Oleh : Marzuki Umar
Pranata alam semesta semakin punah
Sebagian insan bergantung pada akar lapuk
Perantauan tidak disandingkan pada sempoa
Keuntungan dijajakan pada fitur-fitur dunia
Fokus hidup hanya harta dan permainan belaka
Menguliti kancah peradaban yang semakin kacau
Mata hati khalifah kian tertutupi indahnya pemandangan
Kehidupan nanti merayap ke luar buku harian
Episode keaktifan bisa berakhir siang dan malam
Mengapa itu kurang jadi perhatian...?Â
Indahnya dunia laksana kapur di ujung jari
Sebentar lengket, dicolek lalu hilang pergi
Pahitnya dunia siapapun pasti mengalami
Sang balita dan tua renta tak ada yang abadi
Rumah masa depan siap-siap menanti
Model alam perantauan tak dapat tertandingi
Miniaturnya bersahaja ciptaan sang Ilahi
Manakala alam berguncang langit menangis
Paku bumi patah lembah pun meringkih pedih
Suratan takdir gak dapat dirombak berbagai dalih
Langit semakin meraung insan kian terpatung
Bumi hancur lebur alam perantauan tersungkur
Jiwa khalifah membangkitkan angan kosong
Renungan batin tertimbun penyesalan semu
Mata terpana pada semburan-semburan debuÂ
Ketika rembulan menitip butiran-butiran cahaya
Pasir putih tersenyum manis di tanah hampa
Rajawali memotret sinar jingga di kejauhan
Bendungan jiwa rapuh mematahkan harapan
Pemangku jagat raya hidupnya tidak nyaman
Â
Suasana hati disandarkan pada mentari
Raga yang panas dimandikan keringat dingin
Semilir angin mengusir debu wajah guram
Percikan langit segera mengubah kelesuan
Semangat anak rantau kian jadi terang
Laut biru tatapan mata biru
Semoga alam perantauan akan ceria selalu
Hati nurani menoleh harapan baru
Pada petunjuk ilahi jiwanya tertumpu...!Â
Bireuen, 16 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H