanda-tanda akan turun hujan yang semakin jelas dan ketara di depan mata.

"Wahai bulan!. Tampakkanlah wajahmu."

"Andai bisa kau kujemput, pasti akan kuminta kau tinggal bersamaku. Temani aku barang sehari dua," pintanya.

"Oh Bulan!. Datanglah kepadaku!. Akan kuceritakan semua derita yang sedang berlabuh di pundak dan pikiranku."

Perempuan itu semakin lirih merintih. Suaranya parau. Nafasnya pun tersengal-sengal. Beberapa butir bening perlahan menggumpal, lalu jatuh dari sudut kelopak matanya yang memerah. Tapi jejemari kedua tangannya silang meremas. Barangkali ia mencoba untuk bertahan. Ya, bertahan sebisa mungkin atas situasi yang tengah dijalani.

Sejak kematian suaminya, perempuan yang kini sebatang kara mengurusi semua keperluannya, selalu saja mengalami kejadian dan peristiwa aneh. Bahkan pernah di suatu malam di saat dia tidur-tiduran di kursi rotan di beranda teras rumah, tiba-tiba didatangi sosok manusia menyerupai almarhum suaminya. Ia terkejut bukan main apabila mendapati diri suaminya muncul di hadapannya. Lelaki itu berpakaian serba putih. Bau wangi tercium semerbak dari tubuh lelaki yang tampak bersih dan rapi itu. Semula ia tak mengenali jika sosok itu adalah almarhum suaminya. Tapi setelah diteliti dengan seksama,ternyata ia meyakini bahwa pria yang menemuinya malam itu adalah mendiang suaminya.

Hatinya gembira antara percaya dan tidak. Mimpikah ini, atau sebuah kenyataan?, begitu pikirnya.

"Kenapa dengan kau, Limah? Adakah yang mengganggu pikiranmu?"

"Iya, Bang. Aku sangat merinduimu," jawab perempuan paruh baya itu setengah sadar.

"Sudahlah, Limah!. Tenangkan dirimu!"

"Tapi, Bang, hatiku pilu. Sedih sekali. Bukankah kau tahu bahwa aku seorang diri di sini. Aku ingin secepatnya menyusulmu di sana, Bang!"

"Ingin sekali aku berada di sampingmu. Bahkan aku membayangkan jika kelak kita bertemu di surga, akan kukisahkan lagi tentang cahaya rembulan yang tumpah dan berceceran di lantai rumah kita sebagai kenangan," ucapnya lagi.

***

Malam-malam berlalu. Dan malam ini kesedihan perempuan paruh baya itu kian menggumpal, seperti mendung yang sedang berarak mengelilingi sinar purnama.

***

Tak pasti, entah malam yang keberapa malam ini. Dalam sekejap cahaya rembulan di dada malam memudar dan bahkan tak lagi bisa dinikmati indahnya -- seperti diri perempuan itu yang sedang dirundung luka. Tak ada seberkas cahaya pun hinggap di daun jendela atau tangga rumahnya. Hanya cahaya kecil kunang-kunang dari celah-celah ilalang mencoba menyemangati dirinya. Dia merasakan jika hidupnya telah berakhir dan tak ada lagi yang harus diperjuangkan.

Begitu pula kekecewaannya pada orang-orang kampung yang telah menganggapnya tak siuman lagi. Hal itu dipicu karena mereka sering mendapati dirinya berbicara seorang diri di beranda teras rumah. Padahal apa yang dilakukannya itu adalah satu-satunya cara untuk berhibur dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Ketimbang bersembang dengan orang-orang dengan segala kesibukannya, dia lebih memilih berbicara pada bulan, pada bintang, bahkan pada pohon-pohon atau ilalang yang bergoyang-bergoyang tertiup angin di halaman rumah.

Tanpa disadarinya deru angin disertai kilatan dan rintik-rintik hujan mulai melumat, membasahi apa saja yang ada di sekelilingnya. Tapi perempuan malang ini tak sejengkal pun beranjak dari tepi beranda. Dia merelakan tubuhnya disimbahi dingin tempias hujan dan angin yang menyapu sekujur tubuh yang lunglai tak berdaya.

Kepada Tuhan, tak luput pula ia aturkan pinta dan doa, agar kelak dipertemukan dengan suami dan orang-orang yang disayanginya.

***

Perlahan-lahan pada diri perempuan itu telah hinggap rasa benci. Setiap kali malam tiba, ia selalu menyumpahi gelap. Dia membenci rembulan yang tak kunjung hadir dan singgah di pelupuk matanya. Jangankan untuk menemani lelahnya sepanjang malam, sekedar bertamu dan menanyai kabar dirinya pun tak lagi sudi. Dia dilanda kesunyian, kesunyian yang amat dahsyat dan menyakitkan.  

"Oh bulan! Di manakah engkau?"

"Di manakah pula bintang-bintang?"

"Adakah kalian juga akan meninggalkan aku di sini?, seperti suami dan anakku?"

Tubuh renta perempuan itu menggigil. Nafasnya terasa sesak tertahan di pangkal kerongkongan. Di kejauhan, di dalam hujan yang lebat ia melihat sosok lelaki berjubah putih melambaikan tangan. Setapak demi setapak lelaki itu mendekat dan menghampirinya. Seketika pandangannya memudar, lalu lenyap untuk selama-lamanya.(*)

Bengkalis, 2017

Marzuli Ridwan Al-bantany, penyair dan cerpenis 

bermastautin di Bengkalis, Riau. Buku sastra kumpulan puisi tunggal perdananya berjudul "Menakar Cahaya". Sekarang tengah merampungkan sejumlah buku, yaitu buku kumpulan puisi dan cerpen 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun